Friday 25 February 2011

Makan Minum DPRD Rp2,1M

Sawahan, Padek – Gubernur Irwan Prayitno menyorot belanja perjalanan dinas dan makan minum di DPRD Padang. Dua pos mata anggaran itu menurutnya tidak logis dan nilainya terlalu besar.
Dari total belanja langsung di Sekretariat DPRD Rp17,160 milliar, dianggarkan 41,03 persen atau Rp7,04 milliar untuk perjalanan dinas DPRD dan 12,49 persen atau Rp1,5 milliar untuk biaya makan dan minum.
Hal tersebut terungkap dalam surat keputusan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno No903/264/DPKD-2010 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah terhadap APBD 2011 dan Rancangan Peraturan Wali Kota tentang Penjabaran APBD 2011. Surat hasil evaluasi itu dikeluarkan 28 desember 2010.
Untuk anggaran perjalanan dinas luar daerah, ternyata angka Rp7,04 milliar belum termasuk perjalanan dinas dalam daerah yang juga dianggarkan Rp1,56 milliar.
Penganggaran tersebut dinilai gubernur tidak logis dan tidak rasional serta bertentangan dengan amanat Permendagri No 37/2010 tentang Penyusunan APBD 2011 menegaskan, belanja perjalanan dinas dilakukan secara selektif dan dibatasi. Baik frekuensi, jumlah orang maupun jumlah harinya. ”Maka dari itu anggaran perjalanan dinas harus dikurangi sesuai asas kewajaran dan kepatutan,” pinta Gubernur dalam suratnya.
Sedangkan anggaran perjalanan dinas dalam daerah yang juga dinilai tak rasional, diminta diarahkan pada kegiatan langsung bersentuhan untuk peningkatan pelayanan masyarakat.
Sejalan dengan alokasi perjalan dinas tersebut, sekretariat DPRD juga mengalokasikan belanja makanan dan minuman rapat senilai Rp2.142.660.000. Dengan rincian, pengadaan makan minum Rp167.100.000, pembahasan ranperda Rp105.120.000.
Kemudian, dialog dan koordinasi dengan pejabat pemda, tokoh masyarakat/agama Rp79.200.000, rapat kelengkapan dewan Rp171.240.000 dan kegiatan reses Rp1.620.000.000.
Pengalokasian anggaran tersebut dinilai gubernur tidak logis, dan tidak sesuai prinsip anggaran kinerja yuang lebih mengutamakan efisiensi, efektivitas, rasionalitas dan kewajaran serta kepatutan.
”Untuk itu, pengalokasian belanja makan dan minum dikurangi atau dirasionalkan. Dengan mempertimbangkan kebutuhan riil terukur, efisien serta sesuai asas kewajaran dan kepatutan,” kata Gubernur.
Dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua DPRD Padang Budiman mengatakan hasil evaluasi itu telah disesuaikan.Untuk perjalanan dinas ke luar daerah telah dilakukan pemangkasan 10 persen dari nilai semula. ”Kita sudah berikan penjelasan ke gubernur soal itu, termasuk untuk belanja makan dan minum,’ tukasnya.
Secara terpisah, pengamat kebijakan publik dari UNP Eka Vidya Putra menilai, dengan kinerja wakil rakyat biasa – biasa saja, tidak pantas mendapat anggaran sebesar itu. ”Di saat Pemko memangkas anggaran, tapi DPRD relatif membengkakkan anggaran. Jika anggaran yang dikeluarkan sesuai dengan kinerjanya, sah – sah saja,” kritiknya.(mg4)

GUSTI AYU GAYATRI
Padang Ekspres 12 Januari 2011

Bangkitnya Civil Society

GERAKAN LAWAN MAFIA HUKUM
 
Apakah gerakan lawan mafia hukum yang sejumlah deklaratornya adalah “mantan” penggiat FPSB akan melakukan kekeliruan untuk kedua kalinya?
Deklarasi Gerakan Lawan Mafia Hukum pada 9 Februari 2011 di Kantor LBH Padang menandai bangkitnya kembali gerakan civil society di Sumatera Barat. Setidaknya statemen di atas merupakan harapan dari banyak kalangan, terutama bagi mereka yang berada di garis demokrasi. Harapan itupun setidaknya sejalan dengan keprihatinan sejumlah aktor pro-demokrasi atas penyurutnya pengawasaan civil society setelah “menghilangnya” Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB).

Tidak dapat dipungkiri kera­daan FPSB waktu itu merupakan loncatan kuantum dalam gerakan civil society di Sumatera Barat. FPSB, dinilai sukses karena gerakan yang dilakukannya dapat menjadi contoh bagaimana sebuah gerakan rakyat yang terorganisir dapat menjelma menjadi kekuatan penyeimbang dari hegemoni negara. Efektivitas tersebut terbukti ketika FPSB berhasil memejahijaukan anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004.

Tidak berlebihan jika apa yang dilakukan oleh FPSB, menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Apa yang dilakukan FBSB telah menjadi contoh, modul bahkan menjadi objek pengamatan oleh sejumlah penelitian.
Di kalangan LSM yang konsen pada pem­beran­tasan korupsi misalnya apa yang dilakukan FBSB menjadi me­dia untuk simulasi. Sejumlah peneliti pun lahir dari gerakan FPSB.

Jamie S Davidson, menyu­sun laporannya dengan judul Politics-as-usual on Trial: Regional Anti-Corruption Cam­paigns in Indonesia. Penelitian lain Rochman Achwan dan Meuthia Ganie-Rochman men­ca­tatnya dalam laporan Civic Organisations and Governance Reform in Indonesian Cities. Mereka melihat gerakan yang dilakukan oleh FPSB meru­pakan model bagaimana kelom­pok kecil mampu meng­efek­tifkan gerakannya. Ia bisa berada pada garis depan perlawanan sekaligus kampanye antikorupsi dan mendorong demokratisasi.
Namun disayangkan kesuk­sesan gerakan civil society di Sumatera Barat hanya terjadi dalam satu lompatan kuantum. Adapun kecenderungan be­rikutnya menunjukkan penyu­rutan. FPSB, setelah dianugrahi penghargaan antikorupsi dapat dikatakan tidak menunjukkan aktivitas lagi. Para aktor-aktor yang berkumpul di FPSB satu-persatu pergi. Beriring dengan itu, gerakan FPSB mulai tidak terdengar lagi.
Akankah deklarasi Gera­kan Lawan Mafia Hukum menjadi momentum baru lagi kembangkitan gerakan civil society kususnya pada aras lokal Sumatera Barat? Satu pertanyaan besar dan sekaligus teka-teki yang menarik untuk dicermati.

Memenuhi Prasyarat
Efektivitas gerakan civil society dipengaruhi oleh sejum­lah kondisi, yaitu otonom, man­diri dan terbuka. Dari sejumlah pra­syarat tersebut, agaknya gerakan lawan mafia hukum yang baru saja dideklarasikan dapat memenuhi prayarat tersebut. Adapun argumentasi yang dapat dikemukakan ada­lah pertama, secara otentik kelembagaan gerakan lawan mafia hukum ini terbentuk dari gagasan para penggiat civil society. Makna keotentikan bagi satu lembaga, berimplikasi pada aktivitas organisasi.

Otentik atau tidak oten­tiknya satu lembaga akan mempengaruhi keleluasaan dalam melakukan pergerakan. Organisasi yang dibentuk atas keinginan atau hanya sekadar prakarsa negara akan meng­alami keterbatasan dalam melakukan gerakan. Keter­batasan tersebut bisa dalam pilihan gerakan—konvensional atau nonkonfensional—atau bisa juga dalam pilihan isu. Secara kelembagaan lembaga “semi pemerintah” ini acap kali terperangkap dalam mekanisme birokrasi. Meski idealnya birokrasi mengedepankan asas efektif dan efesien, namun dalam praktiknya birokrasi kita adalah suatu yang rumit. Begitu juga pada tataran isu, lembaga-lembaga semi pemerintah condong terfokus pada satu isu dan tunduk pada dasar pem­bentukannya.
Dalam satu hal, fokus perlu bagi satu organisasi,maksudnya agar organisasi tidak ka mari dikaca. Namun dalam kom­pleksitas permasalahan yang hadir seperti sekarang ini ditambah dengan minimnya kesadaran kritis masyarakat, fokus tidak menjadi sesuatu yang subtantif. Banyak contoh lembaga-lembaga sipil yang kehadirannya dibentuk atau digagas oleh negara (penguasa). Hasilnya, tanpa   bermaksud mengenyapingkan sejumlah keberhasilan, lembaga lembaga seperti ini terperangkap dalam mekanisme birokrasi.
Keotentikan tidak hanya tergambar dari sisi kelem­bagaan saja tapi juga ada dari sisi aktor. Sejumlah aktor yang terlibat dalam pendeklarasian secara individual relatif bersih dan tidak terikat secara lang­sung dengan kekuasaan. Kon­disi tersebut sangat mengun­tungkan bagi gerakan civil society. Secara keseluruhan keo­tentikan lembaga dan aktor akan me­lahirkan gerakan yang otentik.

Kedua, hal lain yang sangat berpengaruh pada gerakan civil society adalah kemandirian. Kemandirian berkaitan dengan pembiayaan. Pembiayaan me­ru­pakan suatu yang vital dan sensitif dalam sebuah gerakan. Vital karena setiap aktivitas akan berkonsekuensi pada pembiayaan. Tapi ia juga sen­sitif, terutama ketika ia ber­kaitkan dengan sumber dan akuntabilitas dan transparansi pengunaan. Sumber pem­biayaan menjadi sensitif karena ia dapat mengangu keon­tentikan gerakan.
Maka, gerakan civil society yang pembiayaannya tergantung pada satu kelompok, seperti pemerintah dan atau kelom­pok-kelompok yang memiliki kepentingan dengan kekuasaan cenderung tidak efektif dan rapuh. Singkatnya semakin mandiri sumber pembiayaan suatu gerakan civil society, maka akan semakin bertahan lem­baga. Selanjutnya kebertahanan lembaga salah satu faktor penentu efektivitas gerakan dalam mencapai tujuan.

Kamandirian juga sekaligus menutup celah bagi kelompok-kelompok yang tidak suka dengan gerakan civil society untuk melakukan serangan balik dengan mengatas­naman­kan gerakan yang sedang dila­kukan ditunggangi oleh kepen­tingan pihak tertentu. Bagai­mana FBSB dimandulkan bisa menjadi contoh. Selain itu kemandirian dapat mencegah kecurigaan dan perpecahan di kalangan aktor civil society itu sendiri.
Dalam hal ini gerakan lawan mafia hukum dapat diharapkan tingkat keman­diriannya. Aktor yang hadir dalam deklarator merupakan kalangan profesional, akademisi, budayawan yang secara finan­sial relatif memiliki peng­hasilan sendiri. Artinya, ke­inginan untuk bergabung dalam gerakan lawan mafia hukum bukan sebuah “proyek” yang dimaksudkan untuk men­da­patkan uang tapi sebuah pekerja sosial voluntir. Di samping itu dengan banyaknya kelompok maupun aktor yang bergabung masalah pembiayaan dapat atasi secara bersama.
Ketiga, keterbukaan keang­gotaan dan dukungan dari banyak kalangan dengan latar belakang sosial yang beragam membuat daya pukul gerakan ini akan jauh lebih kuat. Dengan kekuatan seperti ini, gerakan civil society tidak akan mudah untuk digantangi. Kelompok-kelompok yang berada pada posisi yang berlawan atau oknum-oknum yang bermasalah akan berhitung dua kali untuk memberikan perlawanan.
Banyaknya dukungan juga akan berdampak pada luasan jelajah dan dan keragaman bentuk partisipasi. Pilihan untuk melakukan tekanan secara konvensional, nonkon­vensional atau dua-dua seka­ligus sangat dimungkinkan. Dalam konteks ini gerakan lawan mafia hukum juga akan berkontribusi menciptakan kepercayaan dan relasi sosial di antara kelompok. Hal ini akan berdampak secara lang­sung pada pembangunan modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang lebih kondusif.
Keempat, kehadiran gera­kan lawan mafia hukum lahir dalam situasi yang tepat. Artinya, kehadiran gerakan ini tepat di saat masyarakat menga­lami krisis kepercayaan pada sistem politik maupun sistem hukum. Secara masif pembe­ritaan di media masa ikut mengkondisikan situasi ter­sebut. Hampir tiap saat pem­-beritaan di media massa mengu­pas tentang kasus korupsi dan manipulasi. Tidak hanya terjadi pada tataran nasional tapi juga lokal. Akibat pemberitaan tersebut masyarakat secara tidak langsung merasakan dekat dengan kasus-kasus tersebut.

Sebutlah siapa yang tidak kenal dengan Gayus. Artinya, cerita tentang ketidakadilan, korupsi, ketimpangan sosial telah menjadi wawasan umum dalam masyarakat jika terus didiamkan dapat mengikis rasa kesetian dan kepercayaan masyarakat. Adanya kontrol dari masyarakat secara tidak langung memberi kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Dengan demikian dukungan dari ma­syarakat untuk lawan mafia hukum akan mudah diorganisir.
Namun, sejumlah peluang di atas bukan tidak ada kele­mahan. Adapun satu-satunya kelemahan dari gerakan ini adalah konsistensi. Konsistensi berkaitan dengan kesetiaan aktor-aktornya untuk terus memperkuat posisi civil society sebagai kekuatan penyeimbang dari hegemoni negara.  Setidak­nya rapuhnya konsistensi dari aktor penggerak civil society pada aras lokal pernah terlihat dalam FPSB. Apakah gerakan lawan mafia hukum yang sejumlah deklaratornya adalah “mantan” penggiat FPSB akan melakukan kekeliruan untuk kedua kalinya? Harapannya tentu tidak. Semoga.

EKA VIDYA PUTRA
(Dosen sosiologi politik di Universitas Negeri Padang)

SOAL MOBNAS ANGGOTA BK DAN BANLEG DPRD PADANG

PADANG, HALUAN—

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Negeri Padang, Eka Vidya Putra mempertanyakan kepekaan sosial anggota DPRD Padang, terutama mereka yang menganggarkan membeli dua mobil dinas mereka saat masyarakat Padang saat ini tengah dililit banyak persoalan.

Hal ini disampaikan Eka Vidya menjawab pertanyaan Haluan tentang sikap anggota DPRD Padang yang me­ngang­garkan dua mobil dinas untuk Anggota Badan Kehormatan(BK) dan Badan Legislatif(Banleg).

Disebutkan mantan Ketua Umum HMI Cabang Padang ini, hal ini jelas bertolak belakang dengan apa yang mereka sam­paikan saat berkampanye pada Pemilu lalu. Saat itu, masyarakat dikunjungi, dilayani, dengarkan, diikutsertakan, dan diberi janji. Dengan demikian, layaknya pasca Pemilu sudah selayaknya pula, warga mendapat perlakukan yang sama, seperti apa yang telah dijanjikan.

Namun, Realitasnya kondisi ini jauh berbeda. Usai Pemilu posisi masyarakat tiba-tiba terbalik, para wakil rakyat yang mendapatkan mandat merasa tidak perlu memberikan akun­tabilitas, transparansi dan legi­timasi sosialnya pada masya­rakat. Kondisi ini semakin sulit saat Kota Padang menjadi daerah "miskin" dengan defisit anggaran yang sangat besar. Hal, padahal sudah sering diberitakan media.

"Apa pesanya dari semua pemberitaan tersebut? tersirat dapat dikatakan “disini ada ketidakadilan, ketidakpedulian, dan ketidakpekaan para elite terhadap kondisi rill masyarakat,”. tegas Eka yang tengah me­nempuh pendidikan Doktor di Universitas Indonesia ini.

Memang, kata alumni Fakul­tas ISIP Unand ini, pe­ngadaan dua mobnas tersebut telah diang­garkan dalam APBD dan di­sahkan. Tapi, hal ini pulalah yang menjadi tempat wakil rakyat berlindung melalui tata aturan yang ada dan terkesan tanpa mempertimbangkan akuntabilitas, transparasi dan ligitimasi sosial. Ketika menetapkan satu ke­bijakan anggaran misalnya, dalam batasan tertentu legislatif bisa saja telah memenuhi mekanisme yang ada, secara aturan telah memiliki akuntabilitas. Ada ketentuan bahwa setiap anggota dapat melakukan kunjungan kerja, ada aturan yang mem­benarkan dewan untuk mem­dapatkan fasilitas seperti laptop, kendaraan dan sebagainya. Tapi belum tentu peluang tersebut memenuhi akuntabilitas, trans­paransi dan ligitimasi sosial.

"Saya khawatir kondisi ek­strim ini akan berimpilkasi pada sikap politik masyarakat. Masya­rakat menjadi apatis po­li­tik ,"katanya.

Di tengah masyarakat, mun­cul anggapan bahwa Pemilu tidak akan mengubah keadaan, ujung­nya muncul frustasi politik. Kondisi ini setidaknya dalam batas tertentu sudah mulai di­rasakan. Tingkat partisipasi pemilih dalam setiap Pemilu baik di legislatif maupun eksekutif cenderung mengalami penurunan. Bahkan di sejumlah kota yang notabene wilayahnya kecil, pen­duduknya tersentuh informasi angka golpun bisa menyentuh angka 50% golput. (h/mat)