Sunday 23 November 2008

Politisi Impor dan Oligarki Partai

Sabtu, 22 November 2008

Oleh : Muhammad Taufik Pengajar di IAIN Imam Bonjol dan Eka Vidya Putra, UNP ( Peneliti Revolt Institute)

Beberapa minggu yang lalu media masa mendadah keterkaitan petinggi-petinggi partai yang menempatkan keluarga mereka dalam daftar urut utama caleg partai. Praktik KKN di tubuh partai ini menambah daftar kekecewaan masyarakat terhadap partai. Di samping itu hal ini muncu juga sebagai respon sebagai bentuk kekecewaan kader partai yang sudah lama mengabdi dikalahkan oleh keberadaan keluarga petinggi partai. Tapi ada satu hal yang teralfakan banyak orang bahwa problem partai tidak hanya berada pada konteks itu saja, tapi persoalan lain adalah keberadaan caleg di daerah yang secara “paksa” ditempatkan oleh DPP masing-masing partai.


Hal ini mengindikasikan betapa besarnya kekuasaan DPP atas pengurus partai di tingkat daerah. Dan ini adalah kekalahan pegurus partai di tingkat lokal. Meski sudah dibahas dalam media ini, tapi sepertinya belum mendapat tempat yang luas. Persoalan ini diketengahkan sebagai bagian dari pemahaman bersama bagaimana parta (DPP) mempraktikkan kekuasannya sampai pada tingakat lokal.



Senyatanya persoalan otonomisasi bukan hanya terletak pada relasi pusat dan daerah dalam konteks penyelenggara negara (pemerintah). Sebagai wujud dalam pengejewantahan demokratisasi, partai selayaknya mempraktikkan prinsip-prinsip otonomisasi dalam membangun kepartaian. Tapi dari data yang beredar memunculkan persoalan baru dengan mengapungnya kader partai yang secara geneologis dan kultural tidak memiliki keterkaitan dengan daerah yang diwakili dan bahkan sama sekali tidak pernah melakukan pergumulan dan perkelindanan dengan realitas kehidupan yang diwakili.



Persoalannya, bagaimana pemahaman ini bisa dirasionalisasikan apalagi ini dikaitkan dengan semangat reformasi, kebangkitan dan perubahan yang diusung oleh partai. Ternyata praktik kekuasaan partai di tingkat pusat mengalahkan nalar semangat kebangkitan dan otonomisasi partai. Praktik ini bisa dilihat Sumatera Barat, beberapa calon legislatif yang diusung oleh partai menggambarkan keironian partai di tingkat lokal itu sendiri; ironi ketakberdayaan, ironi kekalahan, ironi ketaklukan.



Oleh sebab itu bagaimana massa-rakyat meyakini partai di tingkat lokal mampu melakukan bargaining lebih besar sementara dalam konteks kepartaian mereka sendiri mengusung sentralisasi partai. Ini sangat kontraproduktif dengan semangat otonomisasi. Otonomisasi mengandalkan kedaudalatan partai di tingkat lokal untuk menata, mengatur dan mengendalikan partainya dengan tetap berprinsip menunjung tinggi semangat menggali potensi di aras lokal.



Ternyata, alih-alih melakukan otonomisasi partai tingkat lokal, malahan partai bergairah mengimpor orang-orang dari Pusat dan menjadikan mereka representasi masyarakat Sumatera Barat. Padahal mereka tidak pernah mendalami getaran-getaran nadi masyarakat Sumatera Barat.



Inilah praktik pembodohan yang dilakoni oleh partai. Sebagai salah satu bentuk harga diri masyarakat Sumatera Barat, ternyata partai mempraktikkan ketelanjangan; ketelanjangan bahwa partai-partai di Sumatera Barat tidak memiliki mantagi dan sekali lagi takluk dengan kekuasaan DPP. Akibatnya kader-kader baik partai di Sumatera Barat menumpuk dan akhirnya memunculkan sekat-sekat konflik sesama mereka. Inilah oligarki partai yang selama ini ditentang oleh komunitas perubahan.



Kenapa kehadiran politisi-politisi ‘impor’ menjadi persoalan? Politisi impor adalah bentuk dan sosok politisi yang merepresentasikan diri sebagai suatu komunitas politik, padahal ia tidak tidak memiliki referensi jelas terhadap komunitas yang diwakilinya. Politisi ini lahir beradasarkan tirani partai ditingkat pusat yang merekayasa dan memaksa partai di tingkat lokal untuk menerima dan sementara partai di tingkat lokal tidak memiliki kuasa untuk menolak.



Kehadiran politisi impor ini memiliki problem tersendiri baik dalam konteks kehidupan politik lokal dan masyarakat sendiri. Karena politisi bagaikan penerus ‘sabda’ masyarakat yang terserak diaras lokalitas dan menjadikanya ‘sabda’ kolektif dalam menentukan keputusan-keputusan bangsa terhadap masyarakat itu sendiri. Senyatanya ini bukan pemahaman yang sempit terhadap demokrasi yang mengusung semua pihak memiliki hak yang sama dalam berpolitik, tapi persoalan terletak sejauhmana politisi itu memahami situasi asali masyarakat dan sejauhmana ia hidup dengan hal itu.



Itu bukan saja dalam makna bahwa sang politisi berasal dari Sumatera Barat, tapi ini berkaitan dengan keterkaitan diri dengan realitas dan bagaimana ia berproses lama dengan realitas (baca; Sumatera Barat). Ini mengandung tafsiran meski secara geneologis bukan berasal dari suku Minangkabau, tetapi ia hidup dan berproses dengan masyarakat, maka ia bukanlah kategori ini.



Kenapa ini menjadi arsiran, dikarenakan bahwa persona representasi mengindikasikan akan kehadiran persona tersebut dalam realitas interaksi keseharian, bukan tiba-tiba datang di Sumbar berbicara banyak hal di media koran atau televisi, yang kadang-kadang mendikte seolah-olah banyak orang bodoh di Sumatera barat, dan kemudian kembali ke Jakarta dengan meninggalkan iklan dan baliho dengan dibumbui segala pendapat yang kadang tidak menyambung dengan kontek keSumatera Baratan/keminangkabauan.



Ini pertunjukan kelucuan yang diperankan di pentas masyarakat Sumatera Barat yang dikenal cerdik dan pintar. Aksi politisi semacam ini merupakan drama yang dirancang untuk mempengaruhi masyarakat bahwa Jakarta itu hebat, segalanya dan lebih cerdas dibandingkan dengan politisi lokal. Dalam konteks ini ternyata partai mengukuhkan kembali praktik sentralisasi dan ini adalah kegagalan reformasi civil.



Persoalan ini sewajarnya harus dikritisi oleh masyarakat, akademisi, kaum muda yang menyatakan diri sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Sumtera Barat. Ini bukanlah kesempitan dalam berpikir atau, kalau ada yang berpendapat, sukuisme, daerahisme dan lain-lain yang berlebihan, tapi ini adalah kekhawatiran dan kegamangan akan terulangnya kembali peristiwa-peristiwa ini sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh parta-partai dalam pemilu sebelumnya.



Karenanya, persoalan ini harus segara diinsyafi ketika kurs politisi di mata masyarakat terus merosot. Demokrasi yang diandaikan mengembangkan kedaulatan, keikutsertaan dan kedaulatan rakyat justru melahirkan ketidakpercayaan dan keputusasaan masyarakat. Artinya, demokrasi menjadi pepesan konsong jika tidak disertai dengan kecermatan dalam menetapakan pilihan politik, memilih politisi (caleg) yang mengusung semangat kerakyatan dengan semangat lokalitas sesuai dengan sistem yang dianut.



Terakhir, apa lagi yang bisa diharapkan dengan bangsa yang jamak politisinya mengobral janji yang kadang hanya sebagai alat hipnotitasi masa-rakyat agar mengantarkan sang politisi ke singgasana. Bangsa ini (baca: Sumatera Barat) acapkali disibukan oleh dagelan-dagelan politisi yang tidak mengakar. Seolah bangsa ini tempat pertarungan para dagelan yang membuat cerita dan skenario sesuai dengan alur motif-motif individual.



Bangsa ini disibukkan dengan ritualisai demokrasi yang kadang menganggu kehidupan tenang mereka. Masyarakat tetap menjadi objek eksploitasi politik dengan beraneka permainan dan kesadaran palsu politisi. Mereka diajak (dipaksa?) untuk ikut bagian dari setiap peristiwan dan karnaval yang kadang-kadang menyuguhkan dagelan-dagelan dan arak-arakan politik. Mata mereka dipusingkan dengan kepadatan visual-visual, gambar, umbul-umbul, iklan, bendera baik di media, di dinding toko atau di sepanjang jalan. Mereka digiring dalam batas-batas kewarasannya untuk memilih dan mengikuti irama pertarungan yang warna-warni.



Barangkali tidak salah, mengutip Baudrillard, masyarakat dipenjara dalam bentuk keheningan dan kediaman (silent majority). Mereka acapkali diposisikan sebagai bagian dari sasaran tanpa sepantasnya mereka merespon secara sadar dan kritis atas apa yang mereka mamah dari ide-ide yang kadang kala tidak mereka mengerti.



Kita berharap dan sudah banyak bukti bahwa masyarakat sudah mulai cerdas dan tidak mudah tertipu dengan pencitraa kandidat yang kadang tidak rasional. Masyarakat sudah mulai faham dengan pengelaman pemilu legislatif, pilkada sebelumnya, bagaimana cara “memanfaatkan”, “cara mengkounter tipuan” atau menemukan formula/serum sebagai penawar atau anti toksin dari virus para kandidat.



Kalau pilkada sebelumnya masyarakat merasa ditipu oleh kandidat atau team sukses, maka sekarang saatnya bagi mereka negoisasi secara langsung. Atmosfer Politik uang atau perilaku politisi sebelumnya bagi masyarakat hari ini adalah senjata untuk menekan para kandidat. Ini kultur masyarakat yang disering ditipu yang akan selalu mencari kounter sebagai tipuan-tipuan ala mereka. Berdasarkan pengalaman mereka datang bukan datang lagi dengan kekosangan, tapi mereka datang dengan taktik sendiri yang didiamkan dalam akal pikiran mereka. Wallahu’alam bishawab. (***)

Saturday 22 November 2008

Penelitian dan Pendampingan

Pengalaman Penelitian dan Pendampingan :

No

Penelitian / Pendampingan


Tahun

1

TA One Stop Service untuk Pemda Kota 50 Kota, Sumatera Barat – The Asia Foundation (TAF)


Koordinator Area

April 2007 – Maret 2008

2

Survei Kepuasan Pelanggan pada Pengguna Layanan Jasa Bandara – YLKI


Konsultan

Februari 2008

3

Monitoring Pelaksanaan Etika Organisasi pada Kasus Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM) – KPMM atas dukungan Yayasan Tifa dan Frod Foundation


Konsultan

Januari 2008

4

Survei Perilaku Pemilih Jelang PILKADA Kota Pariaman – Revolt Institute


Peneliti Utama

Desember 2007

5

Studi Multikultur Masyarakat Kota Bukittinggi dalam Kaitannya dengannya sebagai kota tujuan wisata


Peneliti

Juni – Agustus 2007

6

TA One Stop Service untuk Pemda Kota Solok, Sumatera Barat – The Asia Foundation (TAF)


Peneliti

Maret 2006 s/d Maret 2007

7

Mengidentitifikasi Modal Sosial dan Budaya Masyarakat Minangkabau untuk Mendukung Nilai-nilai Demokrasi dan Pluralisme – CETCOS UNP dan TIFA Foundation


Koordinator

November s/d Februari 2007

8

Penilaan Buku Ajar untuk Sosiologi - PUSBUK, Departemen Pendidikan Nasional


Penilai

September 2007

8

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Kabupaten 50 Kota Jelang Pilkada Juli 2007 – Revolt Institute


Peneliti Utama

Januari 2007


Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penerapan Taransparansi dan Akuntabilitas:

Kasus Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM) – Lembaga Penelitian UNP


Peneliti Utama

Maret 2006 s/d Januari 2007

9

Survei Nasional Pengawasan Obat dan Makanan – Perfect 10, CIRUS Jakarta dan Badan POM


Peneliti Utama

November 2006

10

Studi Dampak Desentralisasi Terhadap Peningkatan Daya Saing Daerah – The Habibie Center


Pengumpul Data

Oktober 2006

11

Studi Evaluasi Penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia – PKSBE dan YAPIKKA Jakarta


Peneliti Lokal

September 2006

12

Penilaian Terhadap Pelaksanaan Good Governance (LGSP) di Kota Padangpariaman – PKSBE dan USAID


Peneliti

Agustus s/d Oktober 2005

13

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Muaro Jambi Jelang Pilkada – Pusat Kajian Kebijakan Publik


Peneliti Utama

November 2005

14

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Tanah Datar – Revoilt Intitut


Peneliti Utama

April 2005

15

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Sumatera Barat Jelang Pilkada Sumatera Barat – Revolt Institut


Peneliti Utama

Februari 2005

16

Survei Perilaku Pemilih Masyarakat Provinsi Jambi Jelang Pilkada Jambi – Pusat Kajian Kebijakan Publik


Peneliti Utama

Juli 2004

17

Persepsi Masyarakat tentang Sumbangan, Sedekah dan Infak di Indonesia – PIRAC Jakarta


Peneliti Lokal

Februari 2004

18

Survei Perilaku Pemilih Jelang Pemilihan Presiden – LP3ES


Peneliti Lokal

November 2003

19

Survei Perilaku Pemilih Jelang Pemilihan Presiden – LP3ES


Peneliti Lokal

Agustus 2003

20

Studi tentang Pelaksanaan Desentralisasi Pada Sektor Pertanian – CIRUS Jakarta dan Departemen Pertanian RI


Peneliti

Mei s/d Juli 2003

21

Survei Perilaku Pemilih Jelang Pemilu 2004 – Lembaga Survei Indonesia (LSI)


Peneliti Lokal

Maret 2003

22

Studi Penyelenggaraan Pelayanan Publik Transportasi di Jakarta – CIRUS Jakarta dan Yayasan Harkat Bangsa (YHB)


Peneliti

Juni s/d Juli 2002

23

Kajian Hubungan Sipil dan Militer di Daerah - FILTER


Peneliti

Februari, 2001

24

Persepsi Masyarakat tentang Sumbangan, Sedekah dan Infak di Indonesia – PIRAC Jakarta


Peneliti Lokal

Agustus, 2000

25

Presepsi Masyarakat Kerinci Terhadap Peningkatan Ekonomi Masyarakat (studi : Desa-desa di kawasan Penyanggah TNKS) – Pusat Kajian Wilayah Jambi


Peneliti Utama

April, 2000

26

Katup-katup Kemiskinan di Sumatera Barat


Pengumpul Data

1997

27

Penelitian Presepsi Masyarakat Terhadap Penggadaian di Indonesia


Pengumpul Data

1997

28

Penelitian Action Risearch 23 tipologi desa program IDT. Daerah Sikilang Pasaman Sumatera Barat


Pengumpul Data

1995

Tuesday 18 November 2008

HAND OUT PENGANTAR ILMU POLITIK

Pertemuan : 1 (pertama)

Materi : Pengertian dan Perkembangan Ilmu Politik


A. Pengertian Ilmu Politik

Defenisi Politik dan Ilmu Politik

Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti negara. Sedangkan orang yang mendiami polis, disebut dengan polites, yang berarti warga negara. Istilah tersebut terus berkembang dan kemudian menjadi politik seperti yang dikenal sekarang.

Secara defenisi, tidak ada defenisi tunggal terhadap konsep politik. Masing-masing ahli membuat defenisi sendiri-sendiri. Perbedaan masing-masing defenisi berada titik tekan atau kajian utama yang mereka anggap dapat mewakili konsep politik. Konsep politik yang dimaksud adalah: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), dan pembagian (distribution).

Keberagaman tersebut, dapat dilihat dari sejumlah defenisi berikut ini:

Meriam Budiharjo, mendefinisikan politik sebagai berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut.

Harol D. Lasswel, politik adalah masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when, and how).

Joyce Michel, mengatakan politik merupakan pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.

Karl W. Deutsch, menyenutkan politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum.

Berkaitan dengan keberagaman defenisi politik, Ramlan Surbakti mengambarkan ada lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang diangap penting.

Secara umum apa yang telah didefinisikan di atas merupakan konsep dari politik. Sedangkan defenisi ilmu politik belum satupun disingung. Jika demikian, pertanyaan dasar yang perlu diajukan adalah apa perbedaan antara politik dan ilmu politik? Atau apakah perbedaan antara keduanya, hanya terdapat pada tambahan kata ilmu saja?

Pengertian awam akan menjawab “ya”, yang disebut dengan ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik. Pengertian tersebut tentu saja tidak salah, karena ruang lingkup dari kajian ilmu politik adalah apa yang menjadi konsep dari politik. Sejumlah defenisi dapat mewakili pandangan ini, seperti:

Harol D. Lasswel dan A.Kaaplan, mengatakan ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.

Roger F. Soltou, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksankan tujuan-tujuan tersebut; hubungan antara negara dengan warga negara, hubungan antara negara dengan negara lainnya,

J. Barents, menegaskan ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara, yang merupakan bahagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara melaksanakan tugasya.

Namun dalam pengertian yang lebih khusus, ilmu politik tidak saja berarti ilmu yang mempelajari politik, tapi juga meliputi kesahihan dalam pengertian standar keilmiahan pengetahuan. Soejono Soekanto, secara pendek menyebutkan pengertian dari ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis dengan mengunakan kekuatan pemikiran, penmgetahuan dimana selalu dapat diperiksa dan ditelangah (dikontrol) dengan kritis oleh orang lain yang ingin mengetahuinya. Untuk itu ilmu pengetahuan mempunyai empat unsur utama, yaitu: empiris, teoritis, kumulatif dan non ethis. Artinya, mempelajari ilmu politik berarti mengupas kenyataan-kenyataan politik, yang didukung dengan absraksi dari hasil-hasil observasi, teori-teori dan bertujuan untuk memperjelas kejadian politik tersebut secara analitis.

B. Perkembangan Ilmu Politik

Merujuk pada pemikiran Aristoteles yang menyebutkan menyebutkan bahwa manusia adalah zoon politikon, artinya selama ada masyarakat disitu pasti ada kegiatan politik, semenjak ada peradapan, politik itu sudah ada. Maka politik dalam artian praktis pada dasarnya dekat dengan aktivitas kehidupan manusia. Hal itu tergambarkan dari tulisan-tulisan kuno, pratasti dan lainnya.

Politik dalam artian ilmu pengetahuan berkembang dan mulai dikenal luas sejak peradapan Yunani-Romawi. Bagiamana perkembangan ilmu politik, lebih menyeluruh dipaparkan oleh Ahmad Suhelmi. Dimana ada tiga peradapan yang mempunyai tradisi keilmuan dan pemikiran politik Barat, yaitu Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani dan Islam.

Yunani-Romawi

Tradisi keilmuan Yunani-Romawi memberikan konstibusi besar dalam perkembangan ilmu politik. Pemikiran filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles merupakan momentum awal dari perkembangan ilmu politik modern dewasa ini. Wajar jika kemudian kedua filosof tersebut dinobatkan sebagai Bapak Filsafat Politik dan Bapak Ilmu Politik.

Karya Plato dan Aristoteles, banyak memberi sumbangan pemikiran mengenai bentuk-bentuk negara dan hakikat pemerintahan. Plato mencita-citakan negara diperintah dengan kebijaksanaan, sebagaimana yang diperlihatkan oleh para filosof. Sedangkan Aristoteles, melihat negara yang ideal adalah negara yang mencoba melakukan kombinasi antara oligarkhi dan demokrasi. Sedangkan sumbangan terbesar dari peradapan Romawi terutama di bidang sistem hukum dan lembaga politik.

Judeo-Kritiani

Peradapan Judeo-Kritiani merupakan peradapan kedua yang meletakkan dasar-dasar intelektual dan filosofis bagi pembentukan dan perkembangan peradapan Barat. Orang-orang Jodeo atau Yahudi walaumenjadi kelompok minoritas, namun terkenal banyak melahirkan orang-orang besar dan melahirkan banyak peristiwa sejarah. Mereka berperan dalam proses kelahiran peradapan renaisans Eropah. Di abad XIX dan XX suku bangsa ini melahirkan banyak tokoh-tokoh besar dengan karya-karya ilmiah yang sampai saai ini mesih menjadi referensi utama para ilmuan. Nama-nama seperti Hegel dengan aliran Hegeliannisme, Marx dengan Marxisme, Darwin dengan Darwinisme, Sigmund Freud, Nietzsche, Herbert Spencer, Albert Einsten dan lainnya berasal dari bangsa Yahudi.

Sedangkan peradapan Kristiani memainkan peran penting berikutnya. Gereja banyak mengambil fungsi penting imperium dan membantu mengendalikan berbagai kekacauan sosial saat kehancuran imperium Romawi Barat. Pada abad XII-XIII Agama Kristen ikut mendorong kebangkitan ilmu pengetahuan dan sipiritual, bagi peradaban Barat. Puncak sumbangan Agama Kristen adalah melahirkan gerakan Protestan. Doktrin Reformasi Protestan berdampak luas bagi perilaku ekonomi dan kemudian terus berkembang menjadi infrastruktur yang kokoh untuk terbentuknya kapitalisme.

Islam

Walau tidak diakui peran Islam dalam mempengaruhi pemikir politik Barat tidak dapat diabaikan. Salah satu tokoh yang mengembangkan metodologi ilmiah berupa kajian teoritis empiris adalah Ibnu Khaldun. Seterusnya warisan ilmu dari Ibnu Rusyd, juga banyak mempengaruhi budaya Barat. Kuatnya pengaruh Ibnu Rusyd terhadap peradapan Barat diibaratkan oleh Tan Malaka seperti pengaruh Marxisme pada zaman sekarang.

Bahan Bacaan :

1. Budiardjo, Meriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta, Gramedia, cetak ketujuh 2005

2. Harycahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Presfektif, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986

3. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta, Gramedia, 1992

4. Rodee, Carlton Clymer, dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta, Rajawali, 1993

Tuesday 11 November 2008

Kuota 30 persen Jangan Sekadar Pemenuhan

Jumat, 19 September 2008
Padang, Padek-- Kuota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di kursi legislatif, hendaknya dapat dipenuhi oleh SDM perempuan yang berkualitas. Sehingga keterwakilan perempuan dalam parlemen memang mewakili kebutuhan dan suara perempuan.

Di samping itu perempuan juga harus menyikapi strategi partai dalam penempatan perempuan dalam pemilu 2009 sehingga perempuan tidak hanya dijadikan syarat untuk pemenuhan syarat 30 persen bagi partai.

Hal tersebut diungkapkan Ketua KPUD Sumbar Mufti Syarfie dalam seminar lokakarya yang diadakan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumbar di Pangeran Beach Hotel, kemarin. Selanjutnya Mufti menjelaskan bahwa saat ini pemerintah telah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk turut serta dalam setiap pengambilan kebijakan, saat ini permasalahannya mampukah perempuan memenuhi kebutuhan itu.

“Kenyataannya saat ini banyak perempuan yang lebih memilih untuk lebih berprofesi sebagai PNS, guru dan tenaga kesehatan. Sehingga seharusnya dari awal ditetapkannya kuota tersebut perempuan juga harus menyiapkan kadernya untuk berkiprah di dunia politik,” ujarnya.

Acara ini diikuti kaum perempuan yang berasal dari sejumlah ormas, partai dan sejumlah organisasi perempuan lainnya. Selain Mufti Syarfie, tampil sebagai pemateri lainnya dari IFES Indonesia, Admira Dini dan pengamat sosial UNP, Eka Vidya.

Apalagi ketentuan UU tentang kuota 30 persen perempuan tersebut tidak memberikan sanksi apabila kuota tersebut tidak dapat dipenuhi. Sehingga tidak ayal kondisi ini dikhawatirkan hanya asal sekadar pemenuhan kuota semata. Terlihat saat klarifikasi tidak banyak perempuan yang memenuhi persyaratan.

Hal tersebut seolah mengejutkan bahwa sesungguhnya kuota perempuan tersebut tambah Mufti seharusnya 50 persen. Sebab saat klarifikasi jika 20 persen tidak memenuhi syarat, maka masih ada 30 persen lagi.

Selanjutnya pembicara Ifes Indonesia, Admira Dini mengatakan bahwa perempuan harus cerdas menyikapi posisi dalam pencalonan legislatif mendatang. Diantaranya perempuan harus mengetahui posisi atau daerah pemilihan dan basis partai. (ni)