Tuesday 2 December 2008

Penyelesaian yang Tak Menyelesaikan

Ganto On Line, Koran Kampus

Konflik atau tawuran yang terjadi antar mahasiswa sering kali tidak diselesaikan dengan tuntas. Sering kali langkah yang diambil untuk meredam tawuran tersebut hanya sebatas meliburkan kegiatan kuliah. Contohnya, ketika terjadi tawuran antar mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Yayasan Persada YAI Jakarta. Pihak universitas meliburkan perkuliahan untuk meredam tawuran. Begitu pula halnya dengan FT dan FIK yang kembali terlibat tawuran pada akhir September 2008. Dalam tawuran ini terjadi penyerangan dari kedua fakultas secara bergantian maupun bersamaan. Diawali FT yang menyerang FIK (18/9) dan diakhiri sweeping mahasiswa FIK ke gedung perkuliahan FT (22/09). Dalam setiap tawuran dan konflik yang terjadi upaya penyelesaian melalui perundingan selalu ditempuh. Perundingan yang berakhir dengan permintaan maaf dan kesepakatan acap kali tak menyelesaikan masalah hingga ke intinya. Terbukti dari masih terjadinya tawuran susulan setelah itu.
Langkah yang sama juga ditempuh Universitas lain yang terlibat tawuran di Sumatera Barat. Dalam tawuran FT UNAND dan FPTK IKIP yang terjadi 1997 lalu, kebijakan yang diambil kedua pihak pimpinan setelah perundingan yang alot, dengan menginstruksikan mahasiswa untuk pulang ke kampung masing-masing pasca tawuran. “ Untuk mendinginkan mahasiswa,” ungkap Badrul Mustafa Kemal, PR III Unand, Selasa (4/11).


Tak jauh berbeda dengan tawuran yang terjadi dua tahun belakangan pada IKIP yang kini bernama UNP. Setelah ricuh yang terjadi pada akhir PKKMB tahun 2007 lalu, diadakan pertemuan dengan pimpinan fakultas dan mahasiswa dari kedua pihak yang berselisih. Namun, kesepakatan yang diambil tidak menyelesaikan konflik yang ada secara tuntas. Pasalnya, dua kesepakatan yang diambil dalam perundingan tersebut dinilai terlalu memberatkan FT. Bagaimana dengan tawuran terakhir yang terjadi? Tetap sama. Setelah tawuran terjadi, pihak pimpinan fakultas memanggil unsur pimpinan fakultas dan mahasiswa yang terlibat dalam tawuran untuk duduk bersama membicarakan masalah yang terjadi. Namun, permintaan maaf dan kesepakatan yang diambil tidak menjamin bentrok tidak akan pernah terulang lagi. Demikian diungkapkan Eka Vidya Putra, seorang pengamat sosial UNP. Menurut Eka untuk menyelesaikan masalah tawuran ini hingga tuntas harus dicari masalah sebenarnya yang menyebabkan tawuran hampir menjadi agenda rutin mahasiswa. “Harus dicari akar masalahnya untuk mencegah tawuran terjadi kembali,” ungkap Eka, Jum’at (7/11).


Eka berpendapat mahasiswa harus dipupuk rasa persatuannya. Hal ini dikarenakan menurutnya penyebab pertikaian pada umumnya dipicu oleh rasa kecintaan yang berlebihan pada fakultas masing-masing tanpa diiringi rasa cinta pada universitas secara utuh. Kurniat, ketua umum Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) pun juga beranggapan sama. Akar masalah konflik antar mahasiswa menurutnya terjadi dikarenakan mahasiswa yang terkotak-kotak di fakultas masing-masing. “Karena itu ketika terjadi konflik, mahasiswa lebih mementingkan kelompok dan fakultasnya masing-masing dari pada persatuan bersama,” ungkapnya kepada Ganto, Kamis (6/11). Hal senada juga diungkapkan pengamat sosial UNAND, Prof. Damsar. Menurutnya pengenalan akan kekerasan dan konflik pada setiap saat orientasi, merupakan penanaman akar kekerasan dan konflik pada mahasiswa baru. “ Artinya, dari awal mahasiswa baru dikenalkan dengan suasana kesenioritasan yang membuat tradisi ini diwarisi oleh junior-juniornya nanti,” papar Damsar.

Mengenai orientasi mahasiswa, lanjutnya salah satu yang menjadi masalah tak lain, lembaga dan organisasi mahasiswa sebagai perpanjangan tangan pihak universitas untuk menyelenggarakannya . Lembaga dan ormawa sebagai perwakilan mahasiswa bertanggung jawab dan berwenang untuk ikut serta dalam menyelesaikan konflik yang ada dan bertanggung jawab mencegah hal sama terjadi kembali. Hal ini yang dinilai Damsar, sebagai poin kelemahan lembaga dan ormawa selama ini dikarenakan selama ini lembaga dan ormawa kampus sama sekali belum berperan dalam menyelesaikan konflik antar mahasiswa. Meski setiap terjadi konflik, seluruh ormawa dan pihak universitas berkumpul untuk mencari penyelesaian, namun tetap saja hal itu tidak berpengaruh sama sekali. “Tidak ada tindakan nyata dari ormawa sendiri,” tegasnya.


Hal ini, menurut Eka Vidya, disebabkan tidak adanya kemampuan problem solving yang dimiliki oleh lembaga atau organisasi mahasiswa di UNP. Dari tahun ke tahun program dan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dan ormawa hanya pengulangan dari kegiatan tahun sebelumnya. “ Kegiatan-kegiatan yang dijalankan ormawa tidak mencerminkan keinginan mahasiswa secara keseluruhan,“ papar Eka. Mulai dari organisasi tingkat jurusan (HMJ), tingkat fakultas ( BEMF, BPM,BSO) maupun di tingkat universitas (BEMU, MPM).


Hal ini diakui Kurniat selaku ketua MPM UNP. Dalam konflik tawuran yang terjadi September lalu MPM sama sekali tidak berperan baik dalam menengahi maupun menyelesaikan konflik tersebut. “ Karena hal itu telah mengarah pada tindakan kriminal “ ungkap Kurniat. Dalam konflik ini MPM melalui komisi A hanya melakukan pertemuan dengan kedua belah pihak untuk mendapatkan informasi yang seimbang, tambah Kurniat.


Hal senada juga diungkapkan presiden mahasiswa UNP, Efrans Galuh Setiawan. Menurutnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNP hanya mediasi untuk merekatkan kembali hubungan yang telah renggang akibat konflik melalui Departemen Hubungan Antar Lembaga. Diakui Efrans bahwa BEM U belum melakukan tindakan apa-apa baik pada saat maupun setelah konflik terjadi. Namun baik Kurniat maupun Efrans telah mengancang kebijakan pencegahan konflik agar tidak terjadi lagi. Diskusi dengan organisasi mahasiswa, baik itu BEM, BEM Fakultas dan semua unit kegiatan mahasiswa diadakan dengan tujuan mengingatkan kembali bahwa seluruh mahasiswa dalam satu payung UNP. “Selain itu memperbanyak aktivitas mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas dengan harapan mahasiswa akan disibukkan dan terhindar dari konflik” tutup Efrans, Rabu (5/10) di sekretariat BEM UNP.

Sunday 23 November 2008

Politisi Impor dan Oligarki Partai

Sabtu, 22 November 2008

Oleh : Muhammad Taufik Pengajar di IAIN Imam Bonjol dan Eka Vidya Putra, UNP ( Peneliti Revolt Institute)

Beberapa minggu yang lalu media masa mendadah keterkaitan petinggi-petinggi partai yang menempatkan keluarga mereka dalam daftar urut utama caleg partai. Praktik KKN di tubuh partai ini menambah daftar kekecewaan masyarakat terhadap partai. Di samping itu hal ini muncu juga sebagai respon sebagai bentuk kekecewaan kader partai yang sudah lama mengabdi dikalahkan oleh keberadaan keluarga petinggi partai. Tapi ada satu hal yang teralfakan banyak orang bahwa problem partai tidak hanya berada pada konteks itu saja, tapi persoalan lain adalah keberadaan caleg di daerah yang secara “paksa” ditempatkan oleh DPP masing-masing partai.


Hal ini mengindikasikan betapa besarnya kekuasaan DPP atas pengurus partai di tingkat daerah. Dan ini adalah kekalahan pegurus partai di tingkat lokal. Meski sudah dibahas dalam media ini, tapi sepertinya belum mendapat tempat yang luas. Persoalan ini diketengahkan sebagai bagian dari pemahaman bersama bagaimana parta (DPP) mempraktikkan kekuasannya sampai pada tingakat lokal.



Senyatanya persoalan otonomisasi bukan hanya terletak pada relasi pusat dan daerah dalam konteks penyelenggara negara (pemerintah). Sebagai wujud dalam pengejewantahan demokratisasi, partai selayaknya mempraktikkan prinsip-prinsip otonomisasi dalam membangun kepartaian. Tapi dari data yang beredar memunculkan persoalan baru dengan mengapungnya kader partai yang secara geneologis dan kultural tidak memiliki keterkaitan dengan daerah yang diwakili dan bahkan sama sekali tidak pernah melakukan pergumulan dan perkelindanan dengan realitas kehidupan yang diwakili.



Persoalannya, bagaimana pemahaman ini bisa dirasionalisasikan apalagi ini dikaitkan dengan semangat reformasi, kebangkitan dan perubahan yang diusung oleh partai. Ternyata praktik kekuasaan partai di tingkat pusat mengalahkan nalar semangat kebangkitan dan otonomisasi partai. Praktik ini bisa dilihat Sumatera Barat, beberapa calon legislatif yang diusung oleh partai menggambarkan keironian partai di tingkat lokal itu sendiri; ironi ketakberdayaan, ironi kekalahan, ironi ketaklukan.



Oleh sebab itu bagaimana massa-rakyat meyakini partai di tingkat lokal mampu melakukan bargaining lebih besar sementara dalam konteks kepartaian mereka sendiri mengusung sentralisasi partai. Ini sangat kontraproduktif dengan semangat otonomisasi. Otonomisasi mengandalkan kedaudalatan partai di tingkat lokal untuk menata, mengatur dan mengendalikan partainya dengan tetap berprinsip menunjung tinggi semangat menggali potensi di aras lokal.



Ternyata, alih-alih melakukan otonomisasi partai tingkat lokal, malahan partai bergairah mengimpor orang-orang dari Pusat dan menjadikan mereka representasi masyarakat Sumatera Barat. Padahal mereka tidak pernah mendalami getaran-getaran nadi masyarakat Sumatera Barat.



Inilah praktik pembodohan yang dilakoni oleh partai. Sebagai salah satu bentuk harga diri masyarakat Sumatera Barat, ternyata partai mempraktikkan ketelanjangan; ketelanjangan bahwa partai-partai di Sumatera Barat tidak memiliki mantagi dan sekali lagi takluk dengan kekuasaan DPP. Akibatnya kader-kader baik partai di Sumatera Barat menumpuk dan akhirnya memunculkan sekat-sekat konflik sesama mereka. Inilah oligarki partai yang selama ini ditentang oleh komunitas perubahan.



Kenapa kehadiran politisi-politisi ‘impor’ menjadi persoalan? Politisi impor adalah bentuk dan sosok politisi yang merepresentasikan diri sebagai suatu komunitas politik, padahal ia tidak tidak memiliki referensi jelas terhadap komunitas yang diwakilinya. Politisi ini lahir beradasarkan tirani partai ditingkat pusat yang merekayasa dan memaksa partai di tingkat lokal untuk menerima dan sementara partai di tingkat lokal tidak memiliki kuasa untuk menolak.



Kehadiran politisi impor ini memiliki problem tersendiri baik dalam konteks kehidupan politik lokal dan masyarakat sendiri. Karena politisi bagaikan penerus ‘sabda’ masyarakat yang terserak diaras lokalitas dan menjadikanya ‘sabda’ kolektif dalam menentukan keputusan-keputusan bangsa terhadap masyarakat itu sendiri. Senyatanya ini bukan pemahaman yang sempit terhadap demokrasi yang mengusung semua pihak memiliki hak yang sama dalam berpolitik, tapi persoalan terletak sejauhmana politisi itu memahami situasi asali masyarakat dan sejauhmana ia hidup dengan hal itu.



Itu bukan saja dalam makna bahwa sang politisi berasal dari Sumatera Barat, tapi ini berkaitan dengan keterkaitan diri dengan realitas dan bagaimana ia berproses lama dengan realitas (baca; Sumatera Barat). Ini mengandung tafsiran meski secara geneologis bukan berasal dari suku Minangkabau, tetapi ia hidup dan berproses dengan masyarakat, maka ia bukanlah kategori ini.



Kenapa ini menjadi arsiran, dikarenakan bahwa persona representasi mengindikasikan akan kehadiran persona tersebut dalam realitas interaksi keseharian, bukan tiba-tiba datang di Sumbar berbicara banyak hal di media koran atau televisi, yang kadang-kadang mendikte seolah-olah banyak orang bodoh di Sumatera barat, dan kemudian kembali ke Jakarta dengan meninggalkan iklan dan baliho dengan dibumbui segala pendapat yang kadang tidak menyambung dengan kontek keSumatera Baratan/keminangkabauan.



Ini pertunjukan kelucuan yang diperankan di pentas masyarakat Sumatera Barat yang dikenal cerdik dan pintar. Aksi politisi semacam ini merupakan drama yang dirancang untuk mempengaruhi masyarakat bahwa Jakarta itu hebat, segalanya dan lebih cerdas dibandingkan dengan politisi lokal. Dalam konteks ini ternyata partai mengukuhkan kembali praktik sentralisasi dan ini adalah kegagalan reformasi civil.



Persoalan ini sewajarnya harus dikritisi oleh masyarakat, akademisi, kaum muda yang menyatakan diri sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Sumtera Barat. Ini bukanlah kesempitan dalam berpikir atau, kalau ada yang berpendapat, sukuisme, daerahisme dan lain-lain yang berlebihan, tapi ini adalah kekhawatiran dan kegamangan akan terulangnya kembali peristiwa-peristiwa ini sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh parta-partai dalam pemilu sebelumnya.



Karenanya, persoalan ini harus segara diinsyafi ketika kurs politisi di mata masyarakat terus merosot. Demokrasi yang diandaikan mengembangkan kedaulatan, keikutsertaan dan kedaulatan rakyat justru melahirkan ketidakpercayaan dan keputusasaan masyarakat. Artinya, demokrasi menjadi pepesan konsong jika tidak disertai dengan kecermatan dalam menetapakan pilihan politik, memilih politisi (caleg) yang mengusung semangat kerakyatan dengan semangat lokalitas sesuai dengan sistem yang dianut.



Terakhir, apa lagi yang bisa diharapkan dengan bangsa yang jamak politisinya mengobral janji yang kadang hanya sebagai alat hipnotitasi masa-rakyat agar mengantarkan sang politisi ke singgasana. Bangsa ini (baca: Sumatera Barat) acapkali disibukan oleh dagelan-dagelan politisi yang tidak mengakar. Seolah bangsa ini tempat pertarungan para dagelan yang membuat cerita dan skenario sesuai dengan alur motif-motif individual.



Bangsa ini disibukkan dengan ritualisai demokrasi yang kadang menganggu kehidupan tenang mereka. Masyarakat tetap menjadi objek eksploitasi politik dengan beraneka permainan dan kesadaran palsu politisi. Mereka diajak (dipaksa?) untuk ikut bagian dari setiap peristiwan dan karnaval yang kadang-kadang menyuguhkan dagelan-dagelan dan arak-arakan politik. Mata mereka dipusingkan dengan kepadatan visual-visual, gambar, umbul-umbul, iklan, bendera baik di media, di dinding toko atau di sepanjang jalan. Mereka digiring dalam batas-batas kewarasannya untuk memilih dan mengikuti irama pertarungan yang warna-warni.



Barangkali tidak salah, mengutip Baudrillard, masyarakat dipenjara dalam bentuk keheningan dan kediaman (silent majority). Mereka acapkali diposisikan sebagai bagian dari sasaran tanpa sepantasnya mereka merespon secara sadar dan kritis atas apa yang mereka mamah dari ide-ide yang kadang kala tidak mereka mengerti.



Kita berharap dan sudah banyak bukti bahwa masyarakat sudah mulai cerdas dan tidak mudah tertipu dengan pencitraa kandidat yang kadang tidak rasional. Masyarakat sudah mulai faham dengan pengelaman pemilu legislatif, pilkada sebelumnya, bagaimana cara “memanfaatkan”, “cara mengkounter tipuan” atau menemukan formula/serum sebagai penawar atau anti toksin dari virus para kandidat.



Kalau pilkada sebelumnya masyarakat merasa ditipu oleh kandidat atau team sukses, maka sekarang saatnya bagi mereka negoisasi secara langsung. Atmosfer Politik uang atau perilaku politisi sebelumnya bagi masyarakat hari ini adalah senjata untuk menekan para kandidat. Ini kultur masyarakat yang disering ditipu yang akan selalu mencari kounter sebagai tipuan-tipuan ala mereka. Berdasarkan pengalaman mereka datang bukan datang lagi dengan kekosangan, tapi mereka datang dengan taktik sendiri yang didiamkan dalam akal pikiran mereka. Wallahu’alam bishawab. (***)

Saturday 22 November 2008

Penelitian dan Pendampingan

Pengalaman Penelitian dan Pendampingan :

No

Penelitian / Pendampingan


Tahun

1

TA One Stop Service untuk Pemda Kota 50 Kota, Sumatera Barat – The Asia Foundation (TAF)


Koordinator Area

April 2007 – Maret 2008

2

Survei Kepuasan Pelanggan pada Pengguna Layanan Jasa Bandara – YLKI


Konsultan

Februari 2008

3

Monitoring Pelaksanaan Etika Organisasi pada Kasus Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM) – KPMM atas dukungan Yayasan Tifa dan Frod Foundation


Konsultan

Januari 2008

4

Survei Perilaku Pemilih Jelang PILKADA Kota Pariaman – Revolt Institute


Peneliti Utama

Desember 2007

5

Studi Multikultur Masyarakat Kota Bukittinggi dalam Kaitannya dengannya sebagai kota tujuan wisata


Peneliti

Juni – Agustus 2007

6

TA One Stop Service untuk Pemda Kota Solok, Sumatera Barat – The Asia Foundation (TAF)


Peneliti

Maret 2006 s/d Maret 2007

7

Mengidentitifikasi Modal Sosial dan Budaya Masyarakat Minangkabau untuk Mendukung Nilai-nilai Demokrasi dan Pluralisme – CETCOS UNP dan TIFA Foundation


Koordinator

November s/d Februari 2007

8

Penilaan Buku Ajar untuk Sosiologi - PUSBUK, Departemen Pendidikan Nasional


Penilai

September 2007

8

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Kabupaten 50 Kota Jelang Pilkada Juli 2007 – Revolt Institute


Peneliti Utama

Januari 2007


Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penerapan Taransparansi dan Akuntabilitas:

Kasus Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM) – Lembaga Penelitian UNP


Peneliti Utama

Maret 2006 s/d Januari 2007

9

Survei Nasional Pengawasan Obat dan Makanan – Perfect 10, CIRUS Jakarta dan Badan POM


Peneliti Utama

November 2006

10

Studi Dampak Desentralisasi Terhadap Peningkatan Daya Saing Daerah – The Habibie Center


Pengumpul Data

Oktober 2006

11

Studi Evaluasi Penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia – PKSBE dan YAPIKKA Jakarta


Peneliti Lokal

September 2006

12

Penilaian Terhadap Pelaksanaan Good Governance (LGSP) di Kota Padangpariaman – PKSBE dan USAID


Peneliti

Agustus s/d Oktober 2005

13

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Muaro Jambi Jelang Pilkada – Pusat Kajian Kebijakan Publik


Peneliti Utama

November 2005

14

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Tanah Datar – Revoilt Intitut


Peneliti Utama

April 2005

15

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Sumatera Barat Jelang Pilkada Sumatera Barat – Revolt Institut


Peneliti Utama

Februari 2005

16

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Provinsi Jambi Jelang Pilkada Jambi – Pusat Kajian Kebijakan Publik


Peneliti Utama

Juli 2004

17

Persepsi Masyarakat tentang Sumbangan, Sedekah dan Infak di Indonesia – PIRAC Jakarta


Peneliti Lokal

Februari 2004

18

Survei Perilaku Pemilih Jelang Pemilihan Presiden – LP3ES


Peneliti Lokal

November 2003

19

Survei Perilaku Pemilih Jelang Pemilihan Presiden – LP3ES


Peneliti Lokal

Agustus 2003

20

Studi tentang Pelaksanaan Desentralisasi Pada Sektor Pertanian – CIRUS Jakarta dan Departemen Pertanian RI


Peneliti

Mei s/d Juli 2003

21

Survei Perilaku Pemilih Jelang Pemilu 2004 – Lembaga Survei Indonesia (LSI)


Peneliti Lokal

Maret 2003

22

Studi Penyelenggaraan Pelayanan Publik Transportasi di Jakarta – CIRUS Jakarta dan Yayasan Harkat Bangsa (YHB)


Peneliti

Juni s/d Juli 2002

23

Kajian Hubungan Sipil dan Militer di Daerah - FILTER


Peneliti

Februari, 2001

24

Persepsi Masyarakat tentang Sumbangan, Sedekah dan Infak di Indonesia – PIRAC Jakarta


Peneliti Lokal

Agustus, 2000

25

Presepsi Masyarakat Kerinci Terhadap Peningkatan Ekonomi Masyarakat (studi : Desa-desa di kawasan Penyanggah TNKS) – Pusat Kajian Wilayah Jambi


Peneliti Utama

April, 2000

26

Katup-katup Kemiskinan di Sumatera Barat


Pengumpul Data

1997

27

Penelitian Presepsi Masyarakat Terhadap Penggadaian di Indonesia


Pengumpul Data

1997

28

Penelitian Action Risearch 23 tipologi desa program IDT. Daerah Sikilang Pasaman Sumatera Barat


Pengumpul Data

1995

Tuesday 18 November 2008

HAND OUT PENGANTAR ILMU POLITIK

Pertemuan : 1 (pertama)

Materi : Pengertian dan Perkembangan Ilmu Politik


A. Pengertian Ilmu Politik

Defenisi Politik dan Ilmu Politik

Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti negara. Sedangkan orang yang mendiami polis, disebut dengan polites, yang berarti warga negara. Istilah tersebut terus berkembang dan kemudian menjadi politik seperti yang dikenal sekarang.

Secara defenisi, tidak ada defenisi tunggal terhadap konsep politik. Masing-masing ahli membuat defenisi sendiri-sendiri. Perbedaan masing-masing defenisi berada titik tekan atau kajian utama yang mereka anggap dapat mewakili konsep politik. Konsep politik yang dimaksud adalah: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), dan pembagian (distribution).

Keberagaman tersebut, dapat dilihat dari sejumlah defenisi berikut ini:

Meriam Budiharjo, mendefinisikan politik sebagai berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut.

Harol D. Lasswel, politik adalah masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when, and how).

Joyce Michel, mengatakan politik merupakan pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.

Karl W. Deutsch, menyenutkan politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum.

Berkaitan dengan keberagaman defenisi politik, Ramlan Surbakti mengambarkan ada lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang diangap penting.

Secara umum apa yang telah didefinisikan di atas merupakan konsep dari politik. Sedangkan defenisi ilmu politik belum satupun disingung. Jika demikian, pertanyaan dasar yang perlu diajukan adalah apa perbedaan antara politik dan ilmu politik? Atau apakah perbedaan antara keduanya, hanya terdapat pada tambahan kata ilmu saja?

Pengertian awam akan menjawab “ya”, yang disebut dengan ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik. Pengertian tersebut tentu saja tidak salah, karena ruang lingkup dari kajian ilmu politik adalah apa yang menjadi konsep dari politik. Sejumlah defenisi dapat mewakili pandangan ini, seperti:

Harol D. Lasswel dan A.Kaaplan, mengatakan ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.

Roger F. Soltou, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksankan tujuan-tujuan tersebut; hubungan antara negara dengan warga negara, hubungan antara negara dengan negara lainnya,

J. Barents, menegaskan ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara, yang merupakan bahagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara melaksanakan tugasya.

Namun dalam pengertian yang lebih khusus, ilmu politik tidak saja berarti ilmu yang mempelajari politik, tapi juga meliputi kesahihan dalam pengertian standar keilmiahan pengetahuan. Soejono Soekanto, secara pendek menyebutkan pengertian dari ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis dengan mengunakan kekuatan pemikiran, penmgetahuan dimana selalu dapat diperiksa dan ditelangah (dikontrol) dengan kritis oleh orang lain yang ingin mengetahuinya. Untuk itu ilmu pengetahuan mempunyai empat unsur utama, yaitu: empiris, teoritis, kumulatif dan non ethis. Artinya, mempelajari ilmu politik berarti mengupas kenyataan-kenyataan politik, yang didukung dengan absraksi dari hasil-hasil observasi, teori-teori dan bertujuan untuk memperjelas kejadian politik tersebut secara analitis.

B. Perkembangan Ilmu Politik

Merujuk pada pemikiran Aristoteles yang menyebutkan menyebutkan bahwa manusia adalah zoon politikon, artinya selama ada masyarakat disitu pasti ada kegiatan politik, semenjak ada peradapan, politik itu sudah ada. Maka politik dalam artian praktis pada dasarnya dekat dengan aktivitas kehidupan manusia. Hal itu tergambarkan dari tulisan-tulisan kuno, pratasti dan lainnya.

Politik dalam artian ilmu pengetahuan berkembang dan mulai dikenal luas sejak peradapan Yunani-Romawi. Bagiamana perkembangan ilmu politik, lebih menyeluruh dipaparkan oleh Ahmad Suhelmi. Dimana ada tiga peradapan yang mempunyai tradisi keilmuan dan pemikiran politik Barat, yaitu Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani dan Islam.

Yunani-Romawi

Tradisi keilmuan Yunani-Romawi memberikan konstibusi besar dalam perkembangan ilmu politik. Pemikiran filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles merupakan momentum awal dari perkembangan ilmu politik modern dewasa ini. Wajar jika kemudian kedua filosof tersebut dinobatkan sebagai Bapak Filsafat Politik dan Bapak Ilmu Politik.

Karya Plato dan Aristoteles, banyak memberi sumbangan pemikiran mengenai bentuk-bentuk negara dan hakikat pemerintahan. Plato mencita-citakan negara diperintah dengan kebijaksanaan, sebagaimana yang diperlihatkan oleh para filosof. Sedangkan Aristoteles, melihat negara yang ideal adalah negara yang mencoba melakukan kombinasi antara oligarkhi dan demokrasi. Sedangkan sumbangan terbesar dari peradapan Romawi terutama di bidang sistem hukum dan lembaga politik.

Judeo-Kritiani

Peradapan Judeo-Kritiani merupakan peradapan kedua yang meletakkan dasar-dasar intelektual dan filosofis bagi pembentukan dan perkembangan peradapan Barat. Orang-orang Jodeo atau Yahudi walaumenjadi kelompok minoritas, namun terkenal banyak melahirkan orang-orang besar dan melahirkan banyak peristiwa sejarah. Mereka berperan dalam proses kelahiran peradapan renaisans Eropah. Di abad XIX dan XX suku bangsa ini melahirkan banyak tokoh-tokoh besar dengan karya-karya ilmiah yang sampai saai ini mesih menjadi referensi utama para ilmuan. Nama-nama seperti Hegel dengan aliran Hegeliannisme, Marx dengan Marxisme, Darwin dengan Darwinisme, Sigmund Freud, Nietzsche, Herbert Spencer, Albert Einsten dan lainnya berasal dari bangsa Yahudi.

Sedangkan peradapan Kristiani memainkan peran penting berikutnya. Gereja banyak mengambil fungsi penting imperium dan membantu mengendalikan berbagai kekacauan sosial saat kehancuran imperium Romawi Barat. Pada abad XII-XIII Agama Kristen ikut mendorong kebangkitan ilmu pengetahuan dan sipiritual, bagi peradaban Barat. Puncak sumbangan Agama Kristen adalah melahirkan gerakan Protestan. Doktrin Reformasi Protestan berdampak luas bagi perilaku ekonomi dan kemudian terus berkembang menjadi infrastruktur yang kokoh untuk terbentuknya kapitalisme.

Islam

Walau tidak diakui peran Islam dalam mempengaruhi pemikir politik Barat tidak dapat diabaikan. Salah satu tokoh yang mengembangkan metodologi ilmiah berupa kajian teoritis empiris adalah Ibnu Khaldun. Seterusnya warisan ilmu dari Ibnu Rusyd, juga banyak mempengaruhi budaya Barat. Kuatnya pengaruh Ibnu Rusyd terhadap peradapan Barat diibaratkan oleh Tan Malaka seperti pengaruh Marxisme pada zaman sekarang.

Bahan Bacaan :

1. Budiardjo, Meriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta, Gramedia, cetak ketujuh 2005

2. Harycahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Presfektif, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986

3. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta, Gramedia, 1992

4. Rodee, Carlton Clymer, dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta, Rajawali, 1993

Tuesday 11 November 2008

Kuota 30 persen Jangan Sekadar Pemenuhan

Jumat, 19 September 2008
Padang, Padek-- Kuota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di kursi legislatif, hendaknya dapat dipenuhi oleh SDM perempuan yang berkualitas. Sehingga keterwakilan perempuan dalam parlemen memang mewakili kebutuhan dan suara perempuan.

Di samping itu perempuan juga harus menyikapi strategi partai dalam penempatan perempuan dalam pemilu 2009 sehingga perempuan tidak hanya dijadikan syarat untuk pemenuhan syarat 30 persen bagi partai.

Hal tersebut diungkapkan Ketua KPUD Sumbar Mufti Syarfie dalam seminar lokakarya yang diadakan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumbar di Pangeran Beach Hotel, kemarin. Selanjutnya Mufti menjelaskan bahwa saat ini pemerintah telah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk turut serta dalam setiap pengambilan kebijakan, saat ini permasalahannya mampukah perempuan memenuhi kebutuhan itu.

“Kenyataannya saat ini banyak perempuan yang lebih memilih untuk lebih berprofesi sebagai PNS, guru dan tenaga kesehatan. Sehingga seharusnya dari awal ditetapkannya kuota tersebut perempuan juga harus menyiapkan kadernya untuk berkiprah di dunia politik,” ujarnya.

Acara ini diikuti kaum perempuan yang berasal dari sejumlah ormas, partai dan sejumlah organisasi perempuan lainnya. Selain Mufti Syarfie, tampil sebagai pemateri lainnya dari IFES Indonesia, Admira Dini dan pengamat sosial UNP, Eka Vidya.

Apalagi ketentuan UU tentang kuota 30 persen perempuan tersebut tidak memberikan sanksi apabila kuota tersebut tidak dapat dipenuhi. Sehingga tidak ayal kondisi ini dikhawatirkan hanya asal sekadar pemenuhan kuota semata. Terlihat saat klarifikasi tidak banyak perempuan yang memenuhi persyaratan.

Hal tersebut seolah mengejutkan bahwa sesungguhnya kuota perempuan tersebut tambah Mufti seharusnya 50 persen. Sebab saat klarifikasi jika 20 persen tidak memenuhi syarat, maka masih ada 30 persen lagi.

Selanjutnya pembicara Ifes Indonesia, Admira Dini mengatakan bahwa perempuan harus cerdas menyikapi posisi dalam pencalonan legislatif mendatang. Diantaranya perempuan harus mengetahui posisi atau daerah pemilihan dan basis partai. (ni)

Saturday 25 October 2008

Koalisi PAN dan PKS Pascakemenangan Fauzi-Mahyeldi Komposisi Ideal Pemerintahan yang Kuat


pdf | cetak |
Rabu, 29 Oktober 2008

SAWAHAN, METRO-- Kemenangan Drs H Fauzi Bahar MSi dan H Mahyeldi Ansharullah SP, juga kemenangan dua partai politik (parpol) yang mendukungnya. Seperti diketahui, pasangan ini diusung Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan gabungan dua Parpol besar di Kota Padang ini, mereka kini menjadi ‘penguasa’ di parlemen.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Yuliandri SH MH menilai, dengan posisi PKS dan PAN saat ini, mereka telah mengumpulkan 20 dari 45 atau 44,4 persen kursi DPRD Padang. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dengan posisi itu. Pertama, dampak positifnya dapat membuat lancarnya proses pembuatan keputusan. Kedua, rentan terjadi perselingkuhan politik dan kebijakan antara eksekutif dan legislatif.

Tak jauh berbeda, Pengamat Politik dari Universitas Negeri Padang (UNP) Eka Vidya Putra SSos MSi menilai, akan terjadi sebuah kekuatan politik yang menguasai DPRD Padang. Antara PAN dan PKS juga memiliki kesamaan dalam sisi kepatuhan kepada pemimpin masing-masing. “Tapi, apakah mereka akan membangun koalisi permanen di parlemen, kita belum dapat memastikan. Tapi, untuk membangun pemerintahan yang kuat, ini adalah posisi yang ideal,” pungkas Eka Vidia.

Secara teoritis, lanjut Yuliandri, saat terjadi pemungutan suara atau voting, PAN-PKS hanya perlu menambah “kekuatan” 3 kursi saja. Jadi, apapun yang menjadi keputusan pemimpin kota yang harus mendapatkan persetujuan DPRD, akan berjalan dengan mudah. Karena telah mendapatkan 23 kursi (lebih dari setengah). Kondisi ini bisa menjadi baik, kalau seluruh anggota dewan, baik dari partai pendukung atau tidak dapat mengerti tugas masing-masing.

“Kalau 20 anggota dewan itu mampu tetap bersikap pada tugasnya — pengawasan, penganggaran dan legislatif, saya yakin kota ini akan mendapatkan kebijakan-kebijakan yang baik dan cepat. Namun, kita harus mencatat, kedudukan DPRD Padang saat ini hanyalah berdasarkan Pemilu 2004 dan akan berbeda pada Pemilu 2009 mendatang,” kata Yuliandri, Selasa (28/10) saat dihubungi koran ini.

Menurut Yuliandri, setelah penetapan hasil pasangan calon 2 November nanti, posisi PKS akan mulai menguat dan dapat berperan dalam pemerintahan kota. Bahkan, di sisa tugas DPRD Padang, arah kebijakan untuk penentuan APBD Perubahan 2008 dan APBD 2009 dapat dilakukan bersama antara PKS dan PAN.

“Jangan sampai, terjadi perselingkuhan politik yang merugikan rakyat kota ini,” tegas Yuliandri.Dia mengharapkan, DPRD Padang tidak kehilangan tugas pokok mereka sebagai pengawas eksekutif. Jangan sampai, karena yang menjadi pimpinan kota, anggota dewan menjadi ciut dan tidak berkuku lagi. Kalau sampai itu terjadi, jangan salahkan rakyat, kalau 2009 mendatang tidak akan memilih mereka kembali.

“Pemilu 2009 memang akan menjadi momen bagi PKS dan PAN untuk meningkatkan bargaining position. Mereka akan menyatakan diri, kalau kemenangan Pemilu KDH membuktikan partai tersebut baik,” lanjutnya. “Kondisi sebaliknya justru dapat terjadi. Kalau kedua pasangan calon ini tidak berperilaku baik dan mengecewakan, tentunya akan mempengaruhi suara Pemilu 2009. Meski waktu pencoblosan (Pemilu 2009) dan pelantikan tidak bertikai jauh.”

Parlemen Jalanan

Meski telah mampu menguasai parlemen, menurut Eka Vidia, belum tentu kebijakan yang diambil itu dapat diterima oleh masyarakat luas. Karena, perlu diingat, Pemilu Kepala Daerah (KDH) Kota Padang, hanya diikuti kurang dari 50 persen pemilih yang terdaftar sebagai pemilih tetap. Jika ditambah dengan suara yang memilih 4 pasangan lain, suara untuk PAN dan PKS sangat rendah. Karena itu, sosial kontrol dari masyarakat akan berjalan.

“Contoh saja di Kecamatan Padang Barat, posisi Fauzi Bahar dan Yusman Kasim berimbang dalam perolehan suara. Posisi ini sebenarnya dapat menjadi peringatan bagi calon terpilih untuk berhati-hati. Jangan sampai, ada Parlemen Jalanan menjatuhkan mereka di tengah jalan,” lanjut Dosen Sosiologi Politik FIS UNP ini.

Yuliandri dan Eka Vidia sependapat, seluruh kebijakan yang akan dikeluarkan pemimpin ke depan, harus benar-benar memihak kepada rakyat banyak. Jadi, setelah memenangkan voting di DPRD Padang, mereka masih harus mempertimbangkan kekuatan rakyat. “Bagaimana, pemimpin daerah ini harus mampu mengayom kepentingan masyarakat,” lanjutnya. (rvi)

Tuesday 16 September 2008

PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU UPAYA REFORMASI BIROKRASI

Oleh Eka Vidya Putra

Pembenahan pelayanan birokrasi – yang selama ini cenderung dicitrakan jelek – terus menjadi wacana baik ditingkat publik maupun dilingkungan pemerintahan itu sendiri. Pada level publik misalnya muncul tuntutan yang sangat kuat agar pemerintah konsisten untuk melaksanakan reformasi birokrasi dengan memberikan pelayanan prima kepada publik. Sedangkan ditingkat pemerintahan sendiri, harus diakui pula bahwa secara legal formal pembenahan pelayanan publik terus mendapat perhatian khusus. Sejumlah kebijakan diterbitkan agar penyelenggaraan pelayanan prima segera terealiasi. Keinginan tersebut setidaknya sejalan dengan apa yang mengenjala di ranah praktis, hampir seluruh pejabat publik, menjadikan isu pelayanan prima sebagai icon kepemimpinan. Apa yang terjadi tersebut kemudian mendapat dukungan teoritis. Bahwa terus menguatnya isu reformasi birokrasi, tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah. Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah akan berdampak pada tiga perubahan yaitu;

(1) political equlaity, adalah suatu kondisi di mana terbukanya ruang bagi publik untuk relatif mudah mendapatakan akses ke ruang-ruang birokrasi. Keterbukan tersebut pada akhirnya menciptakan checks and balances;

(2) local accountability, berkaitan dengan transparansi dan mekanisme akuntabilitas terhadap apa yang telah dilakukan; dan

3) local responsibility, yakni adanya jaminan untuk memberikan pelayanan publik yang prima.


Bagaimana perubahan itu terjadi ?

Menjadi pertanyaan yang menarik untuk terus dicermati. Salah satu persoalan birokrasi publik yang sering mendapat sorotan dan dapat menjadi etalase pelayanan publik adalah pelayanan jasa perizinan. Kecenderungan umum yang terjadi adalah sulitnya memulai usaha formal di Indonesia. Walaupun, semua pihak menyadari bahwa dunia usaha, khususnya Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah salah satu pilar utama ekonomi bangsa. Bahkan ketangguhan UKM sebagai unit usaha yang melekat langsung dalam urat nadi perekonomian rakyat setidaknya sudah terbukti semasa krisis ekonomi 1998.

Permasalahan pengurusan izin usaha selama ini tidak dapat dilepaskan dari proses legalisasi ditingkat birorasi. Prosedur yang berbelit-belit, banyak dan tumpang tindihnya persyaratan, ketidak jelasan biaya, dan rata-rata waktu penyelesaian perizinan yang lama (dalam artian tidak adanya kepastian waktu), ditambah tidak tersedianya informasi yang cukup memadai merupakan kondisi pengurusan perizinan usaha di negeri ini. Maka wajar jika banyak pengusaha menjadi enggan untuk mengurus izin usaha. Berdasarkan data Badan Pusat Stratistik hanya 20% pengusaha yang memiliki surat izin usaha. Selanjutnya hasil penelitian Bank Dunia menunjukan, bahwa untuk memulai usaha di Indonesia rata-rata dibutuhkan 151 hari, melewati 12 prosedur, dan membutuhkan biaya sekitar 130,7% pendapatan perkapita. Data tersebut menunjukkan bagaimana potret pelayanan birokrasi di Indonesia yang masih jauh dari bentuk pelayanan efektif dan prima.

PPTSP
Berkaitan dengan pelayanan jasa perizinan ini, pemerintah melakukan terobosan yang patut dapat pujian yaitu dikeluarkannya Permendagri nomor 24 tentang Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP). Dalam Permendagri itu permerintahan kabupaten/ kota diwajibkan memiliki lembaga PPTSP. Tidak sebatas formalitas kelembagaan dalam artian institusi tapi juga lembaga dalam artian mekanisme dan nilai. Kebijakan nasional ini dapat dikategorikan sebagai loncatan kuantum dalam reformasi birokrasi khususnya dalam pelayanan jasa perizinan. Namun patut dicatat, baik berupa wacana maupun dalam penerapannya, konsep PPTSP sudah cukup lama berkembang dan diimplementasikan oleh Pemkab/Pemkot, bahkan jauh sebelum konsep PPTSP diluncurkan. Sekarang ini setidaknya tercatat 29 pemerintah kabupaten/kota yang sudah menerapkan penerbitan izin usaha melalui satu pintu. Beberapa PPTSP yang sering ditampilkan media antara lain: Kabupaten Jembrana (2000), Kababupaten Sragen (2002), Kota Yogyakarta (2005), dan Kababupaten Kebumen (2006). Daerah yang dinilai cepat merespon lahirnya PPTSP adalah Provinsi Jawa Barat. Terdaftar sedikitnya 4 Pemkab/Pemkot yang sudah mencoba menerapkan inisiatif PPTSP (diantaranya Kota Cimahi, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka & Kab. Purwakarta). Walau tergolong baru keempat daerah tersebut telah melakukan perubahan mendasar. Kota Cimahi contohnya, untuk mendukung kerja PPTSP, lembaga ini didukung dengan anggaran dan tidak dibebani dengan traget PAD. Sedangkan ditingkat lokal Sumatera Barat, berdasarkan data terakhir yang disampaikan Gubernur Sumatera Barat setelah terbitnya Permendagri No 24 tahun 2006 dari 19 kabupaten/ kota tercatat masih ada 11 daerah telah menerapkan konsep PPTSP. Jadi ada 8 kabupaten/ kota yang belum, salah satunya Kota Padang yang notabene berada di ibu kota provinsi dan jumlah pengurus izin usaha lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya.. Sedangkan dari 11 kabupaten/ kota yang telah membentuk PPTSP, tiga diantaranya telah digagas sebelum kabupaten/ kota yang disebut-sebut sebagai contoh sukses dalam pembenahan pelayanan perizinan usaha. Ketiga daerah kabupaten/ kota di Sumatera Barat tersebut adalah Kabupaten Solok (1995), Kota Solok (1997) dan Kabupaten Limapuluh Kota (1997).
Meskipun sebahagian besar kabupaten/ kota di Sumatera Barat telah membentuk lembaga PPTSP. Namun, tidak semua PPTS yang ada sudah menerapkan konsep terpadu. Sebahagian besar hanya berfungsi sebagai pusat informasi perijinan, atau sebagai loket penerimaan/pemrosesan awal permohonan. Dalam hal ini pemrosesan lebih lanjut masih harus dilakukan sendiri oleh pemohon ke SKPD pemberi ijin. Lebih maju dari itu, sejumlah lembaga PPTSP telah menjadikan PPTSP tidak hanya sebatas front office, tapi tetap saja belum menyentuh esensi yang diinginkan oleh PPTSP.
Kenapa PPTSP di Sumatera Barat tidak berkembang seperti yang terjadi di daerah lainnya ? Dari sejumlah evaluasi kelemahan utama adalah tidak tumbuhnya budaya organisasi yang mendukung pelaksanaan PPTSP. Karena konsep pengembangan PPTSP sangat jauh berbeda dengan budaya organisasi yang selama ini tumbuh dalam birokrasi kita.

Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organsasi lain. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu organisasi itu dengan memberikan arahan dan standar yang tepat tentang apa yang harus dilakukan oleh karyawan yang berada di dalam organisasi tersebut sekaligus juga memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Dewasa ini organisasi modern juga memasukkan unsur profesionalisme, efisiensi dan moderniti yang diterjemahkan kedalam nilai, norma perilaku dan pola kepribadian dari anggota organisasi itu sendiri.
Dasar-dasar budaya organisasi yang telah ada akan membimbing anggota organisasi untuk berperilaku dan bagaimana cara mereka dalam berintegrasi dengan konsumen, serta komitmen yang akan diberikan kepada organisasi. Tanpa budaya organisasi yang kuat, akan sulit bagi organisasi untuk mengaharapkan komimen yang tinggi dari karyawannya di dalam menunjang kinerja organisasi. Budaya organisasi yang telah terbentuk dengan baik dan mengakar pada keseluruhan pelaku organisasi akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi performance organisasi.


Pada konteks ini, budaya organisasi di PPTSP masih mengikuti budaya organisasi dalam birokrasi yang selama ini masih menganut paradigma dilayani, dan berorientasi “asal bapak senang” . Sedangkan budaya organisasi PPTSP seharusnya menganut paradigma melayani dan berorientasi kepuasan pengguna jasa. Kondisi tersebut setidaknya tergambar dari pengembangan PPTSP yang masih sebatas usaha pembentukan lembaga dan sangat minim memperhatikan terbentuknya dan tumbuhnya budaya baru. Berkaca dari pengembangan budaya organisasi yang biasanya dipakai oleh sebuah perusahaan, ada satu profil konfigurasi budaya yang cenderung terabaikan yaitu highly integrative cultur. Budaya highly integrative memberikan perhatian yang besar terhadap pengembangan karyawan, yang memfasilitasi internal integration, berorientasi kepada kepuasan konsumen, kepekaan sosial dan inovasi. Disamping tipe budaya ini memberikan kenyamanan bagi karyawannya sehingga perusahaan juga bisa mendapatkan komitmen yang tinggi dari karyawannya dibandingkan dengan budaya hirarcy.

Pada konteks ini keberadaan PPTSP masih dipandang sebagai lahan yang tidak basah, tidak bisa mengembangkan karir dan tempat pembuangan staf yang tidak lagi produktif atau memiliki visi yang berbeda dengan pimpinan. Artinya, untuk keluar dari kondisi tersebut butuh ada perubahan pemahaman terhadap esensi kehadiran PPTS.
Selanjutnya untuk keluar dari jeratan tersebut, butuh satu penciptaan budaya organisasi baru dalam tubuh PPTSP. Tata cara, kebiasaan dan tradisi yang ada dalam satu organisasi saat ini tidak terbentuk dengan sendirinya, tapi sesuatu yang diciptakan kemudian dilembagakan menjadi satu nilai bersama. Pada sebuah perusahaan, proses penciptaan budaya organisasi dapat terjadi melalui tiga cara, pertama mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang berfikir dan merasakan apa yang ditempuh oleh para pendirinya, kedua dengan mengindoktrinasi dan mensosialisasikan pemikiran para pendiri kepada karyawannya, dan ketiga perilaku pendiri bertindak sebagai model yang medorong karyawan untuk ikut menginternalisasi keyakinan dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam organisasi. Jika kita masukkan pada konteks PPTSP, perubahan bentuk organisasi dari bentuk privat ke public menyebabkan terjadi perubahan type kepemimpinan dari otocracy ke bentuk yang lebih demokratis, hal ini akan menyebabkan pula terjadinya perubahan dalam type kepemimpinan yang lebih demokratis. Maka pihak yang sa
ngat berkompeten dalam menciptakan budaya organisasi adalah pemegang inti dari kebijakan (baca: kepala daerah).***

Friday 29 August 2008

silabus sosiologi Politik


Bobot : 3 SKS
Dosen : Eka Vidya Putra. S.Sos., M.Si
ekavidyaputra@gmail.com

Tujuan Matakuliah

Mahasiswa mampu menjelaskan dan menganalis masalah-masalah politik seperti gerakan sosial, demokrasi, konflik dan civil society dari sudut pandang sosiologi. Melalui penguasaan konsep struktur politik, sosialisasi, partisipasi, rekrutmen dan komunikasi politik.

Deskripsi Matakuliah

Pengetahuan tentang pengertian sosiologi politik, teori-teori sosiologi yang berhubungan dengan kajian sosiologi politik, dan aspek-aspek yang menjadi kajian sosiologi politik seperti rekrutmen, sosialisasi, partisipasi, dan komunikasi politik, serta kajian tentang gerakan sosial, civil society, partai politik, konflik dan demokrasi

No

Materi

Rujukan Utama dan Jurnal

Tugas

I

Pengertian dan Ruanglingkup Sosiologi Politik

a. Defenisi sosiologi

b. Defenisi politik

c. Defenisi sosiologi politik

d. Sejarah perkembangan sosiologi politik

Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik. Bab 1


2

Struktur Politik

a. Struktur Fisikal

b. Struktur Sosial

Maurice Duverger. Sosiologi Politik, Bab 2


3

Sumbangan Pemikiran Teori pada Sosiologi Politik

a. Karl Mark

b. Max Weber

c. Emile Durkheim

d. Vareto

Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah, Defenisi dan Perkembangan Konsep, BAB 2

Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosal Modern: Suatu Analisa Karya-karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Bab I, II, III

Laporan bacaan

4

Sikap dan Perilaku Politik

a. Pengertian perilaku politik

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap dan Perilaku Politik. (Keluarga, Agama, Stratifikasi dan sistem nilai)

Ramlan Surbaki, 1992, Memahami Ilmu Politik. BAB 8


5

Masyarakat dan Negara

a. Masyarakat

b. Negara

c. Hubungan antara negara dan rakyat

Rafael Raga Margan. 2001; Pengantar Sosilogi Politik, Rineka Cipta, Jakarta BAB 9

Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah, Defenisi dan Perkembangan Konsep, BAB 3


6

Sosialisasi Politik

a. Pengertian sosialisasi politik

b. Bentuk dan metode sosialisasi politik

c. Perkembangan sosialisasi politik

Michael Rush dan Phillip Althoff, 2003, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta BAB 2

Laporan bacaan


Komunikasi Politik

a. Pengertian komunikasi politik

b. Unsur-unsur komunikasi politik

Michael Rush dan Phillip Althoff, 2003, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta BAB 5

Laporan bacaan

7

Rekrutmen Politik

a. Pengertian rekrutmen politik

b. Bentuk dan metode rekrutmen politik

c. Rekrutmen politik dan Pemilu

Michael Rush dan Phillip Althoff, 2003, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta BAB 4

Laporan bacaan

8

Partisipasi Politik

a. Pengertian partisipasi politik

b. Bentuk dan hirarki partisipasi politik

c. Tipologi dan model partisipasi politik

Michael Rush dan Phillip Althoff, 2003, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta BAB 3

Laporan bacaan

9

UJIAN TENGAH SEMESTER (diganti dengan penelitian)

Pilihan tema untuk penelitian :

1. Mekanisme rekrutmen politik pada salah satu partai politik dalam penetapan calon legislatif dalam Pemilu 2008

2. Partisipasi politik masyarakat dalam Pilkada

3. Sosialisasi patai politik baru, jelang Pemilu 2008

4. Komunikasi politik elite politik dengan masyarakat


10

Gerakan Sosial

a. Pengertian gerakan sosial

b. Tipologi gerakan sosial

c. Gerakan sosial: presfektif sosiologi

Rafael Raga Margan. 2001; Pengantar Sosilogi Politik, Rineka Cipta, Jakarta. BAB 3

Budi Suryadi, 2007, Sosiologi Politik: Sejarah, Defenisi dan Perkembangan Konsep, IECiSoD, Yogyakarta


11

Partai Politik

a. Pengertian dari partai politik

b. Sejarah lahirnya partai politik

c. Fungsi dan tipologi partai politik

A.A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, 2007, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Pustaka Setia, Bandung BAB 13

Jurnal Penelitian Politik, Volume 4, No. 1 Tahun 2007

“Kegagalan Partai Politik Menarik Simpatis Rakyat: Urgensi Sebuah Paradigma Baru Partai Politik”

Laporan bacaan (artikel)

12

Civil Society

a. Pengertian civil society

b. Sejarah pertumbuhan civil society

Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan idiologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta BAB 1

Civic Volume 1, No 1 April 2003

Pemberdayaan Masyarakat Sipil: Sebuah Pengantar

Laporan bacaan (artikel)

13

Konflik dan Integrasi Politik

a. Defenisi konflik

b. Bentuk dan penyebab konflik

c. Resolusi konflik

d. Pengertian integrasi

A.A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, 2007, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Pustaka Setia, Bandung. BAB 11

Rafael Raga Margan. 2001; Pengantar Sosilogi Politik, Rineka Cipta, Jakarta. BAB 8

Analisis CSIS Tahun XXXI/ 2002 No: 3

“Konflik-konflik sosial di Indonesia: Refleksi Keresahan Masyarakat”

Laporan bacaan (artikel)

14

Demokrasi

a. Pengertian demokrasi

b. Pilar-pilar demokrasi

Larry Diamond, 2003, Developing DemocracyToward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta. BAB 1

Analisis CSIS Tahun XXIII/ 1994 No: 1

”Menangkap peluang demokratisasi di Indonesia”

Laporan bacaan

(artikel)

15

Transisi Demokrasi

a. Pengertian transisi demokrasi

b. Problematika transisi



16

UJIAN AKHIR SEMESTER




Penilaian:

1. Partisipasi Kelas 20%

2. Tugas Terstruktur 15%

3. Riset Individu 30%

4. Ujian Akhir 35%

Penulisan Artikel Riset Individu

1. Tema besar artikel, mengapa artikel tersebut menarik untuk dilakukan

2. Mahasiswa melakukan wawancara dengan

3. Artikel ditulis dengan format penelitian yang umum digunakan, minimal 10 halaman

4. Artikel dikumpulkan pada saat ujian tengah semester, keterlambatan pengumpulan tugas berakibat pemotongan nilai 20-50%.

DAFTAR BACAAN

  1. Michael Rush dan Phillip Althoff, 2003, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta.
  2. Maurice Duverger. 1985, Sosiologi Politik, Rajawali Pers, Jakarta
  3. Rafael Raga Margan. 2001; Pengantar Sosilogi Politik, Rineka Cipta, Jakarta
  4. Ng. Philipus dan Nurul Aini, 2004, Sosiologi dan Politik, Rajawali Pers, Jakarta
  5. Budi Suryadi, 2007, Sosiologi Politik: Sejarah, Defenisi dan Perkembangan Konsep, IECiSoD, Yogyakarta
  6. A.A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, 2007, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Pustaka Setia, Bandung
  7. Ramlan Surbaki, 1992, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta
  8. Anthony Giddens, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosal Modern: Suatu Analisa Karya-karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber, UI-Prees, Jakarta
  9. Bernard Lacroix, 2005, Sosiologi Politik Durkheim, Kreasi Wacana, Yogyakarta
  10. Fadillah Putra, dkk. 2006, Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. Program Pengutan Simpul Demokrasi Malang, Malang
  11. T.B. Bottomore, 2006, Elite dan Masyarakat, Akbar Tandjung Institute, Jakarta
  12. Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan idiologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
  13. Larry Diamond, 2003, Developing DemocracyToward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta
  14. Buku-buku, jurnal dan artikel lainnya yang relevan