Saturday 15 August 2009

Friday 14 August 2009

Refleksi Empat Tahun Kepemimpinan GAMMA

Kuncinya, Tuntaskan Reformasi Birokrasi


Kamis, 13 Agustus 2009 , 10:03:00

Empat tahun silam, gegap gempita program good governance and clean government (tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih) menjadi fokus pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman (GAMMA) memimpin Sumbar. Namun kini, jargon itu tidak selantang awal kepemimpinan GAMMA dulu. Sejauh mana pelaksanaan program itu di kabupaten/kota? Komitmen pasangan GAMMA menerapkan prinsip efisiensi, transparansi dan akuntabilitas public pada 100 hari kepemimpinannya, patut diacungi jempol. Bahkan, visi itu dikonkretkan dengan penandatanganan Pakta Integritas bersama Partnership for Governance Reform in Indonesia, bersamaan dengan peresmian Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Sumbar, Pakta Integritas dijabarkan berupa sistem pelayanan satu pintu (one stop service), guna menciptakan iklim investasi yang kondusif. Sistem ISO 9001:2008 dalam pelayanan pajak kendaraan bermotor di Kantor Samsat. Sistem tender elektronik pengadaan barang dan jasa. Dan baru-baru ini, pengandangan mobil dinas pejabat. Walau wacana itu telah bergulir di awal kepemimpinan GAMMA, namun baru terealisasi memasuki tahun keempat.

Dalam pelaksanaan rekrutmen pejabat, GAMMA membuat terobosan melalui fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan dan tes psikologis. Ini bertujuan agar mendapatkan pejabat pilihan se-Sumbar. Terobosan itu bukan tanpa kritikan. Nada-nada sumbang jamak tersiar di tengah masyarakat terhadap implementasi program itu. Reformasi birokrasi di lingkungan Pemprov Sumbar terasa berjalan lamban. Apalagi, di pemerintahan kabupaten/kota. Faktanya di lapangan, praktik percaloan, pungli dan birokrasi berbelit, masih saja ditemukan di sejumlah pelayanan publik. Itu terjadi di semua level, baik instansi vertikal, provinsi hingga kabupaten/kota.

Sebut saja pungli di jembatan timbang oto (JTO), percaloan pajak kendaraan bermotor, Kantor Imigrasi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pelayanan publik lainnya.Ketua Kadin Sumbar Asnawi Bahar menilai, kunci kesuksesan pembangunan terletak pada integritas dan kapasitas sang eksekutor alias birokrasi. Reformasi birokrasi adalah simpul kemajuan ekonomi dalam mendorong dunia usaha, dan peningkatan pelayanan publik. Dari perspektif dunia usaha misalnya. Hingga kini, Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi menyebut baru sekitar 7 kabupaten/kota yang telah membentuk kantor pelayanan terpadu, sesuai amanat peraturan menteri keuangan. Padahal, tenggat waktu pembentukannya telah berakhir Januari 2009 lalu.

Alhasil, jangan heran bila satu daerah dengan daerah lain di Sumbar, berbeda pelayanan perizinan usahanya. Baik dari segi biaya, lama pengurusan, kepastian hukum, dan kemudahan lainnya. “Kami dari Kadin mengalami perlakuan itu di kabupaten/kota. Jujur, masih banyak kebijakan kabupaten/kota belum proinvestasi. Memang one stop service juga, tapi satu meja berhenti, di meja lain berhenti lagi,” sindir Asnawi yang juga ketua Asita Sumbar. Paralel dengan itu, pelayanan publik juga demikian. Warisan Orde Baru masih kuat mencengkeram mental dan pola kerja aparatur daerah, dari dilayani, menjadi melayani. Ini tercermin dari kecilnya anggaran publik ketimbang anggaran aparatur dalam APBD kabupaten/kota se-Sumbar.

Dari hasil survei Syafii Ma’arif Institute baru-baru ini, terungkap bahwa kebijakan pemkab/pemko belum prorakyat, propoor (kemiskinan) dan pro-usaha, sebagaimana menjadi RPJM nasional 2004-2009. Terkait penegakan hokum, peraih Bung Hatta Award Antikorupsi, menyerahkan sepenuhnya pada aparatur hukum menindak anak buahnya yang terlibat korupsi.

Masih Banyak PR

Meski duet GAMMA sudah berbuat, namun Peneliti Senior the Habibie Center Andrianof Chaniago mengatakan, duet kepemimpinan ini masih perlu bekerja lebih keras lagi. Ia melihat, sejauh ini terobosan yang dilakukan belumlah maksimal. Percepatan yang dilakukan, boleh dibilang kurang bergerak maju.
Kendati tahun lalu pertumbuhan ekonomi (PE) Sumbar bisa melewati 6 persen, Andrianof menilai prestasi itu masih lumayan. Pasalnya, imbas positif terhadap PE itu belum sepenuhnya terasa di masyarakat elite bawah. Penilaiannya bisa dilihat dari angka pengangguran, kemiskinan, kualitas pelayanan kesehatan, atau kesejahteraan masyarakat.

“Pertumbuhan yang terjadi belum berkualitas. Sebab, belum sepenuhnya memberikan pengaruh langsung terhadap masyarakat. Selain itu, peningkatan itu belum memberikan imbas pada peningkatan sektor lain. Begitu juga kesempatan orang bekerja,” Kata rang Padang ini. Penilaian tak jauh beda juga diungkapkan pengamat kebijakan publik Eka Vidya. Ia malah berharap duet kepemimpinan ini (terutama Gamawan) bisa membuat terobosan yang pernah dibuat selama di Kabupaten Solok. Kendati kewenangannya terbatas, seharusnya tetap ada terobosan yang fenomenal.

“Kita bisa berkaca pada keberhasilan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ia bisa berbuat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Malahan itu bisa mengangkat keberadaan provinsi yang sebelumnya belum dikenal. Sekarang, siapa yang tidak tahu provinsi tersebut,” kata peneliti muda ini.

Namun begitu, baik Andrinof maupun Eka Vidya, memuji GAMMA dalam membuat fondasi hubungan harmonis antara gubernur dengan bupati/wali kota se-Sumbar dengan melaksanakan rapat koordinasi sekali dua bulan. Kendati pertemuan itu belum memberikan jaminan, apakah setiap kesepakatan itu terlaksana atau tidak.
Gamawan sendiri memahami persoalan itu. Semua itu menurutnya tak lepas kian terbatasnya kewenangan kewenangan gubernur dalam menjalankan roda pemerintahan. Pa­salnya, otonomi daerah, kewenangan gubernur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 ten­tang Pemda sangat terbatas. Kewenangan eksekusi kebijakan ter­kait kepentingan masyarakat, mayoritas berada di kabupaten dan kota. (***)

Thursday 13 August 2009

Liberalisasi Vs Kerakyatan:

Tetesan Keringat Terakhir Petani

Amburadulnya pengelolaan sumber daya energi, hanyalah salah satu bukti
kegagalan negara merealisasikan cita-cita para pendiri bangsa. Semuanya
dikuras demi kepentingan pasar, bukan lagi kepentingan hajat hidup orang
banyak. Kegagalan serupa juga terjadi di sektor pertanian.

Saling klaim elite pemimpin bangsa ini terhadap keberhasilan mewujudkan
swasembada pangan, tak berbanding lurus dengan nasib petani di negeri
agraris ini. Alih-alih memenuhi kebutuhan petani, yang terjadi selama ini
justru kaum petani ”dipaksa” menyubsidi kebutuhan kaum borjuis di
perkotaan.

Setelah pemerintah dinilai gagal mengelola sumber daya migas dan energi,
kini satu-satunya harapan berada di sektor pertanian. Indonesia saat ini
tercatat sebagai negara pengekspor terbesar komoditas unggulan pertanian.
Sayangnya, ekspor tersebut masih dalam bentuk primer, dengan nilai ekonomi
rendah.

Sebut saja Sumbar, adalah penghasil gambir terbesar dan berkualitas tinggi
di dunia. Begitu juga sawit berupa minyak mentah sawit (CPO), cokelat dan
karet, adalah komoditas unggulan daerah ini. Namun begitu, negeri ini tak
berdaya menentukan harga karena kuatnya sistem kartel di sektor ini.
Perlahan tapi pasti, korporasi dunia mulai membidik pertanian Indonesia,
yang juga kaya komoditas nonmigas. Seolah memutar arah jarum jam,
Indonesia kembali dijajah ”VOC modern” karena tergoda merebut
rempah-rempah Bumi Pertiwi.

Kuatnya keberpihakan pemerintah terhadap pemodal, menurut Ketua Serikat
Petani Indonesia Wilayah Sumbar, Sukardi Bendang, terlihat dengan gagalnya
pemerintah menyediakan kebutuhan pokok petani. Pupuk urea bersubsidi, tata
laksana bibit, pestisida, dan lainnya, selalu langka karena memang telah
dikuasai perusahaan asing.

”Saat ini mencari bibit lokal saja, bukanlah perkara gampang. Bahkan, di
pasaran sudah mulai hilang. Tak terkecuali beras solok. Sekarang sudah
berganti dengan bibit hasil rekayasa genetika. Pola distribusinya juga
dipegang perusahaan transnasional,” kata Sukanda.

Petani tidak lagi menjadi tuan di lahan sendiri. Lahan produktif di
pedesaan perlahan tergusur pemilik modal untuk perkebunan sawit. Sementara
petani rakyat, harus gigit jari karena harga ditentukan
perusahaan-perusahaan besar.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Padang, Eka Vidya Putra
menilai, pembangunan pertanian di tanah Air, termasuk Sumbar, tidak
menyentuh akar persoalan. Seperti program reforma agraria, hingga kini
hanya retorika. Apalagi rekayasa genetika dan teknologi pengolahan hasil
pertanian, belum terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Persoalan distribusi pupuk, juga persoalan lain yang belum terselesaikan
sampai sekarang. ”Bagaimana petani bisa mengolah lahannya, kalau kebutuhan
dasar untuk berproduksi tak ada. Jadi, apakah masih bisa kita berharap
banyak kepada pemerintah, kalau mengelola distribusi pupuk saja tak bisa,”
kritik Sukanda.

Daripada memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri, pemerintah lebih tertarik
menjual gas ke luar negeri. Akibatnya, petani merana kekurangan pupuk,
menanti tetesan keringat terakhir.

”Kita memiliki gas melimpah, tapi hanya untuk mensuplai kebutuhan dalam
negeri tidak bisa. Padahal, di sisi lain, gas hasil bumi pertiwi ini
digelontorkan ke luar negeri dengan harga tak berimbang. Nggak salah,
produsen pupuk atau pun PLN sendiri tak bisa berbuat banyak,” kata Ketua
Umum Federasi Serikat Pekerja Perusahaan Strategis Nasional, Ahmad
Daryoko. Jika negara saja tidak mampu menguasai bumi, air dan segala
kandungannya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, apalagi jika
dikelola perusahaan asing. Saatnya jadikan neoliberal musuh bersama.

CV