Thursday 15 January 2009

Tantangan Pemilu 2009

Oleh Eka Vidya Putra

ImageMeskipun masyarakat kita telah terbiasa mengikuti Pemilu dan penyelenggara pun telah berpengalaman, bukan berarti tantangan Pemilu 2009 akan jauh lebih ringan. Kondisi bisa jadi sebaliknya, Pemilu 2009 akan jauh lebih berat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Prediksi ini bisa jadi tidak berlebihan, apalagi jika kita melihat realitas sosial politik masyarakat sampai di penghujung tahun 2008 ini.



Sejak Pemilu legislatif 2004 sampai penghujung 2008 kondisi politik lokal tidak pernah sepi dari hiruk pikuk pemilu. Sepanjang tahun 2005 ada 14 kali Pilkada, dengan komposisi satu di tingkat propinsi (gubernur dan wakil gubernur), dua di kota (walikota dan wakil walikota) dan 11 kali di tingkat kabupaten (bupati dan wakil bupati). Tahun 2006 dan 2007, masing-masingnya ada satu Pilkada. Satu di tingkat kabupaten dan satu di tingkat kota. Tahun 2008 jumlahnya kembali meningkat, tercatat ada empat Pilkada dan semuanya diselenggarakan pada daerah perkotaan, termasuk Kota Padang sebagai penutup. Tidak hanya itu, suhu politik 2008 diperpanas lagi dengan kesiapan sejumlah partai politik dan calon DPD dalam menghadapi Pemilu 2009. Kondisi ini akan bertolak belakang dengan terus menguatnya tuntutan masyarakat untuk segera menuntaskan krisis ekonomi. Lebih dari sepuluh tahun hiruk pikuk politik ditingkahi dengan jerit tangis kemiskinan.



Tantangan Pemilu
Menyikapi kondisi tersebut, maka tantangan pelaksanaan Pemilu 2009 sepertinya jauh lebih berat. Salah satunya dari segi penyelenggara. Walaupun KPU merasa sudah bekerja optimal, tapi di setiap penyelenggaraan pemilu masalah sosialisasi selalu menjadi sorotan. Banyak faktor yang menyebabkan lemahnya sosialisasi ke masyarakat, diantaranya berkaitan dengan kondisi keruangan. Luasnya wilayah, apa lagi untuk daerah kabupaten akan berdampak pada daya jelajah penyelenggara atau peserta pemilu dalam melakukan sosialisasi. Kondisi serupa akan tergambar juga dari komposisi masyarakat yang heterogen dilihat dari tingkat pendidikan, ekonomi dan budaya. Ketiga kategori tersebut berdampak langsung pada kecepatan dan kepekaan pemilih dalam mengakses sumber-sumber informasi. Padahal informasi merupakan kunci utama dari efektifitas sebuah sosialisasi.


Hal lain yang perlu dikritisi adalah media dan cara sosialisasi yang masih miskin inovasi. Sosialisasi masih mengandalkan media berbentuk spanduk, stiker, atau iklan-iklan lewat media massa. Masalah selanjutnya adalah banyak masyarakat yang tidak daftar sebagai pemilih. Meski data kependudukan maupun data pemilih setiap tahun mengalami pembaharuan, namun masalah data pemilih masih menjadi titik lemah dari penyelenggaraan Pemilu. Terakhir kondisi serupa dapat dilihat dalam Pilkada Kota Padang. Tak jarang kelemahan dari akurasi pendataan pemilih ini menjadi ruang bagi kandidat atau partai yang kalah untuk menggugat hasil akhir dari Pemilu. Jika kondisi tersebut terus berlanjut tidak akan menguntungkan bagi pelembagaan demokratisasi.


Pada tingkat internal, konflik antara anggota KPU dengan staf kesektariatan KPU menjadi gejala umum yang kerap terjadi. Secara langsung maupun tidak langsung konflik internal di KPU akan mengganggu kinerja penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, kualitas dari penyelenggara Pemilu itu sendiri. Berdasarkan catatan, komposisi anggota KPU kabupaten dan kota jika dibandingkan antara yang lama dengan yang baru, jumlah anggota yang baru lebih banyak dibandingkan dengan yang lama. Kondisi tersebut berbeda dengan anggota KPU Sumbar yang rata-rata anggotanya merupakan wajah lama. Dominasi wajah baru dalam komposisi KPU kabupaten dan kota dapat dilihat sebagai kekuatan dan sekaligus kelemahan.


Selanjutnya, tingkat partisipasi politik masyarakat. Angka rata-rata kehadiran pemilih dalam Pilkada mencapai 27%. Namun, ada sejumlah wilayah yang angka keterlibatan pemilihnya mendekati 50%. Dalam Pilkada di Kota Bukittinggi dan Kota Padang yang menggunakan hak pilih hanya 52% dan 57%. Itu belum kita masukan pemilih yang tidak terdata. Secara nasional, hampir di seluruh penyelenggaraan Pilkada suara yang tidak menggunakan hak pilih masih lebih tinggi dibandingkan dengan pemenang Pilkada itu sendiri. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya.


Pertama, rendah dan tidak efektifnya sosialisasi, pendidikan politik dan komunikasi politik pada masyarakat. Masyarakat kita belum berhasil menjelaskan dengan baik kenapa harus ikut berpartisipasi dalam Pemilu, apa makna satu suara menentukan perjalanan bangsa apa hubungan antara Pemilu dengan aktivitas keseharian yang mereka jalani dan seterusnya. Kondisi semakin diperburuk dengan fakta bahwa masyarakat lebih dominan hanya diberikan pendidikan pemilihan, tapi sangat minim mendapatkan pendidikan politik. Disini dapat dilihat orientasi partai politik atau institusi lainnya hanya “berniat” untuk membangun kesadaran atau lebih radikal lagi untuk memobilisasi orang untuk memilih. Artinya, Pemilu kehilangan makna subtantifnya. Kondisi ini kemudian melahirkan sikap apatis atau masa bodoh dari masyarakat.


Frustasi politik juga menjadi salah satu penyebabnya. Biasanya muncul dari kelompok-kelompok pemilih rasional. Perguruan Tinggi merupakan kelompok masyarakat yang cukup besar tidak menggunakan hak pilih. Kelompok ini belakangan terus meluas. Gejala tersebut meluas dengan munculnya sikap politik masyarakat yang semakin tidak percaya pada partai politik, pemilu atau Pilkada. Mereka beranggapan politik merupakan aktivitas kotor yang penuh dengan tipu muslihat, suka menanam tebu di bibir, suka baladang di punggung orang. Sikap seperti ini dapat disebut dengan sikap sinis.


Pesta demokrasi kita juga masih rentan dengan konflik horizontal dan vertikal. Konflik dapat terjadi di awal, tengah atau akhir penyelenggaraan proses Pemilu. Realitas politik kita masih sangat jauh dari sikap kedewasaan. Sikap “siap kalah dan siap menang" baru sebatas komitmen di atas kertas. Setidaknya ada dua kondisi yang paling berpengaruh, yaitu masalah rekayasa politik dari elite dan masalah keotentikkan. Pandangan para elit (di semua ranah kehidupan) masih menilai masyarakat kita sebagai kelompok tradisional. Ironisnya, kondisi tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek, yang seharusnya mesti bertanggungjawab untuk melakukan pencerdasan politik. Akhirnya, jika tidak hati-hati menyikapi situasi yang berkembang maka kita semua harus bersiap-siap untuk mendengar lonceng kematian bagi proses demokrasi yang sedang berjalan.


Penulis Dosen Sosiologi Politik Universitas Negeri Padang