Wednesday 11 February 2009

Dasar Fatwa MUI Dinilai tak Kuat

Fatwa Golput Haram
PADANG- Beberapa fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada sidang ijtima’ di Padangpanjang pada 24 – 26 Januari 2009 lalu, terus menuai kontroversi. Bahkan fatwa haram tentang tidak menyalurkan hak suara atau dekenal golongan putih (golput) mendapat kritikan dari pengamat politik Eka Vidya Putra. Menurut Eka, MUI telah berbuat terlalu jauh karena dasar MUI memberikan fatwa haram terhadap golput tidak cukup kuat. Padahal, lanjutnya, faktor penyebab golput itu banyak hal. Diantaranya, persoalan administrasi yakni jika masyarakat tidak terdaftar sebagai pemilih berarti otomatis orang tersebut adalah golput. Kemudian, persoalan teknis, yakni jika ketika saat pemilihan, peserta pemilih tidak dapat menggunakan hak suaranya karena kesibukan lain, otomatis orang tersebut juga golput.

"Kemudian yang paling penting, masyarakat memilih golput itu karena sudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap partai maupun calon perseorangan yang nantinya akan maju," urai Eka, Selasa (27/1). Eka menjelaskan, bahwa persoalan yang muncul dari fatwa haram golput itu adalah kriteria tentang calon pemimpin yang memiliki syarat sesuai dengan ajaran Islam itu. "Siapa yang nantinya akan menentukan, karena tiap orang pasti berbeda melihat pemimpin yang akan dipilihnya. Apakah itu nantinya MUI juga yang menetapkan? Jadinya, fatwa tersebut terkesan mubazir dan dijual murah saja," tutur Eka yang juga dosen di Universitas Negeri Padang ini. Isu golput haram ini, lanjut Eka, berasal dari Din Syamsudin. Menurut Eka, sebagai politisi seharusnya para politisi tersebut bukannya memaksa masyarakat memilih dengan mengeluarkan fatwa. Artinya, masyarakat (muslim) akan merasa terpaksa memilih karena sudah di fatwa haram jika tidak memilih. "Padahal fatwa muncul karena kesalnya para politisi yang disebabkan sedikitnya pemilih sementara tenaga dan uang yang dikeluarkan untuk kampanye sangat besar. Sehingga masyarakat dianggap bodoh dengan adanya fatwa ini," urainya.

Seharusnya menurut Eka, para elit politik itu mencari cara lain yang lebih efektif untuk membuat masyarakat dengan sukarela menggunakan hak pilih mereka. Dengan mengeluarkan fatwa, lanjutnya, sudah sama seperti Orde Baru: jika tidak menggunakan hak pilih berarti tidak percaya dengan Pancasila. "Fatwa itu memaksa masyarakat secara halus, dan terkesan ada maksud terselubung," ujarnya. (pmc,dis)

No comments: