Sunday 23 November 2008

Politisi Impor dan Oligarki Partai

Sabtu, 22 November 2008

Oleh : Muhammad Taufik Pengajar di IAIN Imam Bonjol dan Eka Vidya Putra, UNP ( Peneliti Revolt Institute)

Beberapa minggu yang lalu media masa mendadah keterkaitan petinggi-petinggi partai yang menempatkan keluarga mereka dalam daftar urut utama caleg partai. Praktik KKN di tubuh partai ini menambah daftar kekecewaan masyarakat terhadap partai. Di samping itu hal ini muncu juga sebagai respon sebagai bentuk kekecewaan kader partai yang sudah lama mengabdi dikalahkan oleh keberadaan keluarga petinggi partai. Tapi ada satu hal yang teralfakan banyak orang bahwa problem partai tidak hanya berada pada konteks itu saja, tapi persoalan lain adalah keberadaan caleg di daerah yang secara “paksa” ditempatkan oleh DPP masing-masing partai.


Hal ini mengindikasikan betapa besarnya kekuasaan DPP atas pengurus partai di tingkat daerah. Dan ini adalah kekalahan pegurus partai di tingkat lokal. Meski sudah dibahas dalam media ini, tapi sepertinya belum mendapat tempat yang luas. Persoalan ini diketengahkan sebagai bagian dari pemahaman bersama bagaimana parta (DPP) mempraktikkan kekuasannya sampai pada tingakat lokal.



Senyatanya persoalan otonomisasi bukan hanya terletak pada relasi pusat dan daerah dalam konteks penyelenggara negara (pemerintah). Sebagai wujud dalam pengejewantahan demokratisasi, partai selayaknya mempraktikkan prinsip-prinsip otonomisasi dalam membangun kepartaian. Tapi dari data yang beredar memunculkan persoalan baru dengan mengapungnya kader partai yang secara geneologis dan kultural tidak memiliki keterkaitan dengan daerah yang diwakili dan bahkan sama sekali tidak pernah melakukan pergumulan dan perkelindanan dengan realitas kehidupan yang diwakili.



Persoalannya, bagaimana pemahaman ini bisa dirasionalisasikan apalagi ini dikaitkan dengan semangat reformasi, kebangkitan dan perubahan yang diusung oleh partai. Ternyata praktik kekuasaan partai di tingkat pusat mengalahkan nalar semangat kebangkitan dan otonomisasi partai. Praktik ini bisa dilihat Sumatera Barat, beberapa calon legislatif yang diusung oleh partai menggambarkan keironian partai di tingkat lokal itu sendiri; ironi ketakberdayaan, ironi kekalahan, ironi ketaklukan.



Oleh sebab itu bagaimana massa-rakyat meyakini partai di tingkat lokal mampu melakukan bargaining lebih besar sementara dalam konteks kepartaian mereka sendiri mengusung sentralisasi partai. Ini sangat kontraproduktif dengan semangat otonomisasi. Otonomisasi mengandalkan kedaudalatan partai di tingkat lokal untuk menata, mengatur dan mengendalikan partainya dengan tetap berprinsip menunjung tinggi semangat menggali potensi di aras lokal.



Ternyata, alih-alih melakukan otonomisasi partai tingkat lokal, malahan partai bergairah mengimpor orang-orang dari Pusat dan menjadikan mereka representasi masyarakat Sumatera Barat. Padahal mereka tidak pernah mendalami getaran-getaran nadi masyarakat Sumatera Barat.



Inilah praktik pembodohan yang dilakoni oleh partai. Sebagai salah satu bentuk harga diri masyarakat Sumatera Barat, ternyata partai mempraktikkan ketelanjangan; ketelanjangan bahwa partai-partai di Sumatera Barat tidak memiliki mantagi dan sekali lagi takluk dengan kekuasaan DPP. Akibatnya kader-kader baik partai di Sumatera Barat menumpuk dan akhirnya memunculkan sekat-sekat konflik sesama mereka. Inilah oligarki partai yang selama ini ditentang oleh komunitas perubahan.



Kenapa kehadiran politisi-politisi ‘impor’ menjadi persoalan? Politisi impor adalah bentuk dan sosok politisi yang merepresentasikan diri sebagai suatu komunitas politik, padahal ia tidak tidak memiliki referensi jelas terhadap komunitas yang diwakilinya. Politisi ini lahir beradasarkan tirani partai ditingkat pusat yang merekayasa dan memaksa partai di tingkat lokal untuk menerima dan sementara partai di tingkat lokal tidak memiliki kuasa untuk menolak.



Kehadiran politisi impor ini memiliki problem tersendiri baik dalam konteks kehidupan politik lokal dan masyarakat sendiri. Karena politisi bagaikan penerus ‘sabda’ masyarakat yang terserak diaras lokalitas dan menjadikanya ‘sabda’ kolektif dalam menentukan keputusan-keputusan bangsa terhadap masyarakat itu sendiri. Senyatanya ini bukan pemahaman yang sempit terhadap demokrasi yang mengusung semua pihak memiliki hak yang sama dalam berpolitik, tapi persoalan terletak sejauhmana politisi itu memahami situasi asali masyarakat dan sejauhmana ia hidup dengan hal itu.



Itu bukan saja dalam makna bahwa sang politisi berasal dari Sumatera Barat, tapi ini berkaitan dengan keterkaitan diri dengan realitas dan bagaimana ia berproses lama dengan realitas (baca; Sumatera Barat). Ini mengandung tafsiran meski secara geneologis bukan berasal dari suku Minangkabau, tetapi ia hidup dan berproses dengan masyarakat, maka ia bukanlah kategori ini.



Kenapa ini menjadi arsiran, dikarenakan bahwa persona representasi mengindikasikan akan kehadiran persona tersebut dalam realitas interaksi keseharian, bukan tiba-tiba datang di Sumbar berbicara banyak hal di media koran atau televisi, yang kadang-kadang mendikte seolah-olah banyak orang bodoh di Sumatera barat, dan kemudian kembali ke Jakarta dengan meninggalkan iklan dan baliho dengan dibumbui segala pendapat yang kadang tidak menyambung dengan kontek keSumatera Baratan/keminangkabauan.



Ini pertunjukan kelucuan yang diperankan di pentas masyarakat Sumatera Barat yang dikenal cerdik dan pintar. Aksi politisi semacam ini merupakan drama yang dirancang untuk mempengaruhi masyarakat bahwa Jakarta itu hebat, segalanya dan lebih cerdas dibandingkan dengan politisi lokal. Dalam konteks ini ternyata partai mengukuhkan kembali praktik sentralisasi dan ini adalah kegagalan reformasi civil.



Persoalan ini sewajarnya harus dikritisi oleh masyarakat, akademisi, kaum muda yang menyatakan diri sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Sumtera Barat. Ini bukanlah kesempitan dalam berpikir atau, kalau ada yang berpendapat, sukuisme, daerahisme dan lain-lain yang berlebihan, tapi ini adalah kekhawatiran dan kegamangan akan terulangnya kembali peristiwa-peristiwa ini sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh parta-partai dalam pemilu sebelumnya.



Karenanya, persoalan ini harus segara diinsyafi ketika kurs politisi di mata masyarakat terus merosot. Demokrasi yang diandaikan mengembangkan kedaulatan, keikutsertaan dan kedaulatan rakyat justru melahirkan ketidakpercayaan dan keputusasaan masyarakat. Artinya, demokrasi menjadi pepesan konsong jika tidak disertai dengan kecermatan dalam menetapakan pilihan politik, memilih politisi (caleg) yang mengusung semangat kerakyatan dengan semangat lokalitas sesuai dengan sistem yang dianut.



Terakhir, apa lagi yang bisa diharapkan dengan bangsa yang jamak politisinya mengobral janji yang kadang hanya sebagai alat hipnotitasi masa-rakyat agar mengantarkan sang politisi ke singgasana. Bangsa ini (baca: Sumatera Barat) acapkali disibukan oleh dagelan-dagelan politisi yang tidak mengakar. Seolah bangsa ini tempat pertarungan para dagelan yang membuat cerita dan skenario sesuai dengan alur motif-motif individual.



Bangsa ini disibukkan dengan ritualisai demokrasi yang kadang menganggu kehidupan tenang mereka. Masyarakat tetap menjadi objek eksploitasi politik dengan beraneka permainan dan kesadaran palsu politisi. Mereka diajak (dipaksa?) untuk ikut bagian dari setiap peristiwan dan karnaval yang kadang-kadang menyuguhkan dagelan-dagelan dan arak-arakan politik. Mata mereka dipusingkan dengan kepadatan visual-visual, gambar, umbul-umbul, iklan, bendera baik di media, di dinding toko atau di sepanjang jalan. Mereka digiring dalam batas-batas kewarasannya untuk memilih dan mengikuti irama pertarungan yang warna-warni.



Barangkali tidak salah, mengutip Baudrillard, masyarakat dipenjara dalam bentuk keheningan dan kediaman (silent majority). Mereka acapkali diposisikan sebagai bagian dari sasaran tanpa sepantasnya mereka merespon secara sadar dan kritis atas apa yang mereka mamah dari ide-ide yang kadang kala tidak mereka mengerti.



Kita berharap dan sudah banyak bukti bahwa masyarakat sudah mulai cerdas dan tidak mudah tertipu dengan pencitraa kandidat yang kadang tidak rasional. Masyarakat sudah mulai faham dengan pengelaman pemilu legislatif, pilkada sebelumnya, bagaimana cara “memanfaatkan”, “cara mengkounter tipuan” atau menemukan formula/serum sebagai penawar atau anti toksin dari virus para kandidat.



Kalau pilkada sebelumnya masyarakat merasa ditipu oleh kandidat atau team sukses, maka sekarang saatnya bagi mereka negoisasi secara langsung. Atmosfer Politik uang atau perilaku politisi sebelumnya bagi masyarakat hari ini adalah senjata untuk menekan para kandidat. Ini kultur masyarakat yang disering ditipu yang akan selalu mencari kounter sebagai tipuan-tipuan ala mereka. Berdasarkan pengalaman mereka datang bukan datang lagi dengan kekosangan, tapi mereka datang dengan taktik sendiri yang didiamkan dalam akal pikiran mereka. Wallahu’alam bishawab. (***)

No comments: