Tuesday 16 September 2008

PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU UPAYA REFORMASI BIROKRASI

Oleh Eka Vidya Putra

Pembenahan pelayanan birokrasi – yang selama ini cenderung dicitrakan jelek – terus menjadi wacana baik ditingkat publik maupun dilingkungan pemerintahan itu sendiri. Pada level publik misalnya muncul tuntutan yang sangat kuat agar pemerintah konsisten untuk melaksanakan reformasi birokrasi dengan memberikan pelayanan prima kepada publik. Sedangkan ditingkat pemerintahan sendiri, harus diakui pula bahwa secara legal formal pembenahan pelayanan publik terus mendapat perhatian khusus. Sejumlah kebijakan diterbitkan agar penyelenggaraan pelayanan prima segera terealiasi. Keinginan tersebut setidaknya sejalan dengan apa yang mengenjala di ranah praktis, hampir seluruh pejabat publik, menjadikan isu pelayanan prima sebagai icon kepemimpinan. Apa yang terjadi tersebut kemudian mendapat dukungan teoritis. Bahwa terus menguatnya isu reformasi birokrasi, tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah. Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah akan berdampak pada tiga perubahan yaitu;

(1) political equlaity, adalah suatu kondisi di mana terbukanya ruang bagi publik untuk relatif mudah mendapatakan akses ke ruang-ruang birokrasi. Keterbukan tersebut pada akhirnya menciptakan checks and balances;

(2) local accountability, berkaitan dengan transparansi dan mekanisme akuntabilitas terhadap apa yang telah dilakukan; dan

3) local responsibility, yakni adanya jaminan untuk memberikan pelayanan publik yang prima.


Bagaimana perubahan itu terjadi ?

Menjadi pertanyaan yang menarik untuk terus dicermati. Salah satu persoalan birokrasi publik yang sering mendapat sorotan dan dapat menjadi etalase pelayanan publik adalah pelayanan jasa perizinan. Kecenderungan umum yang terjadi adalah sulitnya memulai usaha formal di Indonesia. Walaupun, semua pihak menyadari bahwa dunia usaha, khususnya Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah salah satu pilar utama ekonomi bangsa. Bahkan ketangguhan UKM sebagai unit usaha yang melekat langsung dalam urat nadi perekonomian rakyat setidaknya sudah terbukti semasa krisis ekonomi 1998.

Permasalahan pengurusan izin usaha selama ini tidak dapat dilepaskan dari proses legalisasi ditingkat birorasi. Prosedur yang berbelit-belit, banyak dan tumpang tindihnya persyaratan, ketidak jelasan biaya, dan rata-rata waktu penyelesaian perizinan yang lama (dalam artian tidak adanya kepastian waktu), ditambah tidak tersedianya informasi yang cukup memadai merupakan kondisi pengurusan perizinan usaha di negeri ini. Maka wajar jika banyak pengusaha menjadi enggan untuk mengurus izin usaha. Berdasarkan data Badan Pusat Stratistik hanya 20% pengusaha yang memiliki surat izin usaha. Selanjutnya hasil penelitian Bank Dunia menunjukan, bahwa untuk memulai usaha di Indonesia rata-rata dibutuhkan 151 hari, melewati 12 prosedur, dan membutuhkan biaya sekitar 130,7% pendapatan perkapita. Data tersebut menunjukkan bagaimana potret pelayanan birokrasi di Indonesia yang masih jauh dari bentuk pelayanan efektif dan prima.

PPTSP
Berkaitan dengan pelayanan jasa perizinan ini, pemerintah melakukan terobosan yang patut dapat pujian yaitu dikeluarkannya Permendagri nomor 24 tentang Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP). Dalam Permendagri itu permerintahan kabupaten/ kota diwajibkan memiliki lembaga PPTSP. Tidak sebatas formalitas kelembagaan dalam artian institusi tapi juga lembaga dalam artian mekanisme dan nilai. Kebijakan nasional ini dapat dikategorikan sebagai loncatan kuantum dalam reformasi birokrasi khususnya dalam pelayanan jasa perizinan. Namun patut dicatat, baik berupa wacana maupun dalam penerapannya, konsep PPTSP sudah cukup lama berkembang dan diimplementasikan oleh Pemkab/Pemkot, bahkan jauh sebelum konsep PPTSP diluncurkan. Sekarang ini setidaknya tercatat 29 pemerintah kabupaten/kota yang sudah menerapkan penerbitan izin usaha melalui satu pintu. Beberapa PPTSP yang sering ditampilkan media antara lain: Kabupaten Jembrana (2000), Kababupaten Sragen (2002), Kota Yogyakarta (2005), dan Kababupaten Kebumen (2006). Daerah yang dinilai cepat merespon lahirnya PPTSP adalah Provinsi Jawa Barat. Terdaftar sedikitnya 4 Pemkab/Pemkot yang sudah mencoba menerapkan inisiatif PPTSP (diantaranya Kota Cimahi, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka & Kab. Purwakarta). Walau tergolong baru keempat daerah tersebut telah melakukan perubahan mendasar. Kota Cimahi contohnya, untuk mendukung kerja PPTSP, lembaga ini didukung dengan anggaran dan tidak dibebani dengan traget PAD. Sedangkan ditingkat lokal Sumatera Barat, berdasarkan data terakhir yang disampaikan Gubernur Sumatera Barat setelah terbitnya Permendagri No 24 tahun 2006 dari 19 kabupaten/ kota tercatat masih ada 11 daerah telah menerapkan konsep PPTSP. Jadi ada 8 kabupaten/ kota yang belum, salah satunya Kota Padang yang notabene berada di ibu kota provinsi dan jumlah pengurus izin usaha lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya.. Sedangkan dari 11 kabupaten/ kota yang telah membentuk PPTSP, tiga diantaranya telah digagas sebelum kabupaten/ kota yang disebut-sebut sebagai contoh sukses dalam pembenahan pelayanan perizinan usaha. Ketiga daerah kabupaten/ kota di Sumatera Barat tersebut adalah Kabupaten Solok (1995), Kota Solok (1997) dan Kabupaten Limapuluh Kota (1997).
Meskipun sebahagian besar kabupaten/ kota di Sumatera Barat telah membentuk lembaga PPTSP. Namun, tidak semua PPTS yang ada sudah menerapkan konsep terpadu. Sebahagian besar hanya berfungsi sebagai pusat informasi perijinan, atau sebagai loket penerimaan/pemrosesan awal permohonan. Dalam hal ini pemrosesan lebih lanjut masih harus dilakukan sendiri oleh pemohon ke SKPD pemberi ijin. Lebih maju dari itu, sejumlah lembaga PPTSP telah menjadikan PPTSP tidak hanya sebatas front office, tapi tetap saja belum menyentuh esensi yang diinginkan oleh PPTSP.
Kenapa PPTSP di Sumatera Barat tidak berkembang seperti yang terjadi di daerah lainnya ? Dari sejumlah evaluasi kelemahan utama adalah tidak tumbuhnya budaya organisasi yang mendukung pelaksanaan PPTSP. Karena konsep pengembangan PPTSP sangat jauh berbeda dengan budaya organisasi yang selama ini tumbuh dalam birokrasi kita.

Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organsasi lain. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu organisasi itu dengan memberikan arahan dan standar yang tepat tentang apa yang harus dilakukan oleh karyawan yang berada di dalam organisasi tersebut sekaligus juga memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Dewasa ini organisasi modern juga memasukkan unsur profesionalisme, efisiensi dan moderniti yang diterjemahkan kedalam nilai, norma perilaku dan pola kepribadian dari anggota organisasi itu sendiri.
Dasar-dasar budaya organisasi yang telah ada akan membimbing anggota organisasi untuk berperilaku dan bagaimana cara mereka dalam berintegrasi dengan konsumen, serta komitmen yang akan diberikan kepada organisasi. Tanpa budaya organisasi yang kuat, akan sulit bagi organisasi untuk mengaharapkan komimen yang tinggi dari karyawannya di dalam menunjang kinerja organisasi. Budaya organisasi yang telah terbentuk dengan baik dan mengakar pada keseluruhan pelaku organisasi akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi performance organisasi.


Pada konteks ini, budaya organisasi di PPTSP masih mengikuti budaya organisasi dalam birokrasi yang selama ini masih menganut paradigma dilayani, dan berorientasi “asal bapak senang” . Sedangkan budaya organisasi PPTSP seharusnya menganut paradigma melayani dan berorientasi kepuasan pengguna jasa. Kondisi tersebut setidaknya tergambar dari pengembangan PPTSP yang masih sebatas usaha pembentukan lembaga dan sangat minim memperhatikan terbentuknya dan tumbuhnya budaya baru. Berkaca dari pengembangan budaya organisasi yang biasanya dipakai oleh sebuah perusahaan, ada satu profil konfigurasi budaya yang cenderung terabaikan yaitu highly integrative cultur. Budaya highly integrative memberikan perhatian yang besar terhadap pengembangan karyawan, yang memfasilitasi internal integration, berorientasi kepada kepuasan konsumen, kepekaan sosial dan inovasi. Disamping tipe budaya ini memberikan kenyamanan bagi karyawannya sehingga perusahaan juga bisa mendapatkan komitmen yang tinggi dari karyawannya dibandingkan dengan budaya hirarcy.

Pada konteks ini keberadaan PPTSP masih dipandang sebagai lahan yang tidak basah, tidak bisa mengembangkan karir dan tempat pembuangan staf yang tidak lagi produktif atau memiliki visi yang berbeda dengan pimpinan. Artinya, untuk keluar dari kondisi tersebut butuh ada perubahan pemahaman terhadap esensi kehadiran PPTS.
Selanjutnya untuk keluar dari jeratan tersebut, butuh satu penciptaan budaya organisasi baru dalam tubuh PPTSP. Tata cara, kebiasaan dan tradisi yang ada dalam satu organisasi saat ini tidak terbentuk dengan sendirinya, tapi sesuatu yang diciptakan kemudian dilembagakan menjadi satu nilai bersama. Pada sebuah perusahaan, proses penciptaan budaya organisasi dapat terjadi melalui tiga cara, pertama mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang berfikir dan merasakan apa yang ditempuh oleh para pendirinya, kedua dengan mengindoktrinasi dan mensosialisasikan pemikiran para pendiri kepada karyawannya, dan ketiga perilaku pendiri bertindak sebagai model yang medorong karyawan untuk ikut menginternalisasi keyakinan dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam organisasi. Jika kita masukkan pada konteks PPTSP, perubahan bentuk organisasi dari bentuk privat ke public menyebabkan terjadi perubahan type kepemimpinan dari otocracy ke bentuk yang lebih demokratis, hal ini akan menyebabkan pula terjadinya perubahan dalam type kepemimpinan yang lebih demokratis. Maka pihak yang sa
ngat berkompeten dalam menciptakan budaya organisasi adalah pemegang inti dari kebijakan (baca: kepala daerah).***