Saturday 19 July 2008

DEMONSTRANSI ANARKIS :

Pembawa berita mewartakan kepada pemirsa, sebuah aksi demontrasi yang berakhir rusuh. Cuplikan rekaman vidio tentang berita yang diwartakan membawa pemerisa pada gambaran peristiwa sesungguhnya. Usai membacakan berita, pembawa berita memperkenalkan nara sumber yang hadir di studio dan sekaligus mengundang para pemirsa yang ingin ikut berpartisipasi untuk menelfon ke nomor yang telah disiapkan. Ada dua narsumber yang hadir, seorang aktivis mahasiswa dan seorang lagi pengamat politik. Keduanya diminta untuk mengkomentari pemberitaan yang baru disampaikan. Kesempatan pertama diberikan kepada pengamat politik. Dengan bahasa yang tertata dengan rapi, sistematis dan tidak lupa mengeluarkan setumpuk teori-teori demokrasi sang pengamat mengkomentari aksi mahasiswa. Diakhir komentar sang pengamat menyimpulkan bahwa demontrasi mahasiswa yang terjadi belakangan anarkis dan akan berdampak buruk pada proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Giliran berikutnya diserahkan pada mahasiswa. Bermodalkan semangat dan keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan sebagai wujud dari keresahan yang dirasakan oleh rakyat dan menuntut keadilan si aktivis menyusun kata-kata pembelaan. Argumentasiya seadanya, tanpa ada teori-teori yang rumit seperti sang pengamat. Sesi terakhir giliran para pemirsa yang diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Empat orang penelfon masuk dan memberikan tanggapannya. Satu persatu penelfon yang tak tampak bentuk fisiknya berkomentar, membangun sederetan argumentasi dari berbagai sudut pandang. Kalau disimpulkan, pendapat dari keempat partisipan tersebut adalah sepakat untuk satu kesimpulan yaitu gerakan mahasiswa dalam penolakkan kenaikan BBM anarkis.

Sketsa di atas merupakan ringkasan dalam sebuah dialog pagi disalah satu televisi swasta, ketika membahas tentang aksi demonstrasi mahasiswa yang belakangan acap kali berakhir rusuh. Akankah yang ditapilkan dalam dialog pagi tersebut, sebagai arus balik bagi pencitraan sebuah gerakan mahasiswa? Setelah sepuluh tahun gerakan mahasiswa dipuja, kini tiba gilirannya digugat. Kelompok muda terdidik yang selama ini dianggap sukses menjadi lokomotif perubahan dalam menggulingkan hegemoni kekuasaan rezim otoriter, kini dituding anti demokrasi. Mulai dari pengamat, akademisi, politisi, media apalagi penguasa menyerang dan mengecam gerakan mahasiswa. Pasal gugatannnya adalah demontrasi mahasiswa anarkis. Ironisnya, gugatan tersebut telah menenggelamkan subtansi atau materi yang disuarakan oleh para demonstran yaitu kenaikan BBM. Pertanyaannya adalah apakah betul gerakan mahasiswa anaskis, dan kenapa gerakan mahasiswa bergeser ke arah yang anarkis.

Demonstrasi Anaskis: Kasus Penolakkan Kenaikan BBM

Melakukan analisis terhadap demontrasi anarkis yang ditudingkan banyak pada gerakan mahasiswa belakangan ini, tidak dapat dilihat sepotong-sepotong dari penggalan-penggalan kasus. Kita harus melihat dalam satu kerangka sistem, tidak akan ada asap jika tidak ada api. Aksi demonstrasi tidak akan akan muncul jika tidak ada sebuah kondisi yang dianggap oleh demonstran bertentangan dengan kondisi seharusnya. Begitu juga bentuk atau cara menyampaikan protes, bisa dilakukan secara konfensional atau non-konfesional. Pilihannya tergantung pada tingkat kepercayaan penggugat pada keterbukaan sistem yang akan menerima protes yang mereka sampaikan.

Nah, kalau ditarik sedikit kebelakang, pilihan mahasiswa untuk melakukan demontrasi setelah gelombang besar reformasi pada tahun 1997 setiap hari semakin berkurang. Kalaupun ada aksi demontrasi dilakukan secara terbatas. Dilihat dari bentuk penyampaian, demonstrasi digolongan kedalam bentuk partisipasi politik non-konvensional, yaitu penyampaian aspirasi dengan tidak menggunakan cara-cara yang konstitusional, tidak mengunakan jalur-jalur formal. Partisipasi bentuk non-konfensional mendakan ketidak stabilan sistem politik satu negara, rendahnya integrasi masyarakatnya dan tingginya ketidakpuasan warga. Sebaliknya berkurangnya pilihan demonstrsi berarti sistem politik mulai tertata dengan baik dan tingkat kepuasan warga terpenuhi.

Gelombang demontrasi mahasiswa belakangan kembali meningkat, terutama sejak pemerintah mengumumkan rencana untuk menaikkan harga BBM. Sejumlah kampus memprotes dan mulai bergerak, isunya sama yaitu tolak kenaikan BBM. Aksi-aksi menetang naiknya harga BBM inilah yang mendorong mahasiswa kembali membentuk parlemen jalanan.

Sebelumnuya mari kita lihat sejumlah argumentasi pemerintah kenapa kenaikkan BBM sesuatu yang tidak dapat dihindarkan; (1) karena minyak dunia mengalami kenaikkan; (2) untuk menyelamatkan APBN; (3) harga minyak dalam negeri sudah terlalu rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya dan (4) subsidi BBM lebih menguntungkan kelompok-kelompok elit yang sebetulnya tidak layak mendapatkan subsidi. Agar dampak kenaikan BBM tidak begitu berdampak buruk bagi golongan menengah masyarakat yang pasti akan menjadi korban dari kenaikan BBM dan “jualan” bagi kelompok yang menentang kenaikkan BBM, pemerintah melakukan; (1) memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk keluarga miskin; (2) mengajak masyarakat untuk berhemat; menumbuhkan usaha kecil menengah.

Ironisnya, alasan dan langkah yang disampaikan di atas tidak satupun yang baru. Hal serupa juga muncul ketika BBM dinaikkan satu tahun sebelumnya. Kenyataanya, satu tahun kemudian ekonomi nasional tetap tidak mengalami perbaikan. Himbaun untuk bersikap hemat energi, hidup prihatin ternyata hanya untuk rakyat, bukan untuk para elit. Gedung-gedung megah tetap menggunakan AC, mobil dinas terus bertambah, lampu-lampu hias berderet rapi di kantor-kantor pemerintahan dan rumah-rumah pejabat pemerintahan, elit di legislatif minta kenaikan gaji, korupsi semakin marak, kesenjangan sosial semakin timpang, lapangan pekerjaan semakin sempit, kepastian hukum semakin jauh dan banyak lainnya. Akibatnya, ketidak percayaan masyarakat pada pemerintah berkurang.

Fakta tesebut cukup mendukung jika muncul prediksi bahwa menaikkan harga BBM berpotensi munculnya konflik horizontal maupun vertikal. Konflik dapat muncul pada skala kecil hingga skala besar. Konflik horizontal dapat dilihat pada awal-awal kenaikan BBM. Hampir disetiap sudut ruang publik muncul pertengkaran, masalahnya sederhana saja yaitu harga atau tarif. Contoh dalam menetapkan tarif anggkutan. Pengguna jasa transportasi menuding sopir dengan seenaknya menaikkan tarif anggkutan, pada hal belum ada keputusan berapa besaran kenaikan tarif dari pihak berwenang. Pada sisi lain sopir melihat menaikkan tarif anggkutan sudah menjadi keharusan dan tidak bisa menunggu keputusan siapapun. Logika sederhanya ketika biaya produksi besar makan harga jualnya kepada konsumen juga akan meningkat. Secara vertikal, gelombang protes akan mewarnai keputusan tersebut dan gejala tersebut sudah mulai terlihat sejak muncul wacana untuk menaikan harga BBM oleh pemerintah. Lebih menarik lagi gelombang protes atas rencana kenaikan harga BBM muncul lebih banyak di luar Jawa. Biasanya Jawa selalu menjadi titik awal dan menjadi penyumbang terbesar dari guliran bola salju setiap gerakan sosial.

Munculnya anaskisme dalam sebuah konflik, terutama yang melibatkan negara dan masyarakat biasanya disebakan karena tidak berfungsinya katup penyelamat (sarvety-Valve). Katup penyelamat merupakan lembaga sosial yang berfungsi sebagai filter atas perbedaan kepentingan yang muncul dalam masyarakat. Efektifitas sebuah katup penyelamat dapat diukur dari sejauh mana ia dapat mengelola konflik yang muncul menjadi konstruktif dan tidak anarkis. Dalam negara demokrasi, institusi yang ditugaskan berfungsi sebagai katup penyelamat adalah legislatis. Legislatif akan menampung semua ketidak puasan yang muncul dari masyarakat baik yang disampaikan secara konvensioanl maupun non konvesnioal. Kemudian atas kewenangan yang ia miliki legislatif menyuarakan dan perjuangankannya menjadi sebuah keputusan politik. Jadi, jika saat ini marak tindakan arnakisme baik dalam bentuk pengrusakkan, penjarahan, kerusuhan sosial, dan amuk masa, artinya adalah permasalahan dengan katup penyelamat. Untuk kasus ini, permasalahnya adalah ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.

Sekaitan dengan aksi anarkis yang muncul dalam demonstrasi rencana kenaikan BBM dan terus berlanjut bahkan cenderung miningkat dalam demonstrasi pembatalan kenaikan BMM tidak dapat dilepaskan dari ketidak percayaan terhadap katup penyelamat. Pada awal rencana kenaikan BBM mahasiswa di daerah (luar Jawa) gencar melakukan demonstrasi. Sasaran aksi mereka biasanya Kantor Gubernur dan DPRD. Sebagai generasi terdidik mahasiswa sangat paham bahwa gubernur, DPRD tidak punya kekuasaan, wewenang untuk mempengaruhi kebijakan yang sepenuhnya berada ditangan pusat. Namun pada sisi lain, penolakkan harus mereka suarakan. Akibatnya aksi yang dilakukan cenderung berlebih-lebihan. Tujuan adalah agar mendapat liputan dan perhatian dari pengambil kebijakan.

Ketika pemerintah akhirnya mengambil keputusan untuk tetap menaikan harga BBM, aksi demonstrasi mahasiswa semakin marak. Hampir setiap demontrasi berakhir dengan bentrok dengan aparat . Tindakan berlebihan yang ditampilkan oleh para demonstran tidak terlepas dari keinginan tindakan yang juga tegas dari pihak keamanan. Disamping itu juga bentuk frustasi para demonstran atas tuntan mereka yang tidak pernah didengar. Apalagi ketika isu penolakkanatas kenaikan harga BBM yang mereka suarakan tiba-tiba hilang dengan munculnya kasus Monas, yang bagi sebahagian analis diangap sebagai rekayasa politik. Jadi semuanya tindakan anarkis yang muncul dalam aksi penolakkan BBM tidak berdiri sendiri.

Akhirnya, untuk melanjutkan proses demokratisasi segala aksi yang bentuk kekerasan perlu ditindak tegas. Tetapi juga sangat tidak arif jika aksi mahasiswa yang peduli atas nasip rakyat, berjuang tanpa pamrih kemudian dihukum dengan stempel anarkis.

Eka Vidya Putra

Penulis adalah dosen Sosiologi Politik di Fakultas Ilmu Sosial UNP Padang

No comments: