Friday 13 February 2009

Eka Vidya : Irman Harusnya Bisa Jadi Contoh Caleg Sekarang

Rabu, 28/01/2009 09:22 WIB


padangmedia.com - PADANG-Apa yang dilakukan calon anggota DPD RI, Irman Gusman terhadap atribut kampanyenya yang menggunakan lambang negara dan latar belakang gambar gedung MPR/DPR-RI, menuai kritikan dari pengamat politik Eka Vidya Putra.

Eka mengatakan bahwa Undang-undang No 10 Tahun 2008 itu memang memiliki banyak kelemahan. Salah satunya, lanjut Eka, adalah tentang pemasangan atribut kampanye calon anggota DPD.

"Seharusnya Irman yang telah paham dan tahu kelemahan UU, tidak memanfaatkannya. Sehingga terkesan ia sengaja memancing perdebatan," ujar Eka kepada padangmedia.com.

Menurut Eka, sebagai calon anggota DPD yang pada pemilu tahun 2004 lalu memiliki suara tertinggi dan terpilih menjadi wakil Ketua DPD RI periode 2004-2009, Irman seharusnya dapat memberikan pelajaran politik kepada caleg yang ada sekarang ini.

"Bukannya melakukan manipulasi atribut kampanye. Ia memang tidak bisa dikatakan melanggar aturan dalam Undang-undang, namun secara etika politik ia telah menyalahi. Harusnya ia memiliki jiwa demokrat dan menjadi contoh bagi caleg sekarang ini," ujar Eka.

Sebelumnya, Ketua Panwaslu Adhi Wibowo mengatakan bahwa Irman Gusman melanggar Undang-undang no 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam Pasal 84 ayat poin i, tertulis: membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan.

Kemudian ketika ditanyakan tentang penjelasan tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan, Adhi menunjukan, bahwa tanda gambar dan/atau atribut peserta Pemilu yang bersangkutan itu merujuk pada Pasal 10. Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g dilarang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah.

Di sana cuma dijelaskan untuk partai politik. Sementara, Irman Gusman merupakan calon perseorangan dan bukan dari partai politik.

"Sedang partai politik saja dilarang, apalagi calon perseorangan," ujarnya singkat. (romi)

Wednesday 11 February 2009

Dasar Fatwa MUI Dinilai tak Kuat

Fatwa Golput Haram
PADANG- Beberapa fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada sidang ijtima’ di Padangpanjang pada 24 – 26 Januari 2009 lalu, terus menuai kontroversi. Bahkan fatwa haram tentang tidak menyalurkan hak suara atau dekenal golongan putih (golput) mendapat kritikan dari pengamat politik Eka Vidya Putra. Menurut Eka, MUI telah berbuat terlalu jauh karena dasar MUI memberikan fatwa haram terhadap golput tidak cukup kuat. Padahal, lanjutnya, faktor penyebab golput itu banyak hal. Diantaranya, persoalan administrasi yakni jika masyarakat tidak terdaftar sebagai pemilih berarti otomatis orang tersebut adalah golput. Kemudian, persoalan teknis, yakni jika ketika saat pemilihan, peserta pemilih tidak dapat menggunakan hak suaranya karena kesibukan lain, otomatis orang tersebut juga golput.

"Kemudian yang paling penting, masyarakat memilih golput itu karena sudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap partai maupun calon perseorangan yang nantinya akan maju," urai Eka, Selasa (27/1). Eka menjelaskan, bahwa persoalan yang muncul dari fatwa haram golput itu adalah kriteria tentang calon pemimpin yang memiliki syarat sesuai dengan ajaran Islam itu. "Siapa yang nantinya akan menentukan, karena tiap orang pasti berbeda melihat pemimpin yang akan dipilihnya. Apakah itu nantinya MUI juga yang menetapkan? Jadinya, fatwa tersebut terkesan mubazir dan dijual murah saja," tutur Eka yang juga dosen di Universitas Negeri Padang ini. Isu golput haram ini, lanjut Eka, berasal dari Din Syamsudin. Menurut Eka, sebagai politisi seharusnya para politisi tersebut bukannya memaksa masyarakat memilih dengan mengeluarkan fatwa. Artinya, masyarakat (muslim) akan merasa terpaksa memilih karena sudah di fatwa haram jika tidak memilih. "Padahal fatwa muncul karena kesalnya para politisi yang disebabkan sedikitnya pemilih sementara tenaga dan uang yang dikeluarkan untuk kampanye sangat besar. Sehingga masyarakat dianggap bodoh dengan adanya fatwa ini," urainya.

Seharusnya menurut Eka, para elit politik itu mencari cara lain yang lebih efektif untuk membuat masyarakat dengan sukarela menggunakan hak pilih mereka. Dengan mengeluarkan fatwa, lanjutnya, sudah sama seperti Orde Baru: jika tidak menggunakan hak pilih berarti tidak percaya dengan Pancasila. "Fatwa itu memaksa masyarakat secara halus, dan terkesan ada maksud terselubung," ujarnya. (pmc,dis)