Thursday 13 August 2009

Liberalisasi Vs Kerakyatan:

Tetesan Keringat Terakhir Petani

Amburadulnya pengelolaan sumber daya energi, hanyalah salah satu bukti
kegagalan negara merealisasikan cita-cita para pendiri bangsa. Semuanya
dikuras demi kepentingan pasar, bukan lagi kepentingan hajat hidup orang
banyak. Kegagalan serupa juga terjadi di sektor pertanian.

Saling klaim elite pemimpin bangsa ini terhadap keberhasilan mewujudkan
swasembada pangan, tak berbanding lurus dengan nasib petani di negeri
agraris ini. Alih-alih memenuhi kebutuhan petani, yang terjadi selama ini
justru kaum petani ”dipaksa” menyubsidi kebutuhan kaum borjuis di
perkotaan.

Setelah pemerintah dinilai gagal mengelola sumber daya migas dan energi,
kini satu-satunya harapan berada di sektor pertanian. Indonesia saat ini
tercatat sebagai negara pengekspor terbesar komoditas unggulan pertanian.
Sayangnya, ekspor tersebut masih dalam bentuk primer, dengan nilai ekonomi
rendah.

Sebut saja Sumbar, adalah penghasil gambir terbesar dan berkualitas tinggi
di dunia. Begitu juga sawit berupa minyak mentah sawit (CPO), cokelat dan
karet, adalah komoditas unggulan daerah ini. Namun begitu, negeri ini tak
berdaya menentukan harga karena kuatnya sistem kartel di sektor ini.
Perlahan tapi pasti, korporasi dunia mulai membidik pertanian Indonesia,
yang juga kaya komoditas nonmigas. Seolah memutar arah jarum jam,
Indonesia kembali dijajah ”VOC modern” karena tergoda merebut
rempah-rempah Bumi Pertiwi.

Kuatnya keberpihakan pemerintah terhadap pemodal, menurut Ketua Serikat
Petani Indonesia Wilayah Sumbar, Sukardi Bendang, terlihat dengan gagalnya
pemerintah menyediakan kebutuhan pokok petani. Pupuk urea bersubsidi, tata
laksana bibit, pestisida, dan lainnya, selalu langka karena memang telah
dikuasai perusahaan asing.

”Saat ini mencari bibit lokal saja, bukanlah perkara gampang. Bahkan, di
pasaran sudah mulai hilang. Tak terkecuali beras solok. Sekarang sudah
berganti dengan bibit hasil rekayasa genetika. Pola distribusinya juga
dipegang perusahaan transnasional,” kata Sukanda.

Petani tidak lagi menjadi tuan di lahan sendiri. Lahan produktif di
pedesaan perlahan tergusur pemilik modal untuk perkebunan sawit. Sementara
petani rakyat, harus gigit jari karena harga ditentukan
perusahaan-perusahaan besar.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Padang, Eka Vidya Putra
menilai, pembangunan pertanian di tanah Air, termasuk Sumbar, tidak
menyentuh akar persoalan. Seperti program reforma agraria, hingga kini
hanya retorika. Apalagi rekayasa genetika dan teknologi pengolahan hasil
pertanian, belum terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Persoalan distribusi pupuk, juga persoalan lain yang belum terselesaikan
sampai sekarang. ”Bagaimana petani bisa mengolah lahannya, kalau kebutuhan
dasar untuk berproduksi tak ada. Jadi, apakah masih bisa kita berharap
banyak kepada pemerintah, kalau mengelola distribusi pupuk saja tak bisa,”
kritik Sukanda.

Daripada memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri, pemerintah lebih tertarik
menjual gas ke luar negeri. Akibatnya, petani merana kekurangan pupuk,
menanti tetesan keringat terakhir.

”Kita memiliki gas melimpah, tapi hanya untuk mensuplai kebutuhan dalam
negeri tidak bisa. Padahal, di sisi lain, gas hasil bumi pertiwi ini
digelontorkan ke luar negeri dengan harga tak berimbang. Nggak salah,
produsen pupuk atau pun PLN sendiri tak bisa berbuat banyak,” kata Ketua
Umum Federasi Serikat Pekerja Perusahaan Strategis Nasional, Ahmad
Daryoko. Jika negara saja tidak mampu menguasai bumi, air dan segala
kandungannya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, apalagi jika
dikelola perusahaan asing. Saatnya jadikan neoliberal musuh bersama.

No comments: