Saturday 19 July 2008

ELIT DAN POLITIK IDENTITAS

Abstrak

Secara teoritis, berdasarkan petunjuk manual demokrasi, keputusan politik untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dikatakan sebagai loncatan kuantum dalam sistem politik Indonesia. Dari pengamatan yang paling umum dan sederhana dampak dari Pilkada adalah terjadinya perluasan dalam partisipasi politik rakyat. Dalam lima tahun setidaknya rakyat mengikuti empat kali Pemilihan Umum. Ibarat mencari kerja, rakyat Indonsia sangat berpengalaman dalam mengikuti dan menyelengarakan proses Pemilu.

Namun, demokratisasi tidak hanya dalam artian prosedural seperti adanya jaminan terserselenggaranya Pemilu yang partisipatif, jujur, adil dan tepat waktu. Lebih dari itu, demokratisasi baru dapat dikatakan berhasil jika mulai bergerak pada level subtansi. Satu syarat yang tidak dapat ditawar untuk sampai ke level subtansi demokrasi adalah lahir dan munculnya aktor demokrasi. Aktor demokrasi dapat muncul disemua strata masyarakat, mulai dari elit dan massa. Munculnya aktor demokrasi pada strata elit akan lebih efektif menuntun perjalanan demokrasi menuju level subtansi.

Terbalik dengan kondisi yang seharusnya tercipta, keberadaan elit lokal justeru menujukan prilaku yang membahayakan demokrasi. Kecemasan dalam melanjutkan transisi demokrasi, seperti munculnya politik identitas tidak terlepas dari prilaku politik dari elit. Dalam kasus perhelatan pesta demokrasi ditingkat lokal atau yang melibatkan masyarakat lokal para elit cenderung melakukan manipulasi terhadap identitas kelompok. Manipulasi yang dilakukan dapat berupa simbol, isu, wacana yang kental dengan unsur etnis, agama, dan wilayah. Ironisnya prilaku tersebut mendominasi setiap kampanye yang dilakukan oleh tim sukses, partai politik dan kandidat dalam kampanye politik. Sebaliknyas usaha untuk pencerdasan politik masyarakat sangat minim dirasakan.

Secara praktis tindakan manipulasi yang dilakukan merupakan jalan pintas untuk menarik simpatik masyarakat. Namun, secara langsung atau tidak langsung prilaku elit di atas justeru berdampak buruk bagi pertumbuhan demokrasi yang hari ini sedang melewati masa-masa transisi. Salah satu situasi yang mencemaskan baik di skala nasional maupun tingkat lokal dampak dari demokratisasi dan desentralisasi adalah munculnya politik identitas. Kelanjutan dari gejala politik identitas tersebut ada muncunya konflik horizontal dan pada ranah yang lebih luas adalah disintegrasi bangsa.

Tulisan ini akan membahas bagaimana perilaku elit politik lokal melakukan manipulasi atas masyarakat dengan mengedepankan identitas kelompok. Agar lebih fokus tulisan akan mengambil kasus Pilkada Gubernur di Sumtera Barat. Pesta demokrasi yang seharusnya ajang pendewasaan dan pencerdasan politik rakyat diracuni dengan praktek, isu, wacana yang berbau identitas kelompok. Tulisan ini, juga akan mepaparkan sejumlah kasus yang muncul akibat manipulasi atas politik identitas tersebut.

DEMONSTRANSI ANARKIS :

Pembawa berita mewartakan kepada pemirsa, sebuah aksi demontrasi yang berakhir rusuh. Cuplikan rekaman vidio tentang berita yang diwartakan membawa pemerisa pada gambaran peristiwa sesungguhnya. Usai membacakan berita, pembawa berita memperkenalkan nara sumber yang hadir di studio dan sekaligus mengundang para pemirsa yang ingin ikut berpartisipasi untuk menelfon ke nomor yang telah disiapkan. Ada dua narsumber yang hadir, seorang aktivis mahasiswa dan seorang lagi pengamat politik. Keduanya diminta untuk mengkomentari pemberitaan yang baru disampaikan. Kesempatan pertama diberikan kepada pengamat politik. Dengan bahasa yang tertata dengan rapi, sistematis dan tidak lupa mengeluarkan setumpuk teori-teori demokrasi sang pengamat mengkomentari aksi mahasiswa. Diakhir komentar sang pengamat menyimpulkan bahwa demontrasi mahasiswa yang terjadi belakangan anarkis dan akan berdampak buruk pada proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Giliran berikutnya diserahkan pada mahasiswa. Bermodalkan semangat dan keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan sebagai wujud dari keresahan yang dirasakan oleh rakyat dan menuntut keadilan si aktivis menyusun kata-kata pembelaan. Argumentasiya seadanya, tanpa ada teori-teori yang rumit seperti sang pengamat. Sesi terakhir giliran para pemirsa yang diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Empat orang penelfon masuk dan memberikan tanggapannya. Satu persatu penelfon yang tak tampak bentuk fisiknya berkomentar, membangun sederetan argumentasi dari berbagai sudut pandang. Kalau disimpulkan, pendapat dari keempat partisipan tersebut adalah sepakat untuk satu kesimpulan yaitu gerakan mahasiswa dalam penolakkan kenaikan BBM anarkis.

Sketsa di atas merupakan ringkasan dalam sebuah dialog pagi disalah satu televisi swasta, ketika membahas tentang aksi demonstrasi mahasiswa yang belakangan acap kali berakhir rusuh. Akankah yang ditapilkan dalam dialog pagi tersebut, sebagai arus balik bagi pencitraan sebuah gerakan mahasiswa? Setelah sepuluh tahun gerakan mahasiswa dipuja, kini tiba gilirannya digugat. Kelompok muda terdidik yang selama ini dianggap sukses menjadi lokomotif perubahan dalam menggulingkan hegemoni kekuasaan rezim otoriter, kini dituding anti demokrasi. Mulai dari pengamat, akademisi, politisi, media apalagi penguasa menyerang dan mengecam gerakan mahasiswa. Pasal gugatannnya adalah demontrasi mahasiswa anarkis. Ironisnya, gugatan tersebut telah menenggelamkan subtansi atau materi yang disuarakan oleh para demonstran yaitu kenaikan BBM. Pertanyaannya adalah apakah betul gerakan mahasiswa anaskis, dan kenapa gerakan mahasiswa bergeser ke arah yang anarkis.

Demonstrasi Anaskis: Kasus Penolakkan Kenaikan BBM

Melakukan analisis terhadap demontrasi anarkis yang ditudingkan banyak pada gerakan mahasiswa belakangan ini, tidak dapat dilihat sepotong-sepotong dari penggalan-penggalan kasus. Kita harus melihat dalam satu kerangka sistem, tidak akan ada asap jika tidak ada api. Aksi demonstrasi tidak akan akan muncul jika tidak ada sebuah kondisi yang dianggap oleh demonstran bertentangan dengan kondisi seharusnya. Begitu juga bentuk atau cara menyampaikan protes, bisa dilakukan secara konfensional atau non-konfesional. Pilihannya tergantung pada tingkat kepercayaan penggugat pada keterbukaan sistem yang akan menerima protes yang mereka sampaikan.

Nah, kalau ditarik sedikit kebelakang, pilihan mahasiswa untuk melakukan demontrasi setelah gelombang besar reformasi pada tahun 1997 setiap hari semakin berkurang. Kalaupun ada aksi demontrasi dilakukan secara terbatas. Dilihat dari bentuk penyampaian, demonstrasi digolongan kedalam bentuk partisipasi politik non-konvensional, yaitu penyampaian aspirasi dengan tidak menggunakan cara-cara yang konstitusional, tidak mengunakan jalur-jalur formal. Partisipasi bentuk non-konfensional mendakan ketidak stabilan sistem politik satu negara, rendahnya integrasi masyarakatnya dan tingginya ketidakpuasan warga. Sebaliknya berkurangnya pilihan demonstrsi berarti sistem politik mulai tertata dengan baik dan tingkat kepuasan warga terpenuhi.

Gelombang demontrasi mahasiswa belakangan kembali meningkat, terutama sejak pemerintah mengumumkan rencana untuk menaikkan harga BBM. Sejumlah kampus memprotes dan mulai bergerak, isunya sama yaitu tolak kenaikan BBM. Aksi-aksi menetang naiknya harga BBM inilah yang mendorong mahasiswa kembali membentuk parlemen jalanan.

Sebelumnuya mari kita lihat sejumlah argumentasi pemerintah kenapa kenaikkan BBM sesuatu yang tidak dapat dihindarkan; (1) karena minyak dunia mengalami kenaikkan; (2) untuk menyelamatkan APBN; (3) harga minyak dalam negeri sudah terlalu rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya dan (4) subsidi BBM lebih menguntungkan kelompok-kelompok elit yang sebetulnya tidak layak mendapatkan subsidi. Agar dampak kenaikan BBM tidak begitu berdampak buruk bagi golongan menengah masyarakat yang pasti akan menjadi korban dari kenaikan BBM dan “jualan” bagi kelompok yang menentang kenaikkan BBM, pemerintah melakukan; (1) memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk keluarga miskin; (2) mengajak masyarakat untuk berhemat; menumbuhkan usaha kecil menengah.

Ironisnya, alasan dan langkah yang disampaikan di atas tidak satupun yang baru. Hal serupa juga muncul ketika BBM dinaikkan satu tahun sebelumnya. Kenyataanya, satu tahun kemudian ekonomi nasional tetap tidak mengalami perbaikan. Himbaun untuk bersikap hemat energi, hidup prihatin ternyata hanya untuk rakyat, bukan untuk para elit. Gedung-gedung megah tetap menggunakan AC, mobil dinas terus bertambah, lampu-lampu hias berderet rapi di kantor-kantor pemerintahan dan rumah-rumah pejabat pemerintahan, elit di legislatif minta kenaikan gaji, korupsi semakin marak, kesenjangan sosial semakin timpang, lapangan pekerjaan semakin sempit, kepastian hukum semakin jauh dan banyak lainnya. Akibatnya, ketidak percayaan masyarakat pada pemerintah berkurang.

Fakta tesebut cukup mendukung jika muncul prediksi bahwa menaikkan harga BBM berpotensi munculnya konflik horizontal maupun vertikal. Konflik dapat muncul pada skala kecil hingga skala besar. Konflik horizontal dapat dilihat pada awal-awal kenaikan BBM. Hampir disetiap sudut ruang publik muncul pertengkaran, masalahnya sederhana saja yaitu harga atau tarif. Contoh dalam menetapkan tarif anggkutan. Pengguna jasa transportasi menuding sopir dengan seenaknya menaikkan tarif anggkutan, pada hal belum ada keputusan berapa besaran kenaikan tarif dari pihak berwenang. Pada sisi lain sopir melihat menaikkan tarif anggkutan sudah menjadi keharusan dan tidak bisa menunggu keputusan siapapun. Logika sederhanya ketika biaya produksi besar makan harga jualnya kepada konsumen juga akan meningkat. Secara vertikal, gelombang protes akan mewarnai keputusan tersebut dan gejala tersebut sudah mulai terlihat sejak muncul wacana untuk menaikan harga BBM oleh pemerintah. Lebih menarik lagi gelombang protes atas rencana kenaikan harga BBM muncul lebih banyak di luar Jawa. Biasanya Jawa selalu menjadi titik awal dan menjadi penyumbang terbesar dari guliran bola salju setiap gerakan sosial.

Munculnya anaskisme dalam sebuah konflik, terutama yang melibatkan negara dan masyarakat biasanya disebakan karena tidak berfungsinya katup penyelamat (sarvety-Valve). Katup penyelamat merupakan lembaga sosial yang berfungsi sebagai filter atas perbedaan kepentingan yang muncul dalam masyarakat. Efektifitas sebuah katup penyelamat dapat diukur dari sejauh mana ia dapat mengelola konflik yang muncul menjadi konstruktif dan tidak anarkis. Dalam negara demokrasi, institusi yang ditugaskan berfungsi sebagai katup penyelamat adalah legislatis. Legislatif akan menampung semua ketidak puasan yang muncul dari masyarakat baik yang disampaikan secara konvensioanl maupun non konvesnioal. Kemudian atas kewenangan yang ia miliki legislatif menyuarakan dan perjuangankannya menjadi sebuah keputusan politik. Jadi, jika saat ini marak tindakan arnakisme baik dalam bentuk pengrusakkan, penjarahan, kerusuhan sosial, dan amuk masa, artinya adalah permasalahan dengan katup penyelamat. Untuk kasus ini, permasalahnya adalah ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.

Sekaitan dengan aksi anarkis yang muncul dalam demonstrasi rencana kenaikan BBM dan terus berlanjut bahkan cenderung miningkat dalam demonstrasi pembatalan kenaikan BMM tidak dapat dilepaskan dari ketidak percayaan terhadap katup penyelamat. Pada awal rencana kenaikan BBM mahasiswa di daerah (luar Jawa) gencar melakukan demonstrasi. Sasaran aksi mereka biasanya Kantor Gubernur dan DPRD. Sebagai generasi terdidik mahasiswa sangat paham bahwa gubernur, DPRD tidak punya kekuasaan, wewenang untuk mempengaruhi kebijakan yang sepenuhnya berada ditangan pusat. Namun pada sisi lain, penolakkan harus mereka suarakan. Akibatnya aksi yang dilakukan cenderung berlebih-lebihan. Tujuan adalah agar mendapat liputan dan perhatian dari pengambil kebijakan.

Ketika pemerintah akhirnya mengambil keputusan untuk tetap menaikan harga BBM, aksi demonstrasi mahasiswa semakin marak. Hampir setiap demontrasi berakhir dengan bentrok dengan aparat . Tindakan berlebihan yang ditampilkan oleh para demonstran tidak terlepas dari keinginan tindakan yang juga tegas dari pihak keamanan. Disamping itu juga bentuk frustasi para demonstran atas tuntan mereka yang tidak pernah didengar. Apalagi ketika isu penolakkanatas kenaikan harga BBM yang mereka suarakan tiba-tiba hilang dengan munculnya kasus Monas, yang bagi sebahagian analis diangap sebagai rekayasa politik. Jadi semuanya tindakan anarkis yang muncul dalam aksi penolakkan BBM tidak berdiri sendiri.

Akhirnya, untuk melanjutkan proses demokratisasi segala aksi yang bentuk kekerasan perlu ditindak tegas. Tetapi juga sangat tidak arif jika aksi mahasiswa yang peduli atas nasip rakyat, berjuang tanpa pamrih kemudian dihukum dengan stempel anarkis.

Eka Vidya Putra

Penulis adalah dosen Sosiologi Politik di Fakultas Ilmu Sosial UNP Padang

Thursday 10 July 2008

Rekrutmen Politik dan Partai Politik

Dapat dipastikan tahun 2008, menjadi hari-hari sibuk bagi partai politik. Selain masih tersisanya sejumlah agenda pemilihan kepala daerah (PILKADA) di sejumlah daerah tingkat II, juga semakin dekatnya waktu penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif. Berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilu, – yang jika tidak ada aral melintang akan diselenggarakan ada tahun 2009 – merupakan momentum penting bagi partai politik menunukkan eksisitensinya ditengah-tengah masyarakat yang terus berubah. Jauh lebih penting dari itu, Pemilu 2009 juga memiliki arti strategis sekaligus krusial. Strategis dalam artian, jika Pemilu dapat dilaksanakan dengan baik dalam kualitas demokrasi yang memadai, maka jalan menunju demokrasi akan semakin mulus. Namun, jika Pemilu 2009 tidak menunjukan kualitas yang memadai, maka demokrasi kita sedang memasuki titik krusial. Menurut para transisiolog, Pemilu ketiga setelah tumbangnya rezim otoriter merupakan saat yang tepat untuk mengukur apakah nilai-nilai subtantif demokrasi telah masuk pada tahap pelembagaan politik atau masih terus larut dalam eforia liberalisasi politik. Pada konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan Pemilu ke depan tidak hanya dinilai dari apakah telah dilaksanakan tepat waktu, jujur, adil dan partisipatif. Tapi jauh dari itu, Pemilu dilihat secara kualitas pada proses dan capaiannya. Kualitas proses adalah apakah Pemilu telah disadari oleh seluruh komponen bangsa sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Sedangkan pada kualitas capaian adalah apakah hasil dari Pemilu tersebut telah menggambarkan kehendak rasional masyarakat.

Maka tidak terlalu berlebihan jika urgensi perhelatan demokrasi ketiga di era reformasi merupakan pertaruhan besar, apakah keberangsungan transisi telah mengarah ke arah demokrasi atau justru telah ditelikung di tengah jalan. Untuk sampai ke sana, partai politik memainkan peran penting dan berada pada posisi yang sangat menentukan. Orientasi partai politik, tidak hanya sekedar menangkan Pemilu tapi juga bertanggungjawab dalam memuluskan jalannya proses transisi. Karena, Pemilu merupakan satu-satunya mekanisme untuk mencapai kata demokrasi (baca: kedaulatan rakyat), sedangkan partai politik adalah aktor utama dari rangkaian mekanisme tersebut.

Eksistensi Partai Politik dan Pemilu
Jika tidak hati-hati menyikapi situasi sepertinya lonceng kematian bagi partai politik tinggal menunggu waktu. Sejumlah argumentasi dapat menjadi bukti untuk mendukung pernyataan di atas. (1) Meskipun katanya multipartai tapi partai politik kita tidak memiliki ketegasan ideologi. Perlu dicacat dan diberi penegasan, bahwa setelah dua kali pelaksanaan Pemilu dengan multipartai yaitu pada tahun 1999 dan 2004, peran partai politik masih belum jelas dan jauh dari gambaran idiologi yang multipartai. Sehingga sulit membedakan antara satu partai dengan partai lainnya kecuali dari simbol bendera atau warna. Terus berkembangnya wacana baru untuk memberikan pembantasan terhadap jumlah partai tidak dapat dilepaskan dari gejala ini; (2) Para tokoh dan elite parpol tidak mampu memberikan contoh panutan, sibuk dengan agenda-agenda politik jangkan pendek yang berorientasi untuk bagi-bagi kekuasaan. Kehadiran partai politik tidak lagi dimaknai sebagai bentuk kebebasan berserikat, berkumpul dan berpolitik rakyat yang beragam, tapi tidak lain hanya wujud kepentingan jangka pendek para elit politik yang haus kekuasaan. Kalaupun ada aspirasi yang mewakili kelompok masyarakat, itupun hanya mewakili kelompok kecil yang tidak cukup taktis dan signifikan jika disalurkan dengan harus melalui pendirikan satu partai. Satu kesimpulan yang tidak sepenuhnya betul, tapi juga tidak bisa disalahkan. Karenan dalam konteks prosedural dalam ranah demokrasi, sekecil apapun kepentingan warga akan mendapat jaminan, termasuk untuk mendirikan partai politik. Tapi lebih subtansi dari itu adalah sejauhmana kehadiran partai politik mewakili serta memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya; (3) Di tingkat institusi kepartaian ada fakta dari berbagai hasil penelitian yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang cukup sigifikan antara partai politik dan Pilkada. Dimana banyak calon yang didukung oleh partai politik besar justeru gagal ketika Pikada. Artinya kemenangan seorang calon dalam Pilkada lebih banyak disebabkan karena faktor popularitas personal dibandingkan dukungan partai politik. Walau gejala terakhir ini pada satu sisi menunjukan semakin matangnya dan rasional suara dari pemilih (baca: rakyat). Namun, pada sisi lain penelitian tersebut juga menunjukkan ada kecenderungan terjadinya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Kecenderungan terakhir ini, tentu tidak menguntungkan bagi keberlanjutan demokrasi padahal kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi merupakan perwujudan dari artikulasi dari aspirasi rakyat.

Berkaitan dengan sejumlah fakta di atas, Samuel Huntington, mendefinisikan ada empat dimensi dari institutionalisasi partai politik, yaitu: adaptibilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensi. Adaptibilitas, berkaitan dengan lamanya eksistensi kehidupan (longetivity) suatu partai termasuk kemampuan untuk mempertahankan generasi-generasi pertama pimpinan parpol dan juga memerlukan adaptasi fungsional misalnya terhadap kelompok yang diwakili atau dari oposisi terhadap pemerintah. Dimensi kedua, kompleksitas organisasional yang diukur dengan jumlah sub-unit dalam suatu partai. Dimensi ketiga, autonomi mengacu kepada tingkat diferensiasi dari pengelompokan-pengelompokan sosial lain dan metode-metode perilaku. Sedangkan dimensi keempat koherensi berkaitan dengan tingkat konsensus dalam suatu organisasi pada batasan-batasan fungsional dan prosedur-prosedur untuk mengatasi perdebatan dalam batasan-batasan tersebut.

Cara menyikapi permasalahan yang ada, sangat dipengaruhi oleh realitas politik lainnya, yaitu posisi partai politik yang akan ikut berkopetisi. Posisi yang dimaksud disini berkaitan dengan kehadiran partai politik dalam Pemilu. Secara umum kehadiran partai politik dalam pesta demokrasi dapat dikategorikankan menjadi tiga. Pertama, partai politik lama yang secara otomatis lolos dan dapat ikut berkompetisi dalam Pemilu 2009. Tercatat ada tujuh partai politik (Golkar, PPP, PDI Perjuangan, PAN, PKS, Demokrat dan PKB) yang jumlah perolehan kursi dalam Pemilu 2004 melampaui batas ambang. Untuk mempertahankan dan kalau mungkin meningkatkan perolehan suara, fokus dari ketujuh partai politik akan lebih terkonsentrasi pada penguatan basis konstituen. Usaha penguatan basis konstituen sekaligus menunjukkan bahwa mereka adalah representatif dari keberagaman masyarakat yang ada. Walaupun kemudian muncul gejala perluasan jaringan partai melalui pembentukan sayap organisasi baru, seperti tidak akan berdampak banyak terhadap pencitraan idiologis partai; Kedua, partai politik lama yang tidak otomatis lolos dan mengalami proses “daur ulang”. Modal utama dari partai politik yang masuk dalam kategori kedua ini adalah telah tersedianya institusi kepartaian yang cukup rapi dan kehadiran sejumlah tokoh yang memiliki pengalaman dan “pengaruh”. Kedua sumber tersebut dapat diarahkan untuk memperluas jaringan kebasis-basis pemilih. Pemilu 2009, merupakan ujian sekaligus kesempatan kedua untuk membuktikan bagaimana eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, kehadiran partai politik baru. Meski dikelompokkan sebagai partai politik baru, namun itu baru hanya sebatas institusi, jika dilihat dari sisi “penggiatnya” hampir seluruh partai tersebut diprakarsai dan dipimpin oleh sejumlah tokoh-tokoh lama. Kepopuleran sang tokoh, diharapkan dapat mendongkrak posisi partai sejajar dengan partai-partai lama. Hal serupa setidaknya pernah dibuktikan oleh Partai Demokrat. Ketokohan dan popularitas SBY sebagai penggagas dan penasehat partai tidak dapat dipungkiri telah menjadi energi bagi partai dan sumber inspirasi banyak orang ketika akan menentuhkan pilihan.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada konteks ini, Pemilu merupakan satu-satunya mekanisme demokrasi yang harus dilewati dan memiliki sumber legitimasi bagi partai politik untuk mencapai kursi kekuasaan dan menunjukan eksisitensinya. Langkah pertama dan merupakan titik krusial pertama dari sejumlah tahapan yang akan dilalui menuju Pemilu 2009 adalah rekrutmen politik.

Rekrutmen Politik: Sebuah Agenda Awal
Selama era reformasi telah dilaksanakan dua kali Pemilu. Notebenya telah dua kali pula tersusun lembaga legislatif dari hasil Pemilu tersebut. Faktanya meskipun telah dipilih dari proses Pemilu yang demokratis, namun proses tersebut tidak cukup kuat untuk menjadi sarana memperbaiki pencitraan lembaga legislatif. Kualitas dan kapabilitas lembaga ini dinilai oleh banyak kalangan belum berjalan secara optimal. Satu contoh, dalam penyusunan produk hukum. Hampir dapat dipastikan legilatif tidak pernah atau jarang mengunaan hak inisiatif. Hampir seluruhnya produk hukum yang dihasilkan bersumber dari eksekutif. Lalu kemana kemana perginya catatan sewaktu melakukan hearing dengan para konstituen, atau apa realisasi pengaduan-penngaduan yang datang dari masyarakat ke legislatif selama ini. Akhirnya, fungsi legislatif terbatas hanya baru sampai “menampung aspirasi masyarakat”. Akibatnya kenyataan tersebut berdampak pada terus merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan partai politik.

Pangkal persoalan dari rangkaian panjang tersebut sebenarnya adalah pada rekrutmen politik. Rekrutmen politik merupakan langkah awal yang sangat menentukan kualitas dari kinerja lembaga legislatif. Kualitas anggota parlemen sangat ditentukan dengan bagaimana mekanisme rekrutmen. Partai dalam hal ini berperan sebagai agen yang menyediakan dan mempersiapkan calon-calon politisi yang akan duduk di kursi parlemen. Aktivitas partai menyediakan stok politisi inilah yang disebut dengan rekrutmen politik. Bentuk rekrutmen dipengaruhi oleh sistem kepartaian dan sistem Pemilu yang dikembangkan. Namun, apapun sistemnya rekrutmen dari partai politik tidak akan lepas dari dua proses, yaitu; menyusun kriteria yang akan menjadi kualifikasi untuk melakukan rekrutmen dan bagaimana meknisme rekrutmen yang akan dilakukan.

Kriteria atau kualifikasi. Kriteria atau kualifikasi adalah standar minimum yang harus dimiliki oleh seorang untuk dapat dicalonkan. Kriteria atau kualifikasi disusun berbentuk aturan atau persyaratan.. Berkaitan dengan pencalonan anggota legislatif, setidaknya ada dua kualifikasi yang harus dipenuhi, yaitu kualifikasi yang ditetapkan oleh negara dan kualifikasi yang ditetapkan oleh partai politik. Kualifikasi yang ditetapkan oleh negara biasanya bersifat umum, longgar dan berkaitan dengan permasalahan idiologi kebangsaan. Jika tidak mengalami perubahan, terdapat sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi seoarng kandidat dapat dicalonkan (1) Berusia 21 tahun; (2) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Domisili di NKRI; (4) Cakap bernbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Menimal berpendidikan SLTA atau sederajat; (5) Setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan cita-cita Proklamasi; (6) Bukan bekas PKI atau organisasi terlarang lainnya; (7) Tidak sedang dicabut hak pilihnya; (8) Tidak seedang menjalani pidana penjara; (9) Sehat rohani dan: (10) Terdaftar sebagai pemilih. Sebagai sebuah parameter umun, persyaratan yang telah ada, dapat dikatakan memadai. Namun, persyaratan tersebut masih jauh dari kesempurnaan jika dijadikan alat untuk menyeleksi seseorang yang akan duduk dikursi legislatif. Karena dalam menjalankan tugasnya terdapat empat fungsi yang akan diemban oleh seorang legislatir; yaitu fungsi representatif, fungsi anggaran, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Untuk itu, persyaratan umum tersebut tidak cukup memadai sebagai pedoman atau kriteria penyeleksian. Partai politik mesti menetapkan sejumlah persyaratan lain. Persyaratan tersebut selain merujuk pada idiologi partai, juga harus berkorelasi dengan pelaksanaan fungsi lembaga legislatif ke depan.

Salah satu kelemahan dari partai politik sekarang adalah dalam merumuskan persyaratan di tingkat partai. Persyaratan masih bersifat umum dan tidak mengambarkan kebutuhan jangka panjang. Sedangkan bagi si calon sendiri yang terfikirkan adalah bagai mana mendapatkan nomor urut teratas dalam daftar calon dan lupa berkaca diri. Oleh karena itu pada tataran ini demokrasi dapat dikatakan masih berjalan secara prosedural, belum subtansi. Idealnya, untuk menetapkan kualifikasi bagi calon legislatif partai perlu merumuskan apa yang akan diharapkan dari keanggotan seseorang selama menjabat di bangku legislatif. Dari bacaan kedepan tersebut, kemudian partai menurunkannya menjadi sejumlah persyaratan untuk bahan kualifikasi. Pertimbangan politis seperti jabatan struktural di internal partai dan masa keanggotaan itu penting tapi tidak menjadi satu yang dominan dan mengabaikan faktor kualitas. Sedangkan bagi si calon selain menunjukan kinerja dan loyalitas kepada partai perlu juga berkaca diri. Pandangan bahwa mereka yang akan masuk ke lembaga legislatif bisa belajar, atau dapat dilatih ketika sudah menduduki kursi dilegislatif sudah selayaknya ditinggalkan. Keterampilan, kecakapan, kepekaan, yang harus dimiliki oleh seorang legislator semestinya telah dimiliki dan disiapkan sebelum ia menduduki jabatan tersebut. Hal tersebut begitu krusial karena masa pengabdian di legislatif tidak panjang, banyak hal yang mesti disegerakan untuk dikerjakan dan tidak ada waktu untuk belajar.

Artinya, proses rekrutmen bukan hanya sekedar menyeleksi dan menempatkan nama-nama orang atau kandidat. Tapi lebih penting dari itu adalah sejauh mana kandidiat yang dipromosikan tersebut memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam mengemban tugas partai dan amanah para rakyat pemilih.

Rekruitmen Politik

Oleh: Eka Vidya Putra


Dapat dipastikan tahun 2008, menjadi hari-hari sibuk bagi partai politik. Selain masih tersisanya sejumlah agenda pemilihan kepala daerah (PILKADA) di sejumlah daerah tingkat II, juga semakin dekatnya waktu penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif. Berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilu –jika tidak ada aral melintang akan diselenggarakan tahun 2009– merupakan momentum penting bagi partai politik menunjukkan eksisitensinya di tengah-tengah masyarakat yang terus berubah. Jauh lebih penting, Pemilu 2009 juga memiliki arti strategis sekaligus krusial. Strategis dalam artian, jika Pemilu dapat dilaksanakan dengan baik dalam kualitas demokrasi yang memadai, maka jalan menuju demokrasi akan semakin mulus. Namun, jika Pemilu 2009 tidak menunjukan kualitas yang memadai, maka demokrasi kita sedang memasuki titik krusial.

Menurut para transisiolog, Pemilu ketiga setelah tumbangnya rezim otoriter merupakan saat yang tepat untuk mengukur apakah nilai-nilai subtantif demokrasi telah masuk pada tahap pelembagaan politik atau masih terus larut dalam eforia liberalisasi politik. Pada konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan Pemilu ke depan tidak hanya dinilai dari apakah telah dilaksanakan tepat waktu, jujur, adil dan partisipatif. Tapi, Pemilu dilihat secara kualitas pada proses dan capaiannya. Kualitas proses adalah apakah Pemilu telah disadari oleh seluruh komponen bangsa sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Sedangkan pada kualitas capaian adalah, apakah hasil dari Pemilu tersebut telah menggambarkan kehendak rasional masyarakat.

Maka tidak terlalu berlebihan jika urgensi perhelatan demokrasi ketiga di era reformasi merupakan pertaruhan besar, apakah keberlangsungan transisi telah mengarah ke arah demokrasi atau justru telah ditelikung di tengah jalan. Untuk sampai ke sana, partai politik memainkan peran penting dan berada pada posisi yang sangat menentukan. Orientasi partai politik, tidak hanya sekedar memenangkan Pemilu tapi juga bertanggungjawab dalam memuluskan jalannya proses transisi. Karena, Pemilu merupakan satu-satunya mekanisme untuk mencapai kata demokrasi (baca: kedaulatan rakyat), sedangkan partai politik adalah aktor utama dari rangkaian mekanisme tersebut.

Eksistensi Partai Politik dan Pemilu
Jika tidak hati-hati menyikapi situasi sepertinya lonceng kematian bagi partai politik tinggal menunggu waktu. Sejumlah argumentasi dapat menjadi bukti untuk mendukung pernyataan di atas. Pertama, meskipun katanya multipartai tapi partai politik kita tidak memiliki ketegasan ideologi. Perlu dicacat dan diberi penegasan, bahwa setelah dua kali pelaksanaan Pemilu dengan multipartai yaitu pada tahun 1999 dan 2004, peran partai politik masih belum jelas dan jauh dari gambaran idiologi yang multipartai. Sehingga sulit membedakan antara satu partai dengan partai lainnya kecuali dari simbol bendera atau warna. Terus berkembangnya wacana baru untuk memberikan pembantasan terhadap jumlah partai tidak dapat dilepaskan dari gejala ini.

Kedua, para tokoh dan elite parpol tidak mampu memberikan contoh panutan, sibuk dengan agenda-agenda politik jangkan pendek yang berorientasi bagi-bagi kekuasaan. Kehadiran partai politik tidak lagi dimaknai sebagai bentuk kebebasan berserikat, berkumpul dan berpolitik rakyat yang beragam, tapi tidak lain hanya wujud kepentingan jangka pendek para elit politik yang haus kekuasaan. Kalaupun ada aspirasi yang mewakili kelompok masyarakat, itu pun hanya mewakili kelompok kecil yang tidak cukup taktis dan signifikan jika disalurkan dengan harus melalui pendirikan satu partai. Satu kesimpulan yang tidak sepenuhnya betul, tapi juga tidak bisa disalahkan. Karena dalam konteks prosedural dalam ranah demokrasi, sekecil apapun kepentingan warga akan mendapat jaminan, termasuk untuk mendirikan partai politik. Tapi subtansinya adalah sejauh mana kehadiran partai politik mewakili serta memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya.

Ketiga, di tingkat institusi kepartaian ada fakta dari berbagai hasil penelitian yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang cukup sigifikan antara partai politik dan Pilkada. Di mana banyak calon yang didukung oleh partai politik besar justru gagal ketika Pikada. Artinya kemenangan seorang calon dalam Pilkada lebih banyak disebabkan karena faktor popularitas personal dibandingkan dukungan partai politik. Walau gejala terakhir ini pada satu sisi menunjukan semakin matangnya dan rasional suara dari pemilih (baca: rakyat). Namun, pada sisi lain penelitian tersebut juga menunjukkan ada kecenderungan terjadinya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Kecenderungan terakhir ini, tentu tidak menguntungkan bagi keberlanjutan demokrasi padahal kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi merupakan perwujudan artikulasi dari aspirasi rakyat.

Cara menyikapi permasalahan yang ada, sangat dipengaruhi oleh realitas politik lainnya, yaitu posisi partai politik yang akan ikut berkompetisi. Posisi yang dimaksud disini berkaitan dengan kehadiran partai politik dalam Pemilu. Secara umum kehadiran partai politik dalam pesta demokrasi dapat dikategorikankan menjadi tiga. Pertama, partai politik lama yang secara otomatis lolos dan dapat ikut berkompetisi dalam Pemilu 2009. Tercatat ada tujuh partai politik (Golkar, PPP, PDI Perjuangan, PAN, PKS, Demokrat dan PKB) yang jumlah perolehan kursi dalam Pemilu 2004 melampaui batas ambang. Untuk mempertahankan dan kalau mungkin meningkatkan perolehan suara, fokus dari ketujuh partai politik akan lebih terkonsentrasi pada penguatan basis konstituen.

Usaha penguatan basis konstituen sekaligus menunjukkan bahwa mereka adalah representatif dari keberagaman masyarakat yang ada. Walaupun kemudian muncul gejala perluasan jaringan partai melalui pembentukan sayap organisasi baru, seperti tidak akan berdampak banyak terhadap pencitraan idiologis partai; Kedua, partai politik lama yang tidak otomatis lolos dan mengalami proses “daur ulang”. Modal utama dari partai politik yang masuk dalam kategori kedua ini adalah telah tersedianya institusi kepartaian yang cukup rapi dan kehadiran sejumlah tokoh yang memiliki pengalaman dan “pengaruh”.

Ketiga, kehadiran partai politik baru. Meski dikelompokkan sebagai partai politik baru, namun itu baru hanya sebatas institusi, jika dilihat dari sisi “penggiatnya” hampir seluruh partai tersebut diprakarsai dan dipimpin oleh sejumlah tokoh-tokoh lama. Kepopuleran sang tokoh, diharapkan dapat mendongkrak posisi partai sejajar dengan partai-partai lama. Hal serupa setidaknya pernah dibuktikan oleh Partai Demokrat. Ketokohan dan popularitas SBY sebagai penggagas dan penasehat partai tidak dapat dipungkiri telah menjadi energi bagi partai dan sumber inspirasi banyak orang ketika akan menentuhkan pilihan.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada konteks ini, Pemilu merupakan satu-satunya mekanisme demokrasi yang harus dilewati dan memiliki sumber legitimasi bagi partai politik untuk mencapai kursi kekuasaan dan menunjukan eksisitensinya. Langkah pertama dan merupakan titik krusial pertama dari sejumlah tahapan yang akan dilalui menuju Pemilu 2009 adalah rekrutmen politik.

Rekrutmen Politik: Sebuah Agenda Awal
Selama era reformasi telah dilaksanakan dua kali Pemilu. Notebenya telah dua kali pula tersusun lembaga legislatif dari hasil Pemilu tersebut. Faktanya meskipun telah dipilih dari proses Pemilu yang demokratis, namun proses tersebut tidak cukup kuat untuk menjadi sarana memperbaiki pencitraan lembaga legislatif. Kualitas dan kapabilitas lembaga ini dinilai oleh banyak kalangan belum berjalan secara optimal. Satu contoh, dalam penyusunan produk hukum. Hampir dapat dipastikan legilatif tidak pernah atau jarang mengunaan hak inisiatif. Hampir seluruhnya produk hukum yang dihasilkan bersumber dari eksekutif. Lalu kemana perginya catatan sewaktu melakukan hearing dengan para konstituen, atau apa realisasi pengaduan-penngaduan yang datang dari masyarakat ke legislatif selama ini. Akhirnya, fungsi legislatif terbatas hanya baru sampai “menampung aspirasi masyarakat”. Akibatnya kenyataan tersebut berdampak pada terus merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan partai politik.

Pangkal persoalan dari rangkaian panjang tersebut sebenarnya adalah pada rekrutmen politik. Kualitas anggota parlemen sangat ditentukan dengan bagaimana mekanisme rekrutmen. Partai dalam hal ini berperan sebagai agen yang menyediakan dan mempersiapkan calon-calon politisi yang akan duduk di kursi parlemen. Aktivitas partai menyediakan stok politisi inilah yang disebut dengan rekrutmen politik. Bentuk rekrutmen dipengaruhi oleh sistem kepartaian dan sistem Pemilu yang dikembangkan. Namun, apapun sistemnya rekrutmen dari partai politik tidak akan lepas dari dua proses, yaitu; menyusun kriteria yang akan menjadi kualifikasi untuk melakukan rekrutmen dan bagaimana meknisme rekrutmen yang akan dilakukan.

Kriteria atau kualifikasi.
Kriteria atau kualifikasi adalah standar minimum yang harus dimiliki oleh seorang untuk dapat dicalonkan. Kriteria atau kualifikasi disusun berbentuk aturan atau persyaratan.. Berkaitan dengan pencalonan anggota legislatif, setidaknya ada dua kualifikasi yang harus dipenuhi, yaitu kualifikasi yang ditetapkan oleh negara dan kualifikasi yang ditetapkan oleh partai politik. Kualifikasi yang ditetapkan oleh negara biasanya bersifat umum, longgar dan berkaitan dengan permasalahan idiologi kebangsaan. Jika tidak mengalami perubahan, terdapat sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi seoarng kandidat dapat dicalonkan (1) Berusia 21 tahun; (2) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Domisili di NKRI; (4) Cakap bernbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Menimal berpendidikan SLTA atau sederajat; (5) Setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan cita-cita Proklamasi; (6) Bukan bekas PKI atau organisasi terlarang lainnya; (7) Tidak sedang dicabut hak pilihnya; (8) Tidak seedang menjalani pidana penjara; (9) Sehat rohani dan: (10) Terdaftar sebagai pemilih. Sebagai sebuah parameter umun, persyaratan yang telah ada, dapat dikatakan memadai. Namun, persyaratan tersebut masih jauh dari kesempurnaan jika dijadikan alat untuk menyeleksi seseorang yang akan duduk dikursi legislatif. Karena dalam menjalankan tugasnya terdapat empat fungsi yang akan diemban oleh seorang legislatir; yaitu fungsi representatif, fungsi anggaran, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Untuk itu, persyaratan umum tersebut tidak cukup memadai sebagai pedoman atau kriteria penyeleksian. Partai politik mesti menetapkan sejumlah persyaratan lain. Persyaratan tersebut selain merujuk pada idiologi partai, juga harus berkorelasi dengan pelaksanaan fungsi lembaga legislatif ke depan.

Salah satu kelemahan dari partai politik sekarang adalah dalam merumuskan persyaratan di tingkat partai. Persyaratan masih bersifat umum dan tidak mengambarkan kebutuhan jangka panjang. Sedangkan bagi si calon sendiri yang terfikirkan adalah bagai mana mendapatkan nomor urut teratas dalam daftar calon dan lupa berkaca diri. Oleh karena itu pada tataran ini demokrasi dapat dikatakan masih berjalan secara prosedural, belum subtansi. Idealnya, untuk menetapkan kualifikasi bagi calon legislatif partai perlu merumuskan apa yang akan diharapkan dari keanggotan seseorang selama menjabat di bangku legislatif. Dari bacaan ke depan tersebut, kemudian partai menurunkannya menjadi sejumlah persyaratan untuk bahan kualifikasi. Pertimbangan politis seperti jabatan struktural di internal partai dan masa keanggotaan itu penting tapi tidak menjadi satu yang dominan dan mengabaikan faktor kualitas. Sedangkan bagi si calon selain menunjukan kinerja dan loyalitas kepada partai perlu juga berkaca diri.
Pandangan bahwa mereka yang akan masuk ke lembaga legislatif bisa belajar, atau dapat dilatih ketika sudah menduduki kursi dilegislatif sudah selayaknya ditinggalkan. Keterampilan, kecakapan, kepekaan, yang harus dimiliki oleh seorang legislator semestinya telah dimiliki dan disiapkan sebelum ia menduduki jabatan tersebut. Hal tersebut begitu krusial karena masa pengabdian di legislatif tidak panjang, banyak hal yang mesti disegerakan untuk dikerjakan dan tidak ada waktu untuk belajar.

Artinya, proses rekrutmen bukan hanya sekedar menyeleksi dan menempatkan nama-nama orang atau kandidat. Tapi lebih penting dari itu adalah sejauh mana kandidiat yang dipromosikan tersebut memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam mengemban tugas partai dan amanah para rakyat pemilih.