Tuesday 2 December 2008

Penyelesaian yang Tak Menyelesaikan

Ganto On Line, Koran Kampus

Konflik atau tawuran yang terjadi antar mahasiswa sering kali tidak diselesaikan dengan tuntas. Sering kali langkah yang diambil untuk meredam tawuran tersebut hanya sebatas meliburkan kegiatan kuliah. Contohnya, ketika terjadi tawuran antar mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Yayasan Persada YAI Jakarta. Pihak universitas meliburkan perkuliahan untuk meredam tawuran. Begitu pula halnya dengan FT dan FIK yang kembali terlibat tawuran pada akhir September 2008. Dalam tawuran ini terjadi penyerangan dari kedua fakultas secara bergantian maupun bersamaan. Diawali FT yang menyerang FIK (18/9) dan diakhiri sweeping mahasiswa FIK ke gedung perkuliahan FT (22/09). Dalam setiap tawuran dan konflik yang terjadi upaya penyelesaian melalui perundingan selalu ditempuh. Perundingan yang berakhir dengan permintaan maaf dan kesepakatan acap kali tak menyelesaikan masalah hingga ke intinya. Terbukti dari masih terjadinya tawuran susulan setelah itu.
Langkah yang sama juga ditempuh Universitas lain yang terlibat tawuran di Sumatera Barat. Dalam tawuran FT UNAND dan FPTK IKIP yang terjadi 1997 lalu, kebijakan yang diambil kedua pihak pimpinan setelah perundingan yang alot, dengan menginstruksikan mahasiswa untuk pulang ke kampung masing-masing pasca tawuran. “ Untuk mendinginkan mahasiswa,” ungkap Badrul Mustafa Kemal, PR III Unand, Selasa (4/11).


Tak jauh berbeda dengan tawuran yang terjadi dua tahun belakangan pada IKIP yang kini bernama UNP. Setelah ricuh yang terjadi pada akhir PKKMB tahun 2007 lalu, diadakan pertemuan dengan pimpinan fakultas dan mahasiswa dari kedua pihak yang berselisih. Namun, kesepakatan yang diambil tidak menyelesaikan konflik yang ada secara tuntas. Pasalnya, dua kesepakatan yang diambil dalam perundingan tersebut dinilai terlalu memberatkan FT. Bagaimana dengan tawuran terakhir yang terjadi? Tetap sama. Setelah tawuran terjadi, pihak pimpinan fakultas memanggil unsur pimpinan fakultas dan mahasiswa yang terlibat dalam tawuran untuk duduk bersama membicarakan masalah yang terjadi. Namun, permintaan maaf dan kesepakatan yang diambil tidak menjamin bentrok tidak akan pernah terulang lagi. Demikian diungkapkan Eka Vidya Putra, seorang pengamat sosial UNP. Menurut Eka untuk menyelesaikan masalah tawuran ini hingga tuntas harus dicari masalah sebenarnya yang menyebabkan tawuran hampir menjadi agenda rutin mahasiswa. “Harus dicari akar masalahnya untuk mencegah tawuran terjadi kembali,” ungkap Eka, Jum’at (7/11).


Eka berpendapat mahasiswa harus dipupuk rasa persatuannya. Hal ini dikarenakan menurutnya penyebab pertikaian pada umumnya dipicu oleh rasa kecintaan yang berlebihan pada fakultas masing-masing tanpa diiringi rasa cinta pada universitas secara utuh. Kurniat, ketua umum Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) pun juga beranggapan sama. Akar masalah konflik antar mahasiswa menurutnya terjadi dikarenakan mahasiswa yang terkotak-kotak di fakultas masing-masing. “Karena itu ketika terjadi konflik, mahasiswa lebih mementingkan kelompok dan fakultasnya masing-masing dari pada persatuan bersama,” ungkapnya kepada Ganto, Kamis (6/11). Hal senada juga diungkapkan pengamat sosial UNAND, Prof. Damsar. Menurutnya pengenalan akan kekerasan dan konflik pada setiap saat orientasi, merupakan penanaman akar kekerasan dan konflik pada mahasiswa baru. “ Artinya, dari awal mahasiswa baru dikenalkan dengan suasana kesenioritasan yang membuat tradisi ini diwarisi oleh junior-juniornya nanti,” papar Damsar.

Mengenai orientasi mahasiswa, lanjutnya salah satu yang menjadi masalah tak lain, lembaga dan organisasi mahasiswa sebagai perpanjangan tangan pihak universitas untuk menyelenggarakannya . Lembaga dan ormawa sebagai perwakilan mahasiswa bertanggung jawab dan berwenang untuk ikut serta dalam menyelesaikan konflik yang ada dan bertanggung jawab mencegah hal sama terjadi kembali. Hal ini yang dinilai Damsar, sebagai poin kelemahan lembaga dan ormawa selama ini dikarenakan selama ini lembaga dan ormawa kampus sama sekali belum berperan dalam menyelesaikan konflik antar mahasiswa. Meski setiap terjadi konflik, seluruh ormawa dan pihak universitas berkumpul untuk mencari penyelesaian, namun tetap saja hal itu tidak berpengaruh sama sekali. “Tidak ada tindakan nyata dari ormawa sendiri,” tegasnya.


Hal ini, menurut Eka Vidya, disebabkan tidak adanya kemampuan problem solving yang dimiliki oleh lembaga atau organisasi mahasiswa di UNP. Dari tahun ke tahun program dan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dan ormawa hanya pengulangan dari kegiatan tahun sebelumnya. “ Kegiatan-kegiatan yang dijalankan ormawa tidak mencerminkan keinginan mahasiswa secara keseluruhan,“ papar Eka. Mulai dari organisasi tingkat jurusan (HMJ), tingkat fakultas ( BEMF, BPM,BSO) maupun di tingkat universitas (BEMU, MPM).


Hal ini diakui Kurniat selaku ketua MPM UNP. Dalam konflik tawuran yang terjadi September lalu MPM sama sekali tidak berperan baik dalam menengahi maupun menyelesaikan konflik tersebut. “ Karena hal itu telah mengarah pada tindakan kriminal “ ungkap Kurniat. Dalam konflik ini MPM melalui komisi A hanya melakukan pertemuan dengan kedua belah pihak untuk mendapatkan informasi yang seimbang, tambah Kurniat.


Hal senada juga diungkapkan presiden mahasiswa UNP, Efrans Galuh Setiawan. Menurutnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNP hanya mediasi untuk merekatkan kembali hubungan yang telah renggang akibat konflik melalui Departemen Hubungan Antar Lembaga. Diakui Efrans bahwa BEM U belum melakukan tindakan apa-apa baik pada saat maupun setelah konflik terjadi. Namun baik Kurniat maupun Efrans telah mengancang kebijakan pencegahan konflik agar tidak terjadi lagi. Diskusi dengan organisasi mahasiswa, baik itu BEM, BEM Fakultas dan semua unit kegiatan mahasiswa diadakan dengan tujuan mengingatkan kembali bahwa seluruh mahasiswa dalam satu payung UNP. “Selain itu memperbanyak aktivitas mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas dengan harapan mahasiswa akan disibukkan dan terhindar dari konflik” tutup Efrans, Rabu (5/10) di sekretariat BEM UNP.