Friday 25 February 2011

SOAL MOBNAS ANGGOTA BK DAN BANLEG DPRD PADANG

PADANG, HALUAN—

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Negeri Padang, Eka Vidya Putra mempertanyakan kepekaan sosial anggota DPRD Padang, terutama mereka yang menganggarkan membeli dua mobil dinas mereka saat masyarakat Padang saat ini tengah dililit banyak persoalan.

Hal ini disampaikan Eka Vidya menjawab pertanyaan Haluan tentang sikap anggota DPRD Padang yang me­ngang­garkan dua mobil dinas untuk Anggota Badan Kehormatan(BK) dan Badan Legislatif(Banleg).

Disebutkan mantan Ketua Umum HMI Cabang Padang ini, hal ini jelas bertolak belakang dengan apa yang mereka sam­paikan saat berkampanye pada Pemilu lalu. Saat itu, masyarakat dikunjungi, dilayani, dengarkan, diikutsertakan, dan diberi janji. Dengan demikian, layaknya pasca Pemilu sudah selayaknya pula, warga mendapat perlakukan yang sama, seperti apa yang telah dijanjikan.

Namun, Realitasnya kondisi ini jauh berbeda. Usai Pemilu posisi masyarakat tiba-tiba terbalik, para wakil rakyat yang mendapatkan mandat merasa tidak perlu memberikan akun­tabilitas, transparansi dan legi­timasi sosialnya pada masya­rakat. Kondisi ini semakin sulit saat Kota Padang menjadi daerah "miskin" dengan defisit anggaran yang sangat besar. Hal, padahal sudah sering diberitakan media.

"Apa pesanya dari semua pemberitaan tersebut? tersirat dapat dikatakan “disini ada ketidakadilan, ketidakpedulian, dan ketidakpekaan para elite terhadap kondisi rill masyarakat,”. tegas Eka yang tengah me­nempuh pendidikan Doktor di Universitas Indonesia ini.

Memang, kata alumni Fakul­tas ISIP Unand ini, pe­ngadaan dua mobnas tersebut telah diang­garkan dalam APBD dan di­sahkan. Tapi, hal ini pulalah yang menjadi tempat wakil rakyat berlindung melalui tata aturan yang ada dan terkesan tanpa mempertimbangkan akuntabilitas, transparasi dan ligitimasi sosial. Ketika menetapkan satu ke­bijakan anggaran misalnya, dalam batasan tertentu legislatif bisa saja telah memenuhi mekanisme yang ada, secara aturan telah memiliki akuntabilitas. Ada ketentuan bahwa setiap anggota dapat melakukan kunjungan kerja, ada aturan yang mem­benarkan dewan untuk mem­dapatkan fasilitas seperti laptop, kendaraan dan sebagainya. Tapi belum tentu peluang tersebut memenuhi akuntabilitas, trans­paransi dan ligitimasi sosial.

"Saya khawatir kondisi ek­strim ini akan berimpilkasi pada sikap politik masyarakat. Masya­rakat menjadi apatis po­li­tik ,"katanya.

Di tengah masyarakat, mun­cul anggapan bahwa Pemilu tidak akan mengubah keadaan, ujung­nya muncul frustasi politik. Kondisi ini setidaknya dalam batas tertentu sudah mulai di­rasakan. Tingkat partisipasi pemilih dalam setiap Pemilu baik di legislatif maupun eksekutif cenderung mengalami penurunan. Bahkan di sejumlah kota yang notabene wilayahnya kecil, pen­duduknya tersentuh informasi angka golpun bisa menyentuh angka 50% golput. (h/mat)

No comments: