Saturday 15 August 2009

Friday 14 August 2009

Refleksi Empat Tahun Kepemimpinan GAMMA

Kuncinya, Tuntaskan Reformasi Birokrasi


Kamis, 13 Agustus 2009 , 10:03:00

Empat tahun silam, gegap gempita program good governance and clean government (tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih) menjadi fokus pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman (GAMMA) memimpin Sumbar. Namun kini, jargon itu tidak selantang awal kepemimpinan GAMMA dulu. Sejauh mana pelaksanaan program itu di kabupaten/kota? Komitmen pasangan GAMMA menerapkan prinsip efisiensi, transparansi dan akuntabilitas public pada 100 hari kepemimpinannya, patut diacungi jempol. Bahkan, visi itu dikonkretkan dengan penandatanganan Pakta Integritas bersama Partnership for Governance Reform in Indonesia, bersamaan dengan peresmian Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Sumbar, Pakta Integritas dijabarkan berupa sistem pelayanan satu pintu (one stop service), guna menciptakan iklim investasi yang kondusif. Sistem ISO 9001:2008 dalam pelayanan pajak kendaraan bermotor di Kantor Samsat. Sistem tender elektronik pengadaan barang dan jasa. Dan baru-baru ini, pengandangan mobil dinas pejabat. Walau wacana itu telah bergulir di awal kepemimpinan GAMMA, namun baru terealisasi memasuki tahun keempat.

Dalam pelaksanaan rekrutmen pejabat, GAMMA membuat terobosan melalui fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan dan tes psikologis. Ini bertujuan agar mendapatkan pejabat pilihan se-Sumbar. Terobosan itu bukan tanpa kritikan. Nada-nada sumbang jamak tersiar di tengah masyarakat terhadap implementasi program itu. Reformasi birokrasi di lingkungan Pemprov Sumbar terasa berjalan lamban. Apalagi, di pemerintahan kabupaten/kota. Faktanya di lapangan, praktik percaloan, pungli dan birokrasi berbelit, masih saja ditemukan di sejumlah pelayanan publik. Itu terjadi di semua level, baik instansi vertikal, provinsi hingga kabupaten/kota.

Sebut saja pungli di jembatan timbang oto (JTO), percaloan pajak kendaraan bermotor, Kantor Imigrasi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pelayanan publik lainnya.Ketua Kadin Sumbar Asnawi Bahar menilai, kunci kesuksesan pembangunan terletak pada integritas dan kapasitas sang eksekutor alias birokrasi. Reformasi birokrasi adalah simpul kemajuan ekonomi dalam mendorong dunia usaha, dan peningkatan pelayanan publik. Dari perspektif dunia usaha misalnya. Hingga kini, Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi menyebut baru sekitar 7 kabupaten/kota yang telah membentuk kantor pelayanan terpadu, sesuai amanat peraturan menteri keuangan. Padahal, tenggat waktu pembentukannya telah berakhir Januari 2009 lalu.

Alhasil, jangan heran bila satu daerah dengan daerah lain di Sumbar, berbeda pelayanan perizinan usahanya. Baik dari segi biaya, lama pengurusan, kepastian hukum, dan kemudahan lainnya. “Kami dari Kadin mengalami perlakuan itu di kabupaten/kota. Jujur, masih banyak kebijakan kabupaten/kota belum proinvestasi. Memang one stop service juga, tapi satu meja berhenti, di meja lain berhenti lagi,” sindir Asnawi yang juga ketua Asita Sumbar. Paralel dengan itu, pelayanan publik juga demikian. Warisan Orde Baru masih kuat mencengkeram mental dan pola kerja aparatur daerah, dari dilayani, menjadi melayani. Ini tercermin dari kecilnya anggaran publik ketimbang anggaran aparatur dalam APBD kabupaten/kota se-Sumbar.

Dari hasil survei Syafii Ma’arif Institute baru-baru ini, terungkap bahwa kebijakan pemkab/pemko belum prorakyat, propoor (kemiskinan) dan pro-usaha, sebagaimana menjadi RPJM nasional 2004-2009. Terkait penegakan hokum, peraih Bung Hatta Award Antikorupsi, menyerahkan sepenuhnya pada aparatur hukum menindak anak buahnya yang terlibat korupsi.

Masih Banyak PR

Meski duet GAMMA sudah berbuat, namun Peneliti Senior the Habibie Center Andrianof Chaniago mengatakan, duet kepemimpinan ini masih perlu bekerja lebih keras lagi. Ia melihat, sejauh ini terobosan yang dilakukan belumlah maksimal. Percepatan yang dilakukan, boleh dibilang kurang bergerak maju.
Kendati tahun lalu pertumbuhan ekonomi (PE) Sumbar bisa melewati 6 persen, Andrianof menilai prestasi itu masih lumayan. Pasalnya, imbas positif terhadap PE itu belum sepenuhnya terasa di masyarakat elite bawah. Penilaiannya bisa dilihat dari angka pengangguran, kemiskinan, kualitas pelayanan kesehatan, atau kesejahteraan masyarakat.

“Pertumbuhan yang terjadi belum berkualitas. Sebab, belum sepenuhnya memberikan pengaruh langsung terhadap masyarakat. Selain itu, peningkatan itu belum memberikan imbas pada peningkatan sektor lain. Begitu juga kesempatan orang bekerja,” Kata rang Padang ini. Penilaian tak jauh beda juga diungkapkan pengamat kebijakan publik Eka Vidya. Ia malah berharap duet kepemimpinan ini (terutama Gamawan) bisa membuat terobosan yang pernah dibuat selama di Kabupaten Solok. Kendati kewenangannya terbatas, seharusnya tetap ada terobosan yang fenomenal.

“Kita bisa berkaca pada keberhasilan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ia bisa berbuat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Malahan itu bisa mengangkat keberadaan provinsi yang sebelumnya belum dikenal. Sekarang, siapa yang tidak tahu provinsi tersebut,” kata peneliti muda ini.

Namun begitu, baik Andrinof maupun Eka Vidya, memuji GAMMA dalam membuat fondasi hubungan harmonis antara gubernur dengan bupati/wali kota se-Sumbar dengan melaksanakan rapat koordinasi sekali dua bulan. Kendati pertemuan itu belum memberikan jaminan, apakah setiap kesepakatan itu terlaksana atau tidak.
Gamawan sendiri memahami persoalan itu. Semua itu menurutnya tak lepas kian terbatasnya kewenangan kewenangan gubernur dalam menjalankan roda pemerintahan. Pa­salnya, otonomi daerah, kewenangan gubernur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 ten­tang Pemda sangat terbatas. Kewenangan eksekusi kebijakan ter­kait kepentingan masyarakat, mayoritas berada di kabupaten dan kota. (***)

Thursday 13 August 2009

Liberalisasi Vs Kerakyatan:

Tetesan Keringat Terakhir Petani

Amburadulnya pengelolaan sumber daya energi, hanyalah salah satu bukti
kegagalan negara merealisasikan cita-cita para pendiri bangsa. Semuanya
dikuras demi kepentingan pasar, bukan lagi kepentingan hajat hidup orang
banyak. Kegagalan serupa juga terjadi di sektor pertanian.

Saling klaim elite pemimpin bangsa ini terhadap keberhasilan mewujudkan
swasembada pangan, tak berbanding lurus dengan nasib petani di negeri
agraris ini. Alih-alih memenuhi kebutuhan petani, yang terjadi selama ini
justru kaum petani ”dipaksa” menyubsidi kebutuhan kaum borjuis di
perkotaan.

Setelah pemerintah dinilai gagal mengelola sumber daya migas dan energi,
kini satu-satunya harapan berada di sektor pertanian. Indonesia saat ini
tercatat sebagai negara pengekspor terbesar komoditas unggulan pertanian.
Sayangnya, ekspor tersebut masih dalam bentuk primer, dengan nilai ekonomi
rendah.

Sebut saja Sumbar, adalah penghasil gambir terbesar dan berkualitas tinggi
di dunia. Begitu juga sawit berupa minyak mentah sawit (CPO), cokelat dan
karet, adalah komoditas unggulan daerah ini. Namun begitu, negeri ini tak
berdaya menentukan harga karena kuatnya sistem kartel di sektor ini.
Perlahan tapi pasti, korporasi dunia mulai membidik pertanian Indonesia,
yang juga kaya komoditas nonmigas. Seolah memutar arah jarum jam,
Indonesia kembali dijajah ”VOC modern” karena tergoda merebut
rempah-rempah Bumi Pertiwi.

Kuatnya keberpihakan pemerintah terhadap pemodal, menurut Ketua Serikat
Petani Indonesia Wilayah Sumbar, Sukardi Bendang, terlihat dengan gagalnya
pemerintah menyediakan kebutuhan pokok petani. Pupuk urea bersubsidi, tata
laksana bibit, pestisida, dan lainnya, selalu langka karena memang telah
dikuasai perusahaan asing.

”Saat ini mencari bibit lokal saja, bukanlah perkara gampang. Bahkan, di
pasaran sudah mulai hilang. Tak terkecuali beras solok. Sekarang sudah
berganti dengan bibit hasil rekayasa genetika. Pola distribusinya juga
dipegang perusahaan transnasional,” kata Sukanda.

Petani tidak lagi menjadi tuan di lahan sendiri. Lahan produktif di
pedesaan perlahan tergusur pemilik modal untuk perkebunan sawit. Sementara
petani rakyat, harus gigit jari karena harga ditentukan
perusahaan-perusahaan besar.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Padang, Eka Vidya Putra
menilai, pembangunan pertanian di tanah Air, termasuk Sumbar, tidak
menyentuh akar persoalan. Seperti program reforma agraria, hingga kini
hanya retorika. Apalagi rekayasa genetika dan teknologi pengolahan hasil
pertanian, belum terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Persoalan distribusi pupuk, juga persoalan lain yang belum terselesaikan
sampai sekarang. ”Bagaimana petani bisa mengolah lahannya, kalau kebutuhan
dasar untuk berproduksi tak ada. Jadi, apakah masih bisa kita berharap
banyak kepada pemerintah, kalau mengelola distribusi pupuk saja tak bisa,”
kritik Sukanda.

Daripada memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri, pemerintah lebih tertarik
menjual gas ke luar negeri. Akibatnya, petani merana kekurangan pupuk,
menanti tetesan keringat terakhir.

”Kita memiliki gas melimpah, tapi hanya untuk mensuplai kebutuhan dalam
negeri tidak bisa. Padahal, di sisi lain, gas hasil bumi pertiwi ini
digelontorkan ke luar negeri dengan harga tak berimbang. Nggak salah,
produsen pupuk atau pun PLN sendiri tak bisa berbuat banyak,” kata Ketua
Umum Federasi Serikat Pekerja Perusahaan Strategis Nasional, Ahmad
Daryoko. Jika negara saja tidak mampu menguasai bumi, air dan segala
kandungannya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, apalagi jika
dikelola perusahaan asing. Saatnya jadikan neoliberal musuh bersama.

CV

Monday 25 May 2009

Ketika Rakyat Berbicara Politik

 
Sabtu, 16 Mei 2009
Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dipastikan bertarung pada Pilpres 8 Juli mendatang. Bagaimana komentar rakyat badarai terhadap calon pemimpin Republik ini? Betulkah suara mereka cerminan suara Tuhan alias vox populi vox Dei?

Tiga pasang capres/wapres itu adalah Jusuf Kalla-Wiranto, SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo. Ketiganya adalah stok lama, kecuali Boediono dan Prabowo sebagai wapres. Namun dari tiga pasang capres/cawapres tersebut, hanya nama Boediono—Gubernur Bank Indonesia—yang kurang populer di mata warga.

Tingkat kemelekan politik di akar rumput, sebenarnya tidak parah-parah betul. Tengok saja, konstelasi politik dalam perebutan kursi nomor satu dan dua di negeri ini, menjadi ota lapau di tengah masyarakat. Perbincangan siapa yang layak memimpin kapal besar yang bernama Indonesia itu, adalah santapan sehari-hari warga kota.

Tidak salah bila Minangkabau disebut cikal bakal demokrasi. Menjelang Pilpres 8 Juli mendatang, para pengamat politik lapau bermunculan. Hampir di setiap lapau, seolah telah disulap menjadi ajang debat capres. Sebut saja di Pagodang Tarandam, selalu hangat dengan perdebatan para capres. Layaknya debat politik di telivisi.

”Maliek kompleksitas kondisi bangsa kini, kito butuh figur tegas dan prorakyat. Tantunyo nan tapek sosok duet Megawati-Prabowo,” imbuh Yhon Munir pada sebuah kesempatan di Pagodang.

Lapau bukan sekadar untuk belanja, tapi juga ”mimbar bebas” dalam berbagi informasi. Seperti lapau di Tanjuangaua, Kototangah ini.

Bagi pendukung SBY dan JK, komentar itu tentu tidak serta diterima. Masing-masing penudukung punya analisis bahwa jagoannyalah yang tepat memimpin negeri ini.

Tidak di lapau atau di perkantoran, di komplek perumahan pun ramai dengan perbincangan capres. Dari hasil wawancara Padang Ekspres, nama SBY memang melakat di benak dan di hati rakyat badarai. Mereka bahkan tidak peduli siapa pun wakilnya, SBY tetap menjadi pilihan. Dari sejumlah warga yang ditanya koran ini, umumnya tidak mengenal Boediono. Namun begitu, mereka tetap saja memilih duet SBY-Boediono dalam pilpres nanti.


”Yang penting bagi kami SBY presidennya. Terserah saja siapa wakilnya,” kata Agus, 22, yang mengaku mahasiswa Universitas Negeri Padang. Selain Agus, sekitar puluhan warga yang ditanya koran ini seputar duet JK-Wiranto, menyebut tidak begitu sreg dengan pasangan saudagar-militer itu. ”SBY itu orangnya tenang dan arif. Walau dizalimi, dia tetap saja sabar,” komentar Rosita, 51, warga Aircamar.

Anto, tukang ojek di Pasar Raya lainnya, juga mengaku kaget jagoannya memilih Boediono sebagai pendamping. Dia sendiri tidak akrab di telinganya nama Boediono. ”Namun sacaro pribadi, ambo tatap mamiliah SBY. Yang penting itu, seorang pemimpin bisa memparatian nasib kami rakyat ketek ko ,” ungkapnya.

Suara rakyat alias vox pop di Kota Padang ini, juga tercermin dari hasil polling Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal Mei ini. Pasangan SBY-Boediono diprediksi mengungguli lawan-lawannya memperoleh 70 persen suara. Menyusul jauh di belakangnya Mega-Prabowo dengan 21 persen. ”Sekarang memang belum mulai kampanye. Saya nggak tahu bisa atau tidak Mega-Prabowo mengejarnya,” kata Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani di kantornya, Jalan Lembang Terusan, Menteng, Kamis (14/5).

Di tempat terpisah, dosen Sosiologi Politik UNP Eka Vidya Putra mengatakan, gejolak calon wakil presiden yang diajukan partai politik untuk mendampingi SBY begitu banyak. ”Bisa jadi Boediono pendamping SBY yang ideal. Namun yang disesalkan adalah proses pemilihannya. Partai koalisi tidak dilibatkan. Demokrasi tak berjalan,” ulasnya.

Populernya SBY di mata warga Padang, berbanding lurus dengan kemenangan Partai Demokrat di daerah ini. Bahkan, pencapaiannya termasuk tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta, sekitar 40 persen. Apa pun pendapat warga, semoga suara rakyat suara Tuhan terjadi di negeri nenek moyang demokrasi ini. (cr12)

Tuesday 5 May 2009

Menumbuhkan Kembali Budaya Illmiah

Budaya ilmiah dalam kampus UNP yang mulai pudar mengancam eksistensi universitas di mata masyarakat. Akreditasi C yang disandang oleh UNP tak boleh terus dibiarkan.

Budaya ilmiah adalah hakikat dari Tri Dharma perguruan tinggi. Budaya ini menciptakan kampus yang diselimuti oleh kegiatan – kegiatan yang bernuansa ilmiah, menuntut ramainya kampus dengan diskusi – diskusi ilmiah baik dalam perkuliahan maupun diluar kelas. Selain itu budaya ilmiah juga dapat memicu lahirnya karya tulis ilmiah baik oleh dosen maupun mahasiswa. Namun kini mahasiswa dan dosen cenderung meninggalkan kegiatan – kegiatan yang menjadi ciri budaya ilmiah. Menurut Eka Vidya Putra, seorang pengamat sosial UNP hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Selain kurangnya referensi, jumlah mahasiswa yang membludak menjadi akar permasalahan ini.


Jumlah mahasiswa UNP kini tidak berbanding lurus dengan fasilitas yang disediakan. Tidak seimbangnya jumlah mahasiswa dengan fasilitas menjadi akibat dari banyaknya jalur masuk ke universitas.” Universitas seharusnya lebih selektif dalam meneriman mahasiswa” ungkap seorang Pakar Pendidikan UNP, Prof. Dr. Mukhaiyar. Jika jumlah mahasiswa sesuai dengan fasilitas yang disediakan, tak akan sulit untuk kembali menumbuhkan budaya ilmiah di dalam kampus, tambah Mukhaiyar. Dosen akan lebih mudah merangkul mahasiswa.


Jika jumlah mahasiswa seimbang dengan jumlah dosen, maka kesempatan dosen akan lebih maksimal membimbing mahasiswa. Tak hanya membimbing mahasiswa untuk menumbuhkan budaya ilmiah, dosen sendiri pun kan memiliki kesempatan untuk mengembangkan sendiri kegiatan – kegiatan yang bernuansa budaya ilmiah. Misalnya dengan melakukan penelitian dan menulis buku.


Seperti yang dilakukan salah satu dosen jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dr. Harris Effendi Thahar. Menurut Harris menulis adalah tugasnya sebagai dosen disamping mengajar dan mendidik. “Menulis buku dan membuat karya ilmiah itu bisa dikatakan kewajiban bagi pengajar. Tak perlu disuruh-suruh apalagi dipaksa,” ungkap Harris kepada Ganto, Senin (16/3). Menurut dosen yang memang suka menulis sejak SMP ini, menjadi ilmiah dengan menulis baik itu tulisan populer maupun karya tulis ilmiah menjadi kebanggaan dan prestasi tersendiri bagi dosen, apalagi ketika karyanya dipublikasikan.


Untuk mau menulis baik buku maupun karya ilmiah lainnya dosen memang harus menyadari kewajibannya sebagai dosen. Di UNP memang belum ada kewajiban untuk membuat buku dan menulis karya ilmiah bagi setiap dosen. “Berbeda dengan Universitas Airlangga,” ujar Tarmizi, B. Sc, S. Pd salah seorang pegawai laboratorium yang juga aktif menulis buku. Tarmizi memulai kegiatan menulisnya dari penelitian – penelitian kecil yang dilakukannya sendiri. “Dari penelitian-penelitian sederhana itulah saya belajar dan mencoba menulis buku dan karya lainnya,” paparnya pada Ganto, Kamis (12/3). Kumpulan penelitian sederhana itulah yang kemudian ia perbaiki, revisi hingga menjadi sebuah buku. Kini, beberapa 12 buku yang dihasilkannya menjadi buku pedoman laboratorium kimia UNP.


Untuk mau meneliti dan menghasilkan karya dosen dan mahasiswa memang harus difasilitasi oleh universitas. Menurut Prof. Mohd. Anshar, Ph.D, salah seorang pakar pendidikan UNP, universitas telah mencoba menyediakan sarana dan wadah dalam mengembangkan budaya ilmiah ini. “Yang masih kurang adalah kualitas dari sarana dan fasilitas yang disediakan itu,” ungkap Anshar (30/3). Tidak semua dosen dapat memberdayakan wadah yang telah disediakan. . Lihat sajalah keadaan UNP sekarang, ujar Anshar, mulai dari fenomena jumlah mahasiswa, sarana dan fasilitas, sistem perkuliahan yang tidak efektif dan tentu saja kegiatan – kegiatan yang mencerminkan budaya ilmiah yang mulai pudar. Padahal, hal-hal inilah yang menjadi indikator penilaian akreditasi sebuah universitas.


Status akreditasi merupakan cerminan kerja perguruan tinggi yang bersangkutan dan menggambarkan mutu universitas. Penurunan akreditasi merupakan kemunduran bagi universitas, seperti yang dilihat seorang pakar sosial UNP, Prof. Dr. Mestika Zed. “ Untuk universitas yang telah berdiri begitu lama seperti UNP, menyandang akreditasi C adalah sesuatu yang memalukan,” ujarnya kepada Ganto, Senin (30/3). Mestika melihat turunnya akreditasi menjadi indikasi hilangnya budaya imiah UNP.


Dalam pandangan Anshar, hal – hal ini tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. “Kita harus merubah ini,” tegasnya. Perubahan, menurut Anshar harus dimulai dari hal yang kecil baik oleh dosen maupun mahasiswa. Budaya ilmiah berawal dari kebiasaan mengeluarkan pendapat, kritis dan peduli akan lingkungan sekitar. Jika mahasiswa tidak mendapatkan hal ini di dalam kelas, tak ada keberanian yang akan dibawa mahasiswa di luar perkuliahan. Hal ini, memerlukan peran aktif dosen untuk membimbing mahasiswa. Namun, menumbuhkan budaya ilmiah memang tak bisa dilaksanakan begitu saja. Beberapa hal disebutkan Anshar sebagai poin – poin penting dalam menumbuhkan budaya ilmiah kembali yakni perencanaan, penyusunan atau menajemen., pelaksanaan dan control dalam setiap kegiatan.


Pendapat ini didukung oleh Eka Vidya Putra, S. Sos, M. Si seorang pengamat sosial UNP lainnya. Menurut Eka, yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan mahasiswa penalar yang sanggup berpikir sesuai dengan konteks. Ada dua proses yang dapat dilakukan dalam menciptakan mahasiswa penalar. Pertama, ujarnya intrakulikuler melalui proses belajar mengajar di dalam kelas dan melalui ekstrakulikuler dengan bergabung dengan organisasi mahasiswa. “Karena dengan perguruan tinggi yang diramaikan oleh insan penalar, termasuk dosen yang juga mau berdiskusi dengan mahasiswa dengan sendirinya budaya ilmiah akan terjaga dan berkembang di dalam kampus,” papar Eka, Jum’at (27/3).


Menanggapi hal ini pihak universitas mengaku tengah menyiapkan jalan keluar. Menurut PR I UNP, Prof. Dr. Phil Yanuar Kiram, selama ini fasilitas dan sarana untuk menumbuhkan budaya imiah bukanya tidak ada. “ Hanya saja belum optimal” ujar Yanuar kepada Ganto (30/3). Beberapa wadah seperti Lembaga Penelitian dan Pusat Penelitian Ilmia dan Pengembangan Mahasiswa ( PPIPM ) telah berusaha mewadahi pelaksanaan penelitian bagi dosen dan mahasiswa. Namun, animo civitas akademika yang memang rendah membuat lemabaga dan organisasi ini tak terlalu diminati. Universitas, menurut Yanuar telah berusaha mensosialisaikan dan memberi kesempatan kepada para dosen untuk mengembangkan kemampuan sehingga dapat menularkannya kepada mahasiswa.” Misalnya dengan memberikan kesempatan yang luas untuk mengikuti seminar ditingkat nasional dan internasional,” tambah Yanuar.


Beberapa strategi telah direncanakan universitas dalam menjaga dan meningkatkan budaya ilmiah di dalam kampus. Evaluasi pengontrolan efektfitas perkuliahan melalui tim PR I mulai dari minggu pertama menjadi andalan. Selain itu, lanjut PR I lagi, untuk mengaktifkan kembali diskusi terutama didalam perkuliahan, akan dibentuk Standard Operational Procedure ( SOP ) Pengajaran yang mengatur secara detail system perkuliahan dan tujuan yang ingin dicapai dari setiap poin SOP tersebut. “ Universitas akan kembali fokus kepada mutu,” ujarnya lagi.


Della/Septri
Laporan : Meri, Adek, Sari



Monday 27 April 2009

Ratusan Ribu Surat Suara Rusak, Tunggu Pengganti KPU Pusat

Sumbar | Kamis, 19/03/2009 09:39 WIB
Rahmat Doni - Padang Ekspres



Ratusan ribu surat suara Pemilu 9 April mendatang yang telah didistribusikan ke kabupaten dan kota rusak saat proses penyortiran dan pelipatan surat suara. Surat suara itu ditemukan dalam kondisi robek, berlobang, terkena tinta pada nama calon dan partai politik (parpol) serta kertas surat suara yang belum dipotong sempurna dari percetakan. 

Surat suara rusak itu meliputi 144.465 lembar untuk DPR RI dengan rincian 56.452 lembar di daerah pemilihan (dapil) I, 88.013 lembar untuk dapil II. Selain itu, 123.616 lembar surat suara rusak untuk DPRD Provinsi dengan rincian dapil I 553 lembar, dapil II 397 lembar, dapil III 50819 lembar, dapil VI 1029 dan dapil V 170818 lembar. Kemudian 24.105 lembar untuk DPD. 

Sementara kerusakan surat suara untuk DPRD kabupaten/kota, hingga kini belum ada laporan dari KPU masing-masing daerah ke KPU Sumbar. “Hal itu akan dikonfirmasikan kembali ke KPU kabupaten kota,” kata Anggota KPU Sumbar Divisi Logistik Desi Asmaret, kepada Padang Ekspres (Group Padang-Today). 

Desi mengatakan, semua surat suara rusak itu akan diganti KPU pusat setelah KPU kabupaten dan kota mengadakan rapat pleno dan melaporkannya secara resmi ke KPU provinsi. Surat suara rusak itu akan dimusnahkan dengan cara dibakar dan disaksikan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan polisi setelah ada instruksi KPU pusat. Saat ini, surat suara rusak tersebut disimpan di gudang logistik KPU. 

Penggantian dan pendistribusian surat suara yang rusak kotak suara, tinta segel dan bilik suara, dilakukan setelah ada instruksi dan pengiriman barang dari KPU pusat. 

”Untuk menjaga keamanannya, pendistribusiannya dikawal petugas kesekretariatan umum bagian logistik provinsi dan kabupaten/kota. Terutama pengawalan untuk pemeriksaan dan penerimaan barang di masing-masing daerah,” tuturnya. 

Dari Rp42,3 miliar anggaran KPU 2009, sebanyak Rp2,4 miliar digunakan untuk biaya rutin kepegawaian, Rp32,9 miliar untuk pengadaan logistik dan Rp7 miliar untuk biaya program dan sosialisasi. 

Dana logistik Rp32,9 miliar tersebut, Rp20,9 miliar akan digunakan untuk pengadaan dan distribusi logistik Pemilu DPD, DPR RI dan DPRD. Sementara untuk pemilihan presiden, sebanyak Rp12 miliar. “Anggaran distribusi logistik masing-masing kabupaten dan kota berbeda karena menyesuaikan dengan sulitnya medan. Namun berapa rinciannya dan daerah mana yang terbesar belum kita bagi,” tukasnya. 

Belajar dari Kesalahan 

Guna menciptakan pelaksanaan pemilu berkualitas, pengamat politik dari Universitas Negeri Padang, Eka Vidya Putra meminta KPU, Panwaslu dan kepolisian belajar dari kesalahan pemilu sebelumnya. “Seharusnya tidak ada lagi kesalahan, baik secara administratif maupun instruktif. Sebab, pemilu sudah berada di ambang pintu,” katanya. 

Eka mengimbau agar seluruh masyarakat ikut berpartisipasi membantu tim pemilu dalam bekerja karena itu tanggung jawab bersama. 
“Jika kita butuh perbaikan, lakukanlah secara bersama-sama. Jangan sampai menyalahkan kerja pelaksana pemilu saja. Tidak seluruh kesalahan bisa kita tudingkan kepada mereka,” tambahnya. 

KPU dan panwaslu harus berupaya pula serius memantau, mengawasi dan mengatur penyelenggaraan pemilu mendatang. Jika tidak mereka akan menuai risikonya sendiri. “Orang yang menabur benih yang tidak baik, maka akan menuai hasil yang tidak baik pula. Sebaliknya, jika menabur benih yang baik dan bernas, maka akan menuai hasil yang baik pula,” tukasnya. [*]

Pemilih Sudah Terbiasa Memilih Nama Calon, Bukan Partai

Maret 21, 2009 

- PADANG – Pemilih di Sumatera Barat sudah terbiasa memilih atau menandai nama calon padan Pemilihan Umum. Bukan tanda pada partai seperti survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) minggu lalu. Hal itu sudah terbukti sejak pelaksanaan Pemilu tahun 2004 di mana sekitar 60 persen pemilih mencoblos nama calon legislatif. 
Hal itu diungkapkan Anggota KPU Sumbar, Husni Kamil Manik kepada padangmedia.com, Rabu (4/3). Husni mencontohkan, untuk Daerah Pemilihan Sumbar I, dari 7 partai yang mendapatkan kursi di DPR-RI, yang menandai nama di atas 50 persen. PBB misalnya, pemilih yang mencoblos nama Caleg sebanyak 59,88 persen. PPP, yang mencoblos nama Caleg sebanyak 61,10 persen. Selanjutnya, Partai Demokrat sebanyak 70,24 persen, PAN sebanyak 62,87 persen, PKS 74,29 persen, PDIP 65,81 persen dan Partai Golkar sebanyak 68,43 persen.

“Hal itu menjelaskan bahwa sejak Pemilu 2004, pemilih telah mengenal Caleg. Mereka lebih banyak mencoblos nama ketimbang mencoblos partai,” ujar Husni.

Data dari Pemilu 2004 tersebut, katanya, menunjukkan bahwa pemilih sejak Pemilu tahun 2004 itu sudah mulai terbiasa sesuai dengan aspirasinya pada calon perorangan, bukan Partai Politik (Parpol). Hal itu, lanjut Husni, sangat bertentangan dengan survei yang dipublikasikan LSI pada minggu kemarin.

Pada hasil survei terbaru yang dilakukan lembaga itu, secara umum ditemukan pemilih lebih banyak yang menandai partai dibandingkan menandai calon. Temuan LSI itu mengindikasikan bahwa para calon dan KPU belum mampu membantu dan meyakinkan pemilih agar menandai calon sebagai indikator peningkatan kualitas pemilu.

Hasil survei LSI menunjukkan, 44 persen dari 2.455 responden menandai partai, 36 persen menandai calon, 12 persen menandai partai dan calon, dan lainnya 9 persen. Hasil itu didapatkan dengan melakukan simulasi pilihan menggunakan surat suara dengan pertanyaan yang diajukan: apa yang dipilih?

Mengomentari survei itu, Husni justru memprediksi Pemilu 2009 justru ada kemajuan. Bukan seperti hasil survei tersebut yang menunjukkan kemunduran partisipasi pemilih.

Hal senada disampaikan pengamat politik, Eka Vidya. Menurutnya, survei LSI harus dilihat dari pertanyaan yang diajukan apa. “Kalau pertanyaannya umum, seperti apa yang dipilih? Sudah pasti yang dijawab adalah partai. Namun, jika ditanyakan, untuk calon yang di bawah ini, siapa yang dipilih? Baru akan dijawab, orangnya atau calonnya,” ujar Eka.

Meski demikian, Eka juga meragukan anggapan soal calon bisa mendongkrak suara partai. Hal itu disebabkan, partai lebih dulu dikenal masyarakat dan pendekatan ideologis pemilih atau masyarakat berada di partai.

Faktor lain yang menentukan suara menurutnya adalah keberadaan caleg itu sendiri. Jika Caleg memang berada di Dapilnya, baru ada kecenderungan masyarakat untuk memilih Caleg tersebut karena yang bersangkutan sudah dekat dengan pemilih. Karena itu, kecenderungan tersebesar pemilih yang akan memilih Caleg adalah untuk tingkat kabupaten/kota. Sebab, Caleg yang akan dipilih biasanya betul-betul berdomisili di sekitar Dapilnya. (romi) padangmedia.com

Wednesday 11 March 2009

Rangkap Jabatan Tak Ideal Dalam Dunia Politik

Swari Arfan - Posmetro Padang

klik untuk melihat foto

Pengamat Sosial dan Politik, Eka Vidya Putra mengatakan ketika seseorang yang berpengaruh cukup besar dalam sebuah partai apabila sudah menjabat dalam struktur pemerintahan idealnya harus mengundurkan diri dari jabatan partai yang dipegangnya.

"Tindakan tersebut sangat penting dilakukan, karena jika seorang pimpinan partai sudah duduk dalam jabatan pemerintahan, berarti di bukan lagi milik partai yang terdiri dari sekelompok orang, melainkan sudah menjadi milik masyarakat. Apabila sudah menjadi milik masyarakat, maka dia harus mengutamakan kepentingan masyarakat dalam setiap pekerjaannya," sebut Eka yang juga sebagai dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang ini ketika ditemui POSMETRO (Group Padang-Today).

Pernyataan yang dilontarkan oleh Eka tersebut menanggapi sikap Walikota Padang, Fauzi Bahar, dan Wakil Walikota Padang, Mahyeldi. Walaupun telah memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) namun keduanya masih memegang jabatan penting di partainya masing-masing yakni Fauzi Bahar sebagai sebagai Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN), dan Mahyeldi sebagai Wakil Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dijelaskannya, Apa yang dilakukan oleh kedua pemimpin ini adalah suatu bentuk keinginan untuk melakukan penumpukan kekuasaan. Seseorang yang menguasai pemerintahan dan partainya, maka dia secara otomatis akan menguasai legislatif dan pemerintahan. "Kondisi ini sama halnya dengan apa yang terjadi diwaktu pemerintahan zaman Orde baru.Yang terjadi bukan lagi pendisitribusian kekuasan melainkan sentralisasi kekuasaan, selain itu juga akan menghambat proses dialog yang merupakan identitas dari demokrasi," tutur Eka.

Hal ini juga sangat berbahaya karena dituturkannya bisa menjadikan kekuatan politik untuk kepentingan politik, bukan lagi kepentingan masyarakat yang akan berdampak terjadinya berbagai penyimpangan.

Selain itu, dampak negatif yang ditimbulkan menurut Eka muncul pada optimalisasi kerja kedua pemimpin tersebut sebagai penjabat pemerintahan. "Kita ketahui bahwa pemilu semakin dekat, peranan keduanya sangat dibutuhkan oleh partai dalam mempengaruhi suara masyarakat dalam pemilihan Caleg dan Partai, kondisi ini nantinya bisa membuat tugas mereka sebagai kepala pemerintah terabaikan.Selain itu juga bisa berdampak akan terjadinya penyimpangan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan partainya," ungkap Eka.

Menanggapi harmonisasi duet kedua pemimpin tersebut, Eka menilai harus dilihat dari kepentingan mereka. "Jika keduanya disatukan oleh kepentingan kekuasaan maka duet tersebut tidak akan lama bertahan, namun jika keduanya disatukan melalui persamaan visi maka duet keduanya akan lama bertahan, sebut Eka.

Dituturkannya, untuk penyamaan visi, keduanya seharusnya sudah melakukannya sebelum mengambil keputusan untuk berduet. "Tapi saya menilai kedua pemimpin tersebut lahir dari dua partai yang memiliki kedekatan dan visi yang hampir sama, kemungkinan hal tersebut bisa melahirkan kesamaan visi dari kedua pemimpin tersebut, Harap Eka. [*]

Friday 13 February 2009

Eka Vidya : Irman Harusnya Bisa Jadi Contoh Caleg Sekarang

Rabu, 28/01/2009 09:22 WIB


padangmedia.com - PADANG-Apa yang dilakukan calon anggota DPD RI, Irman Gusman terhadap atribut kampanyenya yang menggunakan lambang negara dan latar belakang gambar gedung MPR/DPR-RI, menuai kritikan dari pengamat politik Eka Vidya Putra.

Eka mengatakan bahwa Undang-undang No 10 Tahun 2008 itu memang memiliki banyak kelemahan. Salah satunya, lanjut Eka, adalah tentang pemasangan atribut kampanye calon anggota DPD.

"Seharusnya Irman yang telah paham dan tahu kelemahan UU, tidak memanfaatkannya. Sehingga terkesan ia sengaja memancing perdebatan," ujar Eka kepada padangmedia.com.

Menurut Eka, sebagai calon anggota DPD yang pada pemilu tahun 2004 lalu memiliki suara tertinggi dan terpilih menjadi wakil Ketua DPD RI periode 2004-2009, Irman seharusnya dapat memberikan pelajaran politik kepada caleg yang ada sekarang ini.

"Bukannya melakukan manipulasi atribut kampanye. Ia memang tidak bisa dikatakan melanggar aturan dalam Undang-undang, namun secara etika politik ia telah menyalahi. Harusnya ia memiliki jiwa demokrat dan menjadi contoh bagi caleg sekarang ini," ujar Eka.

Sebelumnya, Ketua Panwaslu Adhi Wibowo mengatakan bahwa Irman Gusman melanggar Undang-undang no 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam Pasal 84 ayat poin i, tertulis: membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan.

Kemudian ketika ditanyakan tentang penjelasan tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan, Adhi menunjukan, bahwa tanda gambar dan/atau atribut peserta Pemilu yang bersangkutan itu merujuk pada Pasal 10. Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g dilarang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah.

Di sana cuma dijelaskan untuk partai politik. Sementara, Irman Gusman merupakan calon perseorangan dan bukan dari partai politik.

"Sedang partai politik saja dilarang, apalagi calon perseorangan," ujarnya singkat. (romi)

Wednesday 11 February 2009

Dasar Fatwa MUI Dinilai tak Kuat

Fatwa Golput Haram
PADANG- Beberapa fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada sidang ijtima’ di Padangpanjang pada 24 – 26 Januari 2009 lalu, terus menuai kontroversi. Bahkan fatwa haram tentang tidak menyalurkan hak suara atau dekenal golongan putih (golput) mendapat kritikan dari pengamat politik Eka Vidya Putra. Menurut Eka, MUI telah berbuat terlalu jauh karena dasar MUI memberikan fatwa haram terhadap golput tidak cukup kuat. Padahal, lanjutnya, faktor penyebab golput itu banyak hal. Diantaranya, persoalan administrasi yakni jika masyarakat tidak terdaftar sebagai pemilih berarti otomatis orang tersebut adalah golput. Kemudian, persoalan teknis, yakni jika ketika saat pemilihan, peserta pemilih tidak dapat menggunakan hak suaranya karena kesibukan lain, otomatis orang tersebut juga golput.

"Kemudian yang paling penting, masyarakat memilih golput itu karena sudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap partai maupun calon perseorangan yang nantinya akan maju," urai Eka, Selasa (27/1). Eka menjelaskan, bahwa persoalan yang muncul dari fatwa haram golput itu adalah kriteria tentang calon pemimpin yang memiliki syarat sesuai dengan ajaran Islam itu. "Siapa yang nantinya akan menentukan, karena tiap orang pasti berbeda melihat pemimpin yang akan dipilihnya. Apakah itu nantinya MUI juga yang menetapkan? Jadinya, fatwa tersebut terkesan mubazir dan dijual murah saja," tutur Eka yang juga dosen di Universitas Negeri Padang ini. Isu golput haram ini, lanjut Eka, berasal dari Din Syamsudin. Menurut Eka, sebagai politisi seharusnya para politisi tersebut bukannya memaksa masyarakat memilih dengan mengeluarkan fatwa. Artinya, masyarakat (muslim) akan merasa terpaksa memilih karena sudah di fatwa haram jika tidak memilih. "Padahal fatwa muncul karena kesalnya para politisi yang disebabkan sedikitnya pemilih sementara tenaga dan uang yang dikeluarkan untuk kampanye sangat besar. Sehingga masyarakat dianggap bodoh dengan adanya fatwa ini," urainya.

Seharusnya menurut Eka, para elit politik itu mencari cara lain yang lebih efektif untuk membuat masyarakat dengan sukarela menggunakan hak pilih mereka. Dengan mengeluarkan fatwa, lanjutnya, sudah sama seperti Orde Baru: jika tidak menggunakan hak pilih berarti tidak percaya dengan Pancasila. "Fatwa itu memaksa masyarakat secara halus, dan terkesan ada maksud terselubung," ujarnya. (pmc,dis)

Thursday 15 January 2009

Tantangan Pemilu 2009

Oleh Eka Vidya Putra

ImageMeskipun masyarakat kita telah terbiasa mengikuti Pemilu dan penyelenggara pun telah berpengalaman, bukan berarti tantangan Pemilu 2009 akan jauh lebih ringan. Kondisi bisa jadi sebaliknya, Pemilu 2009 akan jauh lebih berat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Prediksi ini bisa jadi tidak berlebihan, apalagi jika kita melihat realitas sosial politik masyarakat sampai di penghujung tahun 2008 ini.



Sejak Pemilu legislatif 2004 sampai penghujung 2008 kondisi politik lokal tidak pernah sepi dari hiruk pikuk pemilu. Sepanjang tahun 2005 ada 14 kali Pilkada, dengan komposisi satu di tingkat propinsi (gubernur dan wakil gubernur), dua di kota (walikota dan wakil walikota) dan 11 kali di tingkat kabupaten (bupati dan wakil bupati). Tahun 2006 dan 2007, masing-masingnya ada satu Pilkada. Satu di tingkat kabupaten dan satu di tingkat kota. Tahun 2008 jumlahnya kembali meningkat, tercatat ada empat Pilkada dan semuanya diselenggarakan pada daerah perkotaan, termasuk Kota Padang sebagai penutup. Tidak hanya itu, suhu politik 2008 diperpanas lagi dengan kesiapan sejumlah partai politik dan calon DPD dalam menghadapi Pemilu 2009. Kondisi ini akan bertolak belakang dengan terus menguatnya tuntutan masyarakat untuk segera menuntaskan krisis ekonomi. Lebih dari sepuluh tahun hiruk pikuk politik ditingkahi dengan jerit tangis kemiskinan.



Tantangan Pemilu
Menyikapi kondisi tersebut, maka tantangan pelaksanaan Pemilu 2009 sepertinya jauh lebih berat. Salah satunya dari segi penyelenggara. Walaupun KPU merasa sudah bekerja optimal, tapi di setiap penyelenggaraan pemilu masalah sosialisasi selalu menjadi sorotan. Banyak faktor yang menyebabkan lemahnya sosialisasi ke masyarakat, diantaranya berkaitan dengan kondisi keruangan. Luasnya wilayah, apa lagi untuk daerah kabupaten akan berdampak pada daya jelajah penyelenggara atau peserta pemilu dalam melakukan sosialisasi. Kondisi serupa akan tergambar juga dari komposisi masyarakat yang heterogen dilihat dari tingkat pendidikan, ekonomi dan budaya. Ketiga kategori tersebut berdampak langsung pada kecepatan dan kepekaan pemilih dalam mengakses sumber-sumber informasi. Padahal informasi merupakan kunci utama dari efektifitas sebuah sosialisasi.


Hal lain yang perlu dikritisi adalah media dan cara sosialisasi yang masih miskin inovasi. Sosialisasi masih mengandalkan media berbentuk spanduk, stiker, atau iklan-iklan lewat media massa. Masalah selanjutnya adalah banyak masyarakat yang tidak daftar sebagai pemilih. Meski data kependudukan maupun data pemilih setiap tahun mengalami pembaharuan, namun masalah data pemilih masih menjadi titik lemah dari penyelenggaraan Pemilu. Terakhir kondisi serupa dapat dilihat dalam Pilkada Kota Padang. Tak jarang kelemahan dari akurasi pendataan pemilih ini menjadi ruang bagi kandidat atau partai yang kalah untuk menggugat hasil akhir dari Pemilu. Jika kondisi tersebut terus berlanjut tidak akan menguntungkan bagi pelembagaan demokratisasi.


Pada tingkat internal, konflik antara anggota KPU dengan staf kesektariatan KPU menjadi gejala umum yang kerap terjadi. Secara langsung maupun tidak langsung konflik internal di KPU akan mengganggu kinerja penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, kualitas dari penyelenggara Pemilu itu sendiri. Berdasarkan catatan, komposisi anggota KPU kabupaten dan kota jika dibandingkan antara yang lama dengan yang baru, jumlah anggota yang baru lebih banyak dibandingkan dengan yang lama. Kondisi tersebut berbeda dengan anggota KPU Sumbar yang rata-rata anggotanya merupakan wajah lama. Dominasi wajah baru dalam komposisi KPU kabupaten dan kota dapat dilihat sebagai kekuatan dan sekaligus kelemahan.


Selanjutnya, tingkat partisipasi politik masyarakat. Angka rata-rata kehadiran pemilih dalam Pilkada mencapai 27%. Namun, ada sejumlah wilayah yang angka keterlibatan pemilihnya mendekati 50%. Dalam Pilkada di Kota Bukittinggi dan Kota Padang yang menggunakan hak pilih hanya 52% dan 57%. Itu belum kita masukan pemilih yang tidak terdata. Secara nasional, hampir di seluruh penyelenggaraan Pilkada suara yang tidak menggunakan hak pilih masih lebih tinggi dibandingkan dengan pemenang Pilkada itu sendiri. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya.


Pertama, rendah dan tidak efektifnya sosialisasi, pendidikan politik dan komunikasi politik pada masyarakat. Masyarakat kita belum berhasil menjelaskan dengan baik kenapa harus ikut berpartisipasi dalam Pemilu, apa makna satu suara menentukan perjalanan bangsa apa hubungan antara Pemilu dengan aktivitas keseharian yang mereka jalani dan seterusnya. Kondisi semakin diperburuk dengan fakta bahwa masyarakat lebih dominan hanya diberikan pendidikan pemilihan, tapi sangat minim mendapatkan pendidikan politik. Disini dapat dilihat orientasi partai politik atau institusi lainnya hanya “berniat” untuk membangun kesadaran atau lebih radikal lagi untuk memobilisasi orang untuk memilih. Artinya, Pemilu kehilangan makna subtantifnya. Kondisi ini kemudian melahirkan sikap apatis atau masa bodoh dari masyarakat.


Frustasi politik juga menjadi salah satu penyebabnya. Biasanya muncul dari kelompok-kelompok pemilih rasional. Perguruan Tinggi merupakan kelompok masyarakat yang cukup besar tidak menggunakan hak pilih. Kelompok ini belakangan terus meluas. Gejala tersebut meluas dengan munculnya sikap politik masyarakat yang semakin tidak percaya pada partai politik, pemilu atau Pilkada. Mereka beranggapan politik merupakan aktivitas kotor yang penuh dengan tipu muslihat, suka menanam tebu di bibir, suka baladang di punggung orang. Sikap seperti ini dapat disebut dengan sikap sinis.


Pesta demokrasi kita juga masih rentan dengan konflik horizontal dan vertikal. Konflik dapat terjadi di awal, tengah atau akhir penyelenggaraan proses Pemilu. Realitas politik kita masih sangat jauh dari sikap kedewasaan. Sikap “siap kalah dan siap menang" baru sebatas komitmen di atas kertas. Setidaknya ada dua kondisi yang paling berpengaruh, yaitu masalah rekayasa politik dari elite dan masalah keotentikkan. Pandangan para elit (di semua ranah kehidupan) masih menilai masyarakat kita sebagai kelompok tradisional. Ironisnya, kondisi tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek, yang seharusnya mesti bertanggungjawab untuk melakukan pencerdasan politik. Akhirnya, jika tidak hati-hati menyikapi situasi yang berkembang maka kita semua harus bersiap-siap untuk mendengar lonceng kematian bagi proses demokrasi yang sedang berjalan.


Penulis Dosen Sosiologi Politik Universitas Negeri Padang