Monday 25 May 2009

Ketika Rakyat Berbicara Politik

 
Sabtu, 16 Mei 2009
Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dipastikan bertarung pada Pilpres 8 Juli mendatang. Bagaimana komentar rakyat badarai terhadap calon pemimpin Republik ini? Betulkah suara mereka cerminan suara Tuhan alias vox populi vox Dei?

Tiga pasang capres/wapres itu adalah Jusuf Kalla-Wiranto, SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo. Ketiganya adalah stok lama, kecuali Boediono dan Prabowo sebagai wapres. Namun dari tiga pasang capres/cawapres tersebut, hanya nama Boediono—Gubernur Bank Indonesia—yang kurang populer di mata warga.

Tingkat kemelekan politik di akar rumput, sebenarnya tidak parah-parah betul. Tengok saja, konstelasi politik dalam perebutan kursi nomor satu dan dua di negeri ini, menjadi ota lapau di tengah masyarakat. Perbincangan siapa yang layak memimpin kapal besar yang bernama Indonesia itu, adalah santapan sehari-hari warga kota.

Tidak salah bila Minangkabau disebut cikal bakal demokrasi. Menjelang Pilpres 8 Juli mendatang, para pengamat politik lapau bermunculan. Hampir di setiap lapau, seolah telah disulap menjadi ajang debat capres. Sebut saja di Pagodang Tarandam, selalu hangat dengan perdebatan para capres. Layaknya debat politik di telivisi.

”Maliek kompleksitas kondisi bangsa kini, kito butuh figur tegas dan prorakyat. Tantunyo nan tapek sosok duet Megawati-Prabowo,” imbuh Yhon Munir pada sebuah kesempatan di Pagodang.

Lapau bukan sekadar untuk belanja, tapi juga ”mimbar bebas” dalam berbagi informasi. Seperti lapau di Tanjuangaua, Kototangah ini.

Bagi pendukung SBY dan JK, komentar itu tentu tidak serta diterima. Masing-masing penudukung punya analisis bahwa jagoannyalah yang tepat memimpin negeri ini.

Tidak di lapau atau di perkantoran, di komplek perumahan pun ramai dengan perbincangan capres. Dari hasil wawancara Padang Ekspres, nama SBY memang melakat di benak dan di hati rakyat badarai. Mereka bahkan tidak peduli siapa pun wakilnya, SBY tetap menjadi pilihan. Dari sejumlah warga yang ditanya koran ini, umumnya tidak mengenal Boediono. Namun begitu, mereka tetap saja memilih duet SBY-Boediono dalam pilpres nanti.


”Yang penting bagi kami SBY presidennya. Terserah saja siapa wakilnya,” kata Agus, 22, yang mengaku mahasiswa Universitas Negeri Padang. Selain Agus, sekitar puluhan warga yang ditanya koran ini seputar duet JK-Wiranto, menyebut tidak begitu sreg dengan pasangan saudagar-militer itu. ”SBY itu orangnya tenang dan arif. Walau dizalimi, dia tetap saja sabar,” komentar Rosita, 51, warga Aircamar.

Anto, tukang ojek di Pasar Raya lainnya, juga mengaku kaget jagoannya memilih Boediono sebagai pendamping. Dia sendiri tidak akrab di telinganya nama Boediono. ”Namun sacaro pribadi, ambo tatap mamiliah SBY. Yang penting itu, seorang pemimpin bisa memparatian nasib kami rakyat ketek ko ,” ungkapnya.

Suara rakyat alias vox pop di Kota Padang ini, juga tercermin dari hasil polling Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal Mei ini. Pasangan SBY-Boediono diprediksi mengungguli lawan-lawannya memperoleh 70 persen suara. Menyusul jauh di belakangnya Mega-Prabowo dengan 21 persen. ”Sekarang memang belum mulai kampanye. Saya nggak tahu bisa atau tidak Mega-Prabowo mengejarnya,” kata Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani di kantornya, Jalan Lembang Terusan, Menteng, Kamis (14/5).

Di tempat terpisah, dosen Sosiologi Politik UNP Eka Vidya Putra mengatakan, gejolak calon wakil presiden yang diajukan partai politik untuk mendampingi SBY begitu banyak. ”Bisa jadi Boediono pendamping SBY yang ideal. Namun yang disesalkan adalah proses pemilihannya. Partai koalisi tidak dilibatkan. Demokrasi tak berjalan,” ulasnya.

Populernya SBY di mata warga Padang, berbanding lurus dengan kemenangan Partai Demokrat di daerah ini. Bahkan, pencapaiannya termasuk tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta, sekitar 40 persen. Apa pun pendapat warga, semoga suara rakyat suara Tuhan terjadi di negeri nenek moyang demokrasi ini. (cr12)

Tuesday 5 May 2009

Menumbuhkan Kembali Budaya Illmiah

Budaya ilmiah dalam kampus UNP yang mulai pudar mengancam eksistensi universitas di mata masyarakat. Akreditasi C yang disandang oleh UNP tak boleh terus dibiarkan.

Budaya ilmiah adalah hakikat dari Tri Dharma perguruan tinggi. Budaya ini menciptakan kampus yang diselimuti oleh kegiatan – kegiatan yang bernuansa ilmiah, menuntut ramainya kampus dengan diskusi – diskusi ilmiah baik dalam perkuliahan maupun diluar kelas. Selain itu budaya ilmiah juga dapat memicu lahirnya karya tulis ilmiah baik oleh dosen maupun mahasiswa. Namun kini mahasiswa dan dosen cenderung meninggalkan kegiatan – kegiatan yang menjadi ciri budaya ilmiah. Menurut Eka Vidya Putra, seorang pengamat sosial UNP hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Selain kurangnya referensi, jumlah mahasiswa yang membludak menjadi akar permasalahan ini.


Jumlah mahasiswa UNP kini tidak berbanding lurus dengan fasilitas yang disediakan. Tidak seimbangnya jumlah mahasiswa dengan fasilitas menjadi akibat dari banyaknya jalur masuk ke universitas.” Universitas seharusnya lebih selektif dalam meneriman mahasiswa” ungkap seorang Pakar Pendidikan UNP, Prof. Dr. Mukhaiyar. Jika jumlah mahasiswa sesuai dengan fasilitas yang disediakan, tak akan sulit untuk kembali menumbuhkan budaya ilmiah di dalam kampus, tambah Mukhaiyar. Dosen akan lebih mudah merangkul mahasiswa.


Jika jumlah mahasiswa seimbang dengan jumlah dosen, maka kesempatan dosen akan lebih maksimal membimbing mahasiswa. Tak hanya membimbing mahasiswa untuk menumbuhkan budaya ilmiah, dosen sendiri pun kan memiliki kesempatan untuk mengembangkan sendiri kegiatan – kegiatan yang bernuansa budaya ilmiah. Misalnya dengan melakukan penelitian dan menulis buku.


Seperti yang dilakukan salah satu dosen jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dr. Harris Effendi Thahar. Menurut Harris menulis adalah tugasnya sebagai dosen disamping mengajar dan mendidik. “Menulis buku dan membuat karya ilmiah itu bisa dikatakan kewajiban bagi pengajar. Tak perlu disuruh-suruh apalagi dipaksa,” ungkap Harris kepada Ganto, Senin (16/3). Menurut dosen yang memang suka menulis sejak SMP ini, menjadi ilmiah dengan menulis baik itu tulisan populer maupun karya tulis ilmiah menjadi kebanggaan dan prestasi tersendiri bagi dosen, apalagi ketika karyanya dipublikasikan.


Untuk mau menulis baik buku maupun karya ilmiah lainnya dosen memang harus menyadari kewajibannya sebagai dosen. Di UNP memang belum ada kewajiban untuk membuat buku dan menulis karya ilmiah bagi setiap dosen. “Berbeda dengan Universitas Airlangga,” ujar Tarmizi, B. Sc, S. Pd salah seorang pegawai laboratorium yang juga aktif menulis buku. Tarmizi memulai kegiatan menulisnya dari penelitian – penelitian kecil yang dilakukannya sendiri. “Dari penelitian-penelitian sederhana itulah saya belajar dan mencoba menulis buku dan karya lainnya,” paparnya pada Ganto, Kamis (12/3). Kumpulan penelitian sederhana itulah yang kemudian ia perbaiki, revisi hingga menjadi sebuah buku. Kini, beberapa 12 buku yang dihasilkannya menjadi buku pedoman laboratorium kimia UNP.


Untuk mau meneliti dan menghasilkan karya dosen dan mahasiswa memang harus difasilitasi oleh universitas. Menurut Prof. Mohd. Anshar, Ph.D, salah seorang pakar pendidikan UNP, universitas telah mencoba menyediakan sarana dan wadah dalam mengembangkan budaya ilmiah ini. “Yang masih kurang adalah kualitas dari sarana dan fasilitas yang disediakan itu,” ungkap Anshar (30/3). Tidak semua dosen dapat memberdayakan wadah yang telah disediakan. . Lihat sajalah keadaan UNP sekarang, ujar Anshar, mulai dari fenomena jumlah mahasiswa, sarana dan fasilitas, sistem perkuliahan yang tidak efektif dan tentu saja kegiatan – kegiatan yang mencerminkan budaya ilmiah yang mulai pudar. Padahal, hal-hal inilah yang menjadi indikator penilaian akreditasi sebuah universitas.


Status akreditasi merupakan cerminan kerja perguruan tinggi yang bersangkutan dan menggambarkan mutu universitas. Penurunan akreditasi merupakan kemunduran bagi universitas, seperti yang dilihat seorang pakar sosial UNP, Prof. Dr. Mestika Zed. “ Untuk universitas yang telah berdiri begitu lama seperti UNP, menyandang akreditasi C adalah sesuatu yang memalukan,” ujarnya kepada Ganto, Senin (30/3). Mestika melihat turunnya akreditasi menjadi indikasi hilangnya budaya imiah UNP.


Dalam pandangan Anshar, hal – hal ini tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. “Kita harus merubah ini,” tegasnya. Perubahan, menurut Anshar harus dimulai dari hal yang kecil baik oleh dosen maupun mahasiswa. Budaya ilmiah berawal dari kebiasaan mengeluarkan pendapat, kritis dan peduli akan lingkungan sekitar. Jika mahasiswa tidak mendapatkan hal ini di dalam kelas, tak ada keberanian yang akan dibawa mahasiswa di luar perkuliahan. Hal ini, memerlukan peran aktif dosen untuk membimbing mahasiswa. Namun, menumbuhkan budaya ilmiah memang tak bisa dilaksanakan begitu saja. Beberapa hal disebutkan Anshar sebagai poin – poin penting dalam menumbuhkan budaya ilmiah kembali yakni perencanaan, penyusunan atau menajemen., pelaksanaan dan control dalam setiap kegiatan.


Pendapat ini didukung oleh Eka Vidya Putra, S. Sos, M. Si seorang pengamat sosial UNP lainnya. Menurut Eka, yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan mahasiswa penalar yang sanggup berpikir sesuai dengan konteks. Ada dua proses yang dapat dilakukan dalam menciptakan mahasiswa penalar. Pertama, ujarnya intrakulikuler melalui proses belajar mengajar di dalam kelas dan melalui ekstrakulikuler dengan bergabung dengan organisasi mahasiswa. “Karena dengan perguruan tinggi yang diramaikan oleh insan penalar, termasuk dosen yang juga mau berdiskusi dengan mahasiswa dengan sendirinya budaya ilmiah akan terjaga dan berkembang di dalam kampus,” papar Eka, Jum’at (27/3).


Menanggapi hal ini pihak universitas mengaku tengah menyiapkan jalan keluar. Menurut PR I UNP, Prof. Dr. Phil Yanuar Kiram, selama ini fasilitas dan sarana untuk menumbuhkan budaya imiah bukanya tidak ada. “ Hanya saja belum optimal” ujar Yanuar kepada Ganto (30/3). Beberapa wadah seperti Lembaga Penelitian dan Pusat Penelitian Ilmia dan Pengembangan Mahasiswa ( PPIPM ) telah berusaha mewadahi pelaksanaan penelitian bagi dosen dan mahasiswa. Namun, animo civitas akademika yang memang rendah membuat lemabaga dan organisasi ini tak terlalu diminati. Universitas, menurut Yanuar telah berusaha mensosialisaikan dan memberi kesempatan kepada para dosen untuk mengembangkan kemampuan sehingga dapat menularkannya kepada mahasiswa.” Misalnya dengan memberikan kesempatan yang luas untuk mengikuti seminar ditingkat nasional dan internasional,” tambah Yanuar.


Beberapa strategi telah direncanakan universitas dalam menjaga dan meningkatkan budaya ilmiah di dalam kampus. Evaluasi pengontrolan efektfitas perkuliahan melalui tim PR I mulai dari minggu pertama menjadi andalan. Selain itu, lanjut PR I lagi, untuk mengaktifkan kembali diskusi terutama didalam perkuliahan, akan dibentuk Standard Operational Procedure ( SOP ) Pengajaran yang mengatur secara detail system perkuliahan dan tujuan yang ingin dicapai dari setiap poin SOP tersebut. “ Universitas akan kembali fokus kepada mutu,” ujarnya lagi.


Della/Septri
Laporan : Meri, Adek, Sari