Thursday 10 July 2008

Rekrutmen Politik dan Partai Politik

Dapat dipastikan tahun 2008, menjadi hari-hari sibuk bagi partai politik. Selain masih tersisanya sejumlah agenda pemilihan kepala daerah (PILKADA) di sejumlah daerah tingkat II, juga semakin dekatnya waktu penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif. Berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilu, – yang jika tidak ada aral melintang akan diselenggarakan ada tahun 2009 – merupakan momentum penting bagi partai politik menunukkan eksisitensinya ditengah-tengah masyarakat yang terus berubah. Jauh lebih penting dari itu, Pemilu 2009 juga memiliki arti strategis sekaligus krusial. Strategis dalam artian, jika Pemilu dapat dilaksanakan dengan baik dalam kualitas demokrasi yang memadai, maka jalan menunju demokrasi akan semakin mulus. Namun, jika Pemilu 2009 tidak menunjukan kualitas yang memadai, maka demokrasi kita sedang memasuki titik krusial. Menurut para transisiolog, Pemilu ketiga setelah tumbangnya rezim otoriter merupakan saat yang tepat untuk mengukur apakah nilai-nilai subtantif demokrasi telah masuk pada tahap pelembagaan politik atau masih terus larut dalam eforia liberalisasi politik. Pada konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan Pemilu ke depan tidak hanya dinilai dari apakah telah dilaksanakan tepat waktu, jujur, adil dan partisipatif. Tapi jauh dari itu, Pemilu dilihat secara kualitas pada proses dan capaiannya. Kualitas proses adalah apakah Pemilu telah disadari oleh seluruh komponen bangsa sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Sedangkan pada kualitas capaian adalah apakah hasil dari Pemilu tersebut telah menggambarkan kehendak rasional masyarakat.

Maka tidak terlalu berlebihan jika urgensi perhelatan demokrasi ketiga di era reformasi merupakan pertaruhan besar, apakah keberangsungan transisi telah mengarah ke arah demokrasi atau justru telah ditelikung di tengah jalan. Untuk sampai ke sana, partai politik memainkan peran penting dan berada pada posisi yang sangat menentukan. Orientasi partai politik, tidak hanya sekedar menangkan Pemilu tapi juga bertanggungjawab dalam memuluskan jalannya proses transisi. Karena, Pemilu merupakan satu-satunya mekanisme untuk mencapai kata demokrasi (baca: kedaulatan rakyat), sedangkan partai politik adalah aktor utama dari rangkaian mekanisme tersebut.

Eksistensi Partai Politik dan Pemilu
Jika tidak hati-hati menyikapi situasi sepertinya lonceng kematian bagi partai politik tinggal menunggu waktu. Sejumlah argumentasi dapat menjadi bukti untuk mendukung pernyataan di atas. (1) Meskipun katanya multipartai tapi partai politik kita tidak memiliki ketegasan ideologi. Perlu dicacat dan diberi penegasan, bahwa setelah dua kali pelaksanaan Pemilu dengan multipartai yaitu pada tahun 1999 dan 2004, peran partai politik masih belum jelas dan jauh dari gambaran idiologi yang multipartai. Sehingga sulit membedakan antara satu partai dengan partai lainnya kecuali dari simbol bendera atau warna. Terus berkembangnya wacana baru untuk memberikan pembantasan terhadap jumlah partai tidak dapat dilepaskan dari gejala ini; (2) Para tokoh dan elite parpol tidak mampu memberikan contoh panutan, sibuk dengan agenda-agenda politik jangkan pendek yang berorientasi untuk bagi-bagi kekuasaan. Kehadiran partai politik tidak lagi dimaknai sebagai bentuk kebebasan berserikat, berkumpul dan berpolitik rakyat yang beragam, tapi tidak lain hanya wujud kepentingan jangka pendek para elit politik yang haus kekuasaan. Kalaupun ada aspirasi yang mewakili kelompok masyarakat, itupun hanya mewakili kelompok kecil yang tidak cukup taktis dan signifikan jika disalurkan dengan harus melalui pendirikan satu partai. Satu kesimpulan yang tidak sepenuhnya betul, tapi juga tidak bisa disalahkan. Karenan dalam konteks prosedural dalam ranah demokrasi, sekecil apapun kepentingan warga akan mendapat jaminan, termasuk untuk mendirikan partai politik. Tapi lebih subtansi dari itu adalah sejauhmana kehadiran partai politik mewakili serta memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya; (3) Di tingkat institusi kepartaian ada fakta dari berbagai hasil penelitian yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang cukup sigifikan antara partai politik dan Pilkada. Dimana banyak calon yang didukung oleh partai politik besar justeru gagal ketika Pikada. Artinya kemenangan seorang calon dalam Pilkada lebih banyak disebabkan karena faktor popularitas personal dibandingkan dukungan partai politik. Walau gejala terakhir ini pada satu sisi menunjukan semakin matangnya dan rasional suara dari pemilih (baca: rakyat). Namun, pada sisi lain penelitian tersebut juga menunjukkan ada kecenderungan terjadinya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Kecenderungan terakhir ini, tentu tidak menguntungkan bagi keberlanjutan demokrasi padahal kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi merupakan perwujudan dari artikulasi dari aspirasi rakyat.

Berkaitan dengan sejumlah fakta di atas, Samuel Huntington, mendefinisikan ada empat dimensi dari institutionalisasi partai politik, yaitu: adaptibilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensi. Adaptibilitas, berkaitan dengan lamanya eksistensi kehidupan (longetivity) suatu partai termasuk kemampuan untuk mempertahankan generasi-generasi pertama pimpinan parpol dan juga memerlukan adaptasi fungsional misalnya terhadap kelompok yang diwakili atau dari oposisi terhadap pemerintah. Dimensi kedua, kompleksitas organisasional yang diukur dengan jumlah sub-unit dalam suatu partai. Dimensi ketiga, autonomi mengacu kepada tingkat diferensiasi dari pengelompokan-pengelompokan sosial lain dan metode-metode perilaku. Sedangkan dimensi keempat koherensi berkaitan dengan tingkat konsensus dalam suatu organisasi pada batasan-batasan fungsional dan prosedur-prosedur untuk mengatasi perdebatan dalam batasan-batasan tersebut.

Cara menyikapi permasalahan yang ada, sangat dipengaruhi oleh realitas politik lainnya, yaitu posisi partai politik yang akan ikut berkopetisi. Posisi yang dimaksud disini berkaitan dengan kehadiran partai politik dalam Pemilu. Secara umum kehadiran partai politik dalam pesta demokrasi dapat dikategorikankan menjadi tiga. Pertama, partai politik lama yang secara otomatis lolos dan dapat ikut berkompetisi dalam Pemilu 2009. Tercatat ada tujuh partai politik (Golkar, PPP, PDI Perjuangan, PAN, PKS, Demokrat dan PKB) yang jumlah perolehan kursi dalam Pemilu 2004 melampaui batas ambang. Untuk mempertahankan dan kalau mungkin meningkatkan perolehan suara, fokus dari ketujuh partai politik akan lebih terkonsentrasi pada penguatan basis konstituen. Usaha penguatan basis konstituen sekaligus menunjukkan bahwa mereka adalah representatif dari keberagaman masyarakat yang ada. Walaupun kemudian muncul gejala perluasan jaringan partai melalui pembentukan sayap organisasi baru, seperti tidak akan berdampak banyak terhadap pencitraan idiologis partai; Kedua, partai politik lama yang tidak otomatis lolos dan mengalami proses “daur ulang”. Modal utama dari partai politik yang masuk dalam kategori kedua ini adalah telah tersedianya institusi kepartaian yang cukup rapi dan kehadiran sejumlah tokoh yang memiliki pengalaman dan “pengaruh”. Kedua sumber tersebut dapat diarahkan untuk memperluas jaringan kebasis-basis pemilih. Pemilu 2009, merupakan ujian sekaligus kesempatan kedua untuk membuktikan bagaimana eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, kehadiran partai politik baru. Meski dikelompokkan sebagai partai politik baru, namun itu baru hanya sebatas institusi, jika dilihat dari sisi “penggiatnya” hampir seluruh partai tersebut diprakarsai dan dipimpin oleh sejumlah tokoh-tokoh lama. Kepopuleran sang tokoh, diharapkan dapat mendongkrak posisi partai sejajar dengan partai-partai lama. Hal serupa setidaknya pernah dibuktikan oleh Partai Demokrat. Ketokohan dan popularitas SBY sebagai penggagas dan penasehat partai tidak dapat dipungkiri telah menjadi energi bagi partai dan sumber inspirasi banyak orang ketika akan menentuhkan pilihan.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada konteks ini, Pemilu merupakan satu-satunya mekanisme demokrasi yang harus dilewati dan memiliki sumber legitimasi bagi partai politik untuk mencapai kursi kekuasaan dan menunjukan eksisitensinya. Langkah pertama dan merupakan titik krusial pertama dari sejumlah tahapan yang akan dilalui menuju Pemilu 2009 adalah rekrutmen politik.

Rekrutmen Politik: Sebuah Agenda Awal
Selama era reformasi telah dilaksanakan dua kali Pemilu. Notebenya telah dua kali pula tersusun lembaga legislatif dari hasil Pemilu tersebut. Faktanya meskipun telah dipilih dari proses Pemilu yang demokratis, namun proses tersebut tidak cukup kuat untuk menjadi sarana memperbaiki pencitraan lembaga legislatif. Kualitas dan kapabilitas lembaga ini dinilai oleh banyak kalangan belum berjalan secara optimal. Satu contoh, dalam penyusunan produk hukum. Hampir dapat dipastikan legilatif tidak pernah atau jarang mengunaan hak inisiatif. Hampir seluruhnya produk hukum yang dihasilkan bersumber dari eksekutif. Lalu kemana kemana perginya catatan sewaktu melakukan hearing dengan para konstituen, atau apa realisasi pengaduan-penngaduan yang datang dari masyarakat ke legislatif selama ini. Akhirnya, fungsi legislatif terbatas hanya baru sampai “menampung aspirasi masyarakat”. Akibatnya kenyataan tersebut berdampak pada terus merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan partai politik.

Pangkal persoalan dari rangkaian panjang tersebut sebenarnya adalah pada rekrutmen politik. Rekrutmen politik merupakan langkah awal yang sangat menentukan kualitas dari kinerja lembaga legislatif. Kualitas anggota parlemen sangat ditentukan dengan bagaimana mekanisme rekrutmen. Partai dalam hal ini berperan sebagai agen yang menyediakan dan mempersiapkan calon-calon politisi yang akan duduk di kursi parlemen. Aktivitas partai menyediakan stok politisi inilah yang disebut dengan rekrutmen politik. Bentuk rekrutmen dipengaruhi oleh sistem kepartaian dan sistem Pemilu yang dikembangkan. Namun, apapun sistemnya rekrutmen dari partai politik tidak akan lepas dari dua proses, yaitu; menyusun kriteria yang akan menjadi kualifikasi untuk melakukan rekrutmen dan bagaimana meknisme rekrutmen yang akan dilakukan.

Kriteria atau kualifikasi. Kriteria atau kualifikasi adalah standar minimum yang harus dimiliki oleh seorang untuk dapat dicalonkan. Kriteria atau kualifikasi disusun berbentuk aturan atau persyaratan.. Berkaitan dengan pencalonan anggota legislatif, setidaknya ada dua kualifikasi yang harus dipenuhi, yaitu kualifikasi yang ditetapkan oleh negara dan kualifikasi yang ditetapkan oleh partai politik. Kualifikasi yang ditetapkan oleh negara biasanya bersifat umum, longgar dan berkaitan dengan permasalahan idiologi kebangsaan. Jika tidak mengalami perubahan, terdapat sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi seoarng kandidat dapat dicalonkan (1) Berusia 21 tahun; (2) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Domisili di NKRI; (4) Cakap bernbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Menimal berpendidikan SLTA atau sederajat; (5) Setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan cita-cita Proklamasi; (6) Bukan bekas PKI atau organisasi terlarang lainnya; (7) Tidak sedang dicabut hak pilihnya; (8) Tidak seedang menjalani pidana penjara; (9) Sehat rohani dan: (10) Terdaftar sebagai pemilih. Sebagai sebuah parameter umun, persyaratan yang telah ada, dapat dikatakan memadai. Namun, persyaratan tersebut masih jauh dari kesempurnaan jika dijadikan alat untuk menyeleksi seseorang yang akan duduk dikursi legislatif. Karena dalam menjalankan tugasnya terdapat empat fungsi yang akan diemban oleh seorang legislatir; yaitu fungsi representatif, fungsi anggaran, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Untuk itu, persyaratan umum tersebut tidak cukup memadai sebagai pedoman atau kriteria penyeleksian. Partai politik mesti menetapkan sejumlah persyaratan lain. Persyaratan tersebut selain merujuk pada idiologi partai, juga harus berkorelasi dengan pelaksanaan fungsi lembaga legislatif ke depan.

Salah satu kelemahan dari partai politik sekarang adalah dalam merumuskan persyaratan di tingkat partai. Persyaratan masih bersifat umum dan tidak mengambarkan kebutuhan jangka panjang. Sedangkan bagi si calon sendiri yang terfikirkan adalah bagai mana mendapatkan nomor urut teratas dalam daftar calon dan lupa berkaca diri. Oleh karena itu pada tataran ini demokrasi dapat dikatakan masih berjalan secara prosedural, belum subtansi. Idealnya, untuk menetapkan kualifikasi bagi calon legislatif partai perlu merumuskan apa yang akan diharapkan dari keanggotan seseorang selama menjabat di bangku legislatif. Dari bacaan kedepan tersebut, kemudian partai menurunkannya menjadi sejumlah persyaratan untuk bahan kualifikasi. Pertimbangan politis seperti jabatan struktural di internal partai dan masa keanggotaan itu penting tapi tidak menjadi satu yang dominan dan mengabaikan faktor kualitas. Sedangkan bagi si calon selain menunjukan kinerja dan loyalitas kepada partai perlu juga berkaca diri. Pandangan bahwa mereka yang akan masuk ke lembaga legislatif bisa belajar, atau dapat dilatih ketika sudah menduduki kursi dilegislatif sudah selayaknya ditinggalkan. Keterampilan, kecakapan, kepekaan, yang harus dimiliki oleh seorang legislator semestinya telah dimiliki dan disiapkan sebelum ia menduduki jabatan tersebut. Hal tersebut begitu krusial karena masa pengabdian di legislatif tidak panjang, banyak hal yang mesti disegerakan untuk dikerjakan dan tidak ada waktu untuk belajar.

Artinya, proses rekrutmen bukan hanya sekedar menyeleksi dan menempatkan nama-nama orang atau kandidat. Tapi lebih penting dari itu adalah sejauh mana kandidiat yang dipromosikan tersebut memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam mengemban tugas partai dan amanah para rakyat pemilih.

No comments: